Tata Cara Sujud Sesuai Sunnah Rasulullah

Tata cara sujud Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan hadits yang ada dalam masalah ini adalah sebagai berikut.

  1. Sujud di atas tujuh tulang: dahi dan hidung (teranggap satu bagian), kedua telapak tangan, kedua lutut, dan kedua ujung telapak kaki.

Artinya, ketujuh anggota tersebut harus menempel ke lantai saat seseorang sujud, tidak boleh terangkat. Dalilnya ialah hadits Abdullah bin Abbas yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ—وَفِي رِوَايَةٍ: أُمِرْنَا أَنْ نَسْجُدَ—عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ: عَلَى الْجَبْهَةِ—وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ—، وَالْيَدَيْنِ— وَفِي لَفْظٍ: الْكَفَّيْنِ—، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ …

“Aku diperintah (dalam satu riwayat, “Kami diperintah”[1]) untuk sujud di atas tujuh tulang: di atas dahi—dan beliau mengisyaratkan tangannya ke atas hidung[2]—, dua tangan (dalam satu lafaz, “dua telapak tangan”[3]), dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.” (HR. al-Bukhari no. 812 dan Muslim no. 1098)

Hadits al-Abbas ibnu Abdil Muththalib menyebutkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَجَدَ الْعَبْدُ سَجَدَ مَعَهُ سَبْعَةُ آرَابٍ: وَجْهُهُ، وَكَفَّاهُ، وَرُكْبَتَاهُ، وَقَدَمَاهُ

“Apabila seorang hamba sujud, sujud pula bersamanya tujuh anggotanya: dahinya, dua telapak tangannya, dua lututnya, dan dua telapak kakinya.” (HR. Muslim no. 1100)

Tidak Cukup Hanya Menempelkan Dahi atau Hidung

Hadits di atas menyebutkan bahwa dahi dan hidung teranggap satu tulang/anggota. Lantas apakah mencukupi apabila hanya salah satunya yang menempel ke bumi, ataukah harus kedua-duanya?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

  • Abu Hanifah dan Ibnul Qasim dari kalangan pengikut Imam Malik berpandangan cukup sujud di atas salah satunya, hidung atau dahi saja.
  • Kebanyakan fuqaha mazhab Syafi’i menganggap boleh sujud di atas sebagian dahi.
  • Ibnul Mundzir menukilkan adanya ijmak sahabat tentang tidak sahnya sujud hanya di atas hidung tanpa dahi.
  • Adapun jumhur berpendapat cukup sujud di atas dahi saja.
  • Sementara itu, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, Ibnu Habib dari kalangan mazhab Maliki, dan selain mereka menyatakan wajib menempelkan dahi dan hidung saat sujud. Ini adalah pendapat asy-Syafi’i juga (Fathul Bari, 2/384; al-Minhaj, 4/431).

Pendapat terakhir inilah yang benar, insya Allah, dengan dalil perintah untuk bersujud di atas dahi dan hidung.

Tidak Wajib Membuka Dahi Saat Sujud

Bisa jadi, saat sujud, dahi tertutup oleh pakaian yang dia kenakan, seperti kerudung yang dipakai oleh seorang wanita. Namun, kerudung yang menutupi dahi tersebut tidak wajib diangkat agar dahi bisa langsung bersentuhan dengan tempat sujud.

Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu’ (3/403) mengisyaratkan bahwa hal tersebut tidaklah wajib. Demikian pula (tidak wajib) membuka anggota sujud lainnya, seperti dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung-ujung dua telapak kaki.

Menurut beliau, istilah sujud telah tercapai dengan meletakkan anggota-anggota sujud tanpa perlu membuka/menyingkap penutupnya.

Anggota Sujud Tidak Sekadar Disentuhkan ke Lantai

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam benar-benar menempelkan hidung dan dahinya ke lantai saat sujud. Dalilnya adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 270) dan Abu Dawud (no. 723), serta dinyatakan sahih dalam al-Misykat (no. 108).

