Menerima Hadiah dari Murid

Bolehkah seorang guru menerima hadiah dari murid-muridnya? Jika tidak boleh, bagaimana bila hadiah itu diberikan setelah selesai tahun ajaran dan setelah hasil belajar (rapor) diserahkan? Kalau tidak boleh juga, bagaimana dengan hadiah yang diberikan oleh murid setamatnya dia dari sekolah tersebut atau ingin pindah ke sekolah yang lain?
Jawab:
Kata Samahatusy Syaikh Ibnu Baz t, seorang guru semestinya tidak menerima hadiah-hadiah dari murid/wali muridnya. Alasannya, hadiah tersebut terkadang menyeretnya untuk berbuat tidak adil dan tidak mau memberi perhatian lebih kepada murid yang tidak memberi hadiah, sementara murid yang memberi hadiah kemudian diberi perhatian istimewa. Selain itu, si guru juga terdorong berlaku curang. Yang wajib, seorang guru tidak menerima hadiah dari murid-muridnya karena hadiah itu terkadang mengantarkan kepada akibat yang tidak terpuji. Seorang mukmin dan mukminah seharusnya menjaga agamanya dan menjauhi sebab-sebab yang mengundang keraguan, tuduhan, dan mudarat.
Adapun jika hadiah itu diberikan oleh si murid setelah ia pindah ke sekolah yang lain, tidak menjadi masalah bagi guru untuk menerimanya karena ketika itu keraguan/tuduhan telah berakhir dan aman dari mudarat. Demikian pula, jika hadiah diberikan setelah selesai dari suatu pekerjaan atau setelah pensiun, tidak apa-apa diterima. (Pertanyaan diajukan kepada Syaikh