Beliau berkata kepada sahabat yang salah shalatnya (al-musi’u shalatahu) sebagaimana dalam hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiallahu anhu,

إِذَا سَجَدْتَ فَمَكِّنْ لِسُجُوْدِكَ

“Apabila engkau bersujud, mapankan sujudmu (dengan benar-benar menempelkan anggota sujud ke bumi).” (HR. Abu Dawud no. 859, dinyatakan hasan dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Dalam sebuah riwayat,

إِذَا أَنْتَ سَجَدْتَ فَأَمْكَنْتَ وَجْهَكَ وَيَدَيْكَ حَتَّى يَطْمَئِنَّ كُلُّ عَظْمٍ مِنْكَ إِلَى مَوْضِعِهِ

“Apabila engkau bersujud, mapankan wajah dan kedua tanganmu (di tempat sujud) hingga seluruh tulangmu tenang di tempatnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 638 dengan sanad yang hasan; lihat al-Ashl, 2/733)

Baca juga: Berdoa Ketika Sujud

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyatakan,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يُصِيْبُ أَنْفَهُ مِنَ الْأَرْضِ مَا يُصِيْبُ الْجَبِيْنُ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak menempelkan hidungnya ke bumi sebagaimana halnya dahi.” (HR ad-Daraquthni no. 1303, al-Baihaqi 2/104, dan al-Hakim 1/270, dari Abdullah ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Al-Hakim menilainya sahih menurut syarat al-Bukhari dan adz-Dzahabi membenarkannya. Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh keduanya, hanya saja ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan at-Tirmidzi mengatakan ada ‘illat-nya, yaitu hadits ini mursal.

Akan tetapi, ada riwayat dari Ikrimah dari jalur yang lain secara maushul (bersambung sanadnya) sehingga riwayat yang mursal tersebut menjadi kuat. Ada pula riwayat pendukungnya dari hadits Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha yang dikeluarkan oleh ad-Daraquthni (no.1302) dan hadits Ummu Athiyyah radhiyallahu anha yang dikeluarkan oleh ath-Thabarani. (al-Ashl, 2/735)

  1. Kedua tangan ikut sujud bersama wajah dan diangkat saat wajah diangkat.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ الْيَدَيْنِ تَسْجُدَانِ كَمَا يَسْجُدُ الْوَجْهُ، فَإِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ وَجْهَهُ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ فَلْيَرْفَعْهُمَا

“Sesungguhnya kedua tangan itu bersujud sebagaimana halnya wajah bersujud. Apabila salah seorang dari kalian meletakkan wajahnya, hendaknya ia meletakkan kedua tangannya. Apabila ia mengangkat wajahnya, hendaknya ia mengangkat kedua tangannya pula.” (HR. Abu Dawud no. 892 dan lainnya dari hadits Abdullah ibnu Umar radhiallahu anhuma, dinyatakan sahih dalam al-Irwa no. 313)

  1. Saat bersujud, Rasulullah bertumpu di atas kedua telapak tangannya.

Hal ini sebagaimana termuat dalam hadits al-Bara ibnu Azib radhiyallahu anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْجُدُ عَلَى أَلْيَتَيْ الكَفِّ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersujud di atas kedua telapak tangan bagian dalam.” (HR. al-Hakim, 1/227; al-Baihaqi, 2/107; Ahmad, 4/295. Lihat al-Ashl, 2/726)

  1. Jari-jemari dirapatkan (tidak direnggangkan) dan diarahkan ke kiblat.

Wail ibnu Hujr radhiyallahu anhu menyebutkan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersujud, beliau merapatkan jari-jemarinya.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 642; al-Hakim, 1/227; dan al-Baihaqi, 2/112; dengan sanad yang hasan. Lihat al-Ashl, 2/727)

Al-Bara radhiallahu anhu mengabarkan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ بَسَطَ ظَهْرَهُ، وَإِذَا سَجَدَ وَجَّهَ أَصَابِعَهُ قِبَلَ الْقِبْلَةِ

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam rukuk, beliau membentangkan punggungnya. Apabila bersujud, beliau mengarahkan jari-jemarinya ke arah kiblat.” (HR. al-Baihaqi 2/113, dengan sanad yang sahih. Lihat al-Ashl 2/639)

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meletakkan kedua telapak tangan sejajar kedua pundak.

Dalilnya adalah hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiallahu anhu,

وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْه

“Beliau menjauhkan kedua tangannya dari kedua pinggangnya dan meletakkan kedua telapak tangannya setentang kedua pundaknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 270, Abu Dawud no. 734, dll.; dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, Shahih Sunan Abi Dawud, dan al-Misykat no. 108)

Terkadang, beliau meletakkan tangan setentang dengan kedua telinga.

Dalilnya ialah hadits Wail ibnu Hujr radhiallahu anhu dari jalan Zaidah, yang menceritakan tata cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dia saksikan. Di antaranya, Wail mengatakan,

ثُمَّ سَجَدَ فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ

“Beliau lalu sujud dan meletakkan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya.” (HR. Abu Dawud no. 726, an-Nasai no. 889, dll.; dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih Sunan an-Nasai, dan al-Irwa 2/68—69)

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang orang yang sujud mengikat rambutnya ke belakang.

إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوْفٌ

“Permisalan orang yang demikian hanyalah seperti orang yang shalat dalam keadaan terikat kedua tangannya.”

Suatu ketika, Abdullah ibnu Abbas radhiallahu anhuma melihat Abdullah ibnul Harits shalat dalam keadaan rambut kepalanya terikat ke belakang. Ibnu Abbas bangkit dan melepaskan ikatan tersebut. Ketika Abdullah ibnul Harits selesai shalat, ia menghadap Ibnu Abbas seraya bertanya, “Ada apa Anda dengan rambutku?”

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma pun menyampaikan hadits di atas yang pernah beliau dengar dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 1101)

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyatakan,

ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ

“Ikatan rambut seperti itu (saat shalat) adalah tempat duduk setan.” (HR. Abu Dawud no. 646 dan at-Tirmidzi no. 384, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)

At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan, “Para ulama membenci seseorang shalat dalam keadaan rambutnya terikat.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/238)

Ibnul Atsir rahimahullah berkata,

“Makna hadits ini ialah apabila orang yang shalat rambutnya tidak terikat, rambut tersebut akan jatuh ke tanah saat bersujud sehingga pemiliknya akan mendapatkan pahala sujud dengan rambutnya. Namun, apabila rambutnya terikat, ia termasuk dalam makna orang yang tidak bersujud. Ia diserupakan dengan orang yang terikat kedua tangannya karena kedua tangan tersebut tidak bisa menyentuh tanah saat bersujud (sebagaimana rambut yang diikat ke belakang tidak dapat menyentuh tanah saat bersujud, -pent.).” (an-Nihayah fi Gharibil Hadits)

Wanita Mengikat Rambut dalam Shalat

Wanita diperkenankan dan diizinkan mengikat rambutnya dalam shalat.

Imam al-Iraqi asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan,

“Larangan mengikat rambut itu khusus bagi lelaki dan tidak berlaku bagi wanita. Sebab, rambut wanita adalah aurat yang wajib ditutup saat shalat. Apabila dilepas ikatan rambutnya, bisa jadi tergerai (sampai keluar dari kerudung shalatnya karena panjangnya rambut atau ada yang keluar di sela-sela kerudung/mukenanya, -pent.) dan tidak bisa ditutup sehingga bisa membatalkan shalatnya.

Selain itu, melepaskan ikatan rambut untuk mengerjakan shalat akan menyulitkan mereka. Saat mandi saja, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan keringanan bagi mereka untuk tidak melepas ikatan rambut, padahal ketika itu ada kebutuhan untuk membasahi seluruh rambut.” (Nailul Authar, 2/228)

Larangan Menahan Pakaian Saat Shalat

Selain larangan mengikat/mengumpulkan rambut, dilarang pula mengikat pakaian yang dikenakan. Dalilnya ialah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,

وَنُهِيَ أَنْ يَكُفَّ شَعْرَهُ أَوْ ثِيَابَهُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilarang menahan rambut atau pakaiannya (saat bersujud).” (HR. Muslim no. 1095)

Dengan demikian, saat sujud pakaian dibiarkan jatuh/mengenai tempat sujud, tidak boleh ditahan dengan tangan, diikat, atau dikumpulkan. Termasuk pakaian adalah lengan baju, ia tidak boleh digulung. Larangan ini hanya berlaku saat sedang shalat. Apabila seseorang mengikat rambutnya dan menggulung pakaiannya sebelum shalat lalu ia mengerjakan shalat dalam keadaan demikian, ia terjatuh dalam larangan menurut jumhur ulama. Ini yang rajih (kuat). Yang memperkuat hal ini adalah tindakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang yang hendak melakukan shalat dalam keadaan rambutnya terikat.

Ini berbeda dengan pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan tersebut hanya khusus saat sedang shalat, sebagaimana dinukil dari Imam Malik rahimahullah. (al-Mudawwanah 1/186, al-Majmu’ 4/30)

Apakah Shalatnya Batal?

Ulama berbeda pendapat tentang orang yang mengikat rambut atau menahan bajunya ketika shalat, apakah shalatnya sah (tidak batal) atau tidak?

  • Mayoritas mereka, di antaranya Atha dan asy-Syafi’i mengatakan bahwa shalatnya tetap sah.

Ini adalah pendapat yang rajih (kuat). Meski demikian, dinukilkan Imam Muhammad ibnu Ja’far ath-Thabari rahimahullah adanya ijmak tentang sahnya shalat orang yang melakukan hal tersebut.

  • Pendapat yang mengatakan tidak sah dan dia harus mengulangi shalatnya.

Hal ini dinukil dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah. (al-Isyraf ‘ala Madzahibil Ulama li Ibnil Mundzir 2/34, al-Majmu’ 4/30)

Di antara hikmah pelarangan tersebut adalah ketika seseorang menahan baju dan rambutnya agar tidak menyentuh tanah berarti ia serupa dengan orang yang sombong.

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak meletakkan kedua lengan bawahnya di atas tanah saat bersujud, tetapi mengangkatnya.

Hal ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid radhiallahu anhu,

فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرُ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهُمَا

“Apabila bersujud, Nabi shallallahu alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan beliau tanpa menghamparkan (kedua lengan bawahnya) dan tidak pula mengepitnya/menempelkannya (ke rusuk).” (HR. al-Bukhari no. 828)

Selain itu, ada pula hadits yang menyatakan larangan berbuat demikian. Di antaranya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

“Janganlah salah seorang dari kalian membentangkan kedua lengan bawahnya sebagaimana anjing meletakkan (dua kaki depannya).” (HR. al-Bukhari no. 822 dan Muslim no. 1102)

  1. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjauhkan kedua lengan atasnya dari kedua rusuk[4], sampai-sampai terlihat dari belakang putihnya kedua ketiak beliau[5].

Cara ini dinukilkan secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sejumlah sahabat meriwayatkannya, di antaranya Abdullah bin Malik ibnu Buhainah radhiallahu anhu. Ia berkata,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat, beliau menjauhkan kedua lengannya (dari rusuk) hingga tampak putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. al-Bukhari no. 390 dan Muslim no. 1105)

Demikian pula riwayat Maimunah bintu al-Harits radhiallahu anha, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ خَوَّى بِيَدَيْهِ حَتَّى يُرَى وَضَحُ إِبْطَيِهْ مِنْ وَرَائِهِ

“Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sujud, beliau menjauhkan kedua lengannya hingga tampak dari belakang putihnya kedua ketiak beliau.” (HR. Muslim no. 1108)

Sahabat lain yang meriwayatkan tata cara seperti ini adalah Ibnu Abbas, al-Bara ibnu Azib, Abdullah ibnu Arqam al-Khuza’i, Abu Hurairah, Jabir bin Abdillah, Abu Said al-Khudri, Adi bin Umairah, dan Abu Humaid as-Sa’idi radhiallahu anhum.

Karena tingginya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegakkan kedua lengannya dari tanah dan menjauhkannya dari rusuknya, sampai-sampai apabila ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau, niscaya bisa lewat.

Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah

Maimunah bintu al-Harits radhiallahu anha, istri beliau, yang menyampaikan hal ini. Katanya,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ لَوْ شَاءَتْ بَهْمَةٌ أَنْ تَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ لَمَرَّتْ

“Apabila Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersujud, beliau mengangkat dan menjauhkan kedua lengan beliau (dari perut/rusuk beliau) hingga jika ada seekor anak kambing ingin lewat di bagian bawah kedua lengan beliau yang diangkat tersebut, niscaya bisa lewat.” (HR. Muslim no. 1107)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersungguh-sungguh melakukan hal ini hingga sebagian sahabatnya mengatakan,

إِنْ كُنَّا لَنَأْوِي لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يُجَافِي بِيَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ إِذَا سَجَدَ

“Sungguh, kami merasa iba melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam karena beliau begitu menjauhkan kedua lengan beliau dari kedua rusuknya di saat sujud.” (HR. Abu Dawud no. 900 dan Ibnu Majah no. 886. Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih Ibni Majah)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintah orang yang shalat untuk berbuat demikian,

إِذَا سَجَدْتَ فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ

“Apabila engkau bersujud, letakkanlah kedua telapak tanganmu (di tanah/tempat sujud) dan angkatlah kedua sikumu.” (HR. Muslim no. 1104 dari al-Bara ibnu Azib radhiallahu anhu)

Menjauhkan Lengan/Siku Saat Bersujud Hukumnya Sunnah

Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah menyatakan, menjauhkan anggota-anggota sujud sebagaimana di atas hukumnya sunnah. Oleh karena itu, apabila ada orang shalat melekatkan/merapatkan sebagian anggota sujudnya dengan yang lain, shalatnya sah. Hanya saja, ia telah meninggalkan salah satu sunnah shalat.

Lebih-lebih lagi jika ia shalat bersama imam yang memperlama sujud, ia bisa melakukan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau saat mereka mengadu pada beliau tentang lamanya sujud dalam shalat malam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan solusi,

اسْتَعِيْنُوْا بِالرُّكَبِ

“Jadikan lutut sebagai penolong kalian.”[6]

Maksudnya, orang yang sujud meletakkan dua sikunya di atas kedua lututnya. Apabila orang yang sujud melakukannya karena ada kebutuhan, hilanglah kemakruhan. Berbeda halnya apabila ia melakukannya tanpa sebab.[7]

Baca juga: Bacaan dan Zikir Saat Sujud

Demikian pula ketika menjauhkan kedua tangan di saat sujud ternyata mempersempit orang yang ada di sampingnya, hendaknya ia tidak melakukannya. Ia hendaknya merapatkan anggota tubuhnya guna menghilangkan kesempitan orang yang di sampingnya. Ia boleh pula merapatkan kedua tangannya dengan tujuan merapatkan shaf.

Dengan demikian, menjauhkan anggota-anggota sujud hukumnya sunnah. Seseorang bisa mengamalkannya dengan syarat tidak berlebih-lebihan, tidak menyempitkan, tidak menyulitkan, dan tidak mengganggu orang lain. (Tashilul Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Maram, 2/254)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan, ketika seseorang meninggalkan sunnah dalam rangka menolak mafsadah/kerusakan, hal ini akan dicatat sebagai pahala untuknya. Sebab, andai tidak ada mafsadah, tentu tidak ada yang menghalanginya menegakkan sunnah tersebut. Apabila seseorang meninggalkan sebuah amalan karena Allah subhanahu wa ta’ala, Dia akan menggantikan untuknya, bahkan sekalipun ia meninggalkan amalan tersebut bukan karena kehendaknya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau safar, akan dicatat baginya semisal apa yang biasa dia amalkan saat tidak safar dan saat sehat.” (HR. al-Bukhari no. 2996) (Lihat asy-Syarhul Mumti’, 3/120)


Catatan Kaki

[1] HR. al-Bukhari no. 810.

[2] Ibnu Thawus berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meletakkan tangan beliau di atas dahi beliau dan menjalankannya ke arah hidung beliau sembari menyatakan, ‘Ini satu tulang’.” (Fathul Bari, 2/383)

[3] HR. Muslim no. 1100.

[4] Maknanya, tidak ada anggota tubuh tersebut yang menempel dengan yang lain.

[5] Hikmah cara seperti ini adalah meringankan tumpuan wajah, tidak menyakiti hidung dan dahi, serta tidak merasa sakit saat menempel ke bumi. Di samping itu, cara seperti ini lebih mendekati sikap tawadhu dan lebih kokoh saat menempelkan dahi dan hidung ke bumi serta berbeda dengan keadaan orang yang malas.

Ada pula yang mengatakan bahwa dengan cara seperti ini, semua anggota sujud menjadi tempat bertumpu sehingga tumpuan tidak hanya dibebankan pada sebagian anggota.

Adapun orang yang meletakkan lengannya ke bumi serupa dengan anjing, seakan-akan ia meremehkan shalat yang sedang dia kerjakan, kurang perhatian, dan tidak sepenuhnya berkonsentrasi pada amalan shalatnya. (Fathul Bari 2/380, Subulus Salam, 2/220)

[6] HR. Abu Dawud no. 902 dan at-Tirmidzi no. 286. Syaikh al-Albani rahimahullah menilai hadis ini lemah dalam Dha’if Abi Dawud dan Dha’if at-Tirmidzi.

[7] Hal ini dilakukan apabila ia shalat bersama imam yang sujudnya lama, sementara ia kesulitan dengan sujud yang lama tersebut. Apabila ia shalat sendirian, hendaknya ia tidak memaksakan diri. Ketika ia merasa lelah/kesulitan hendaknya ia bangkit. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kemudahan bagi para hamba-Nya. (asy-Syarhul Mumti’, 3/123)

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim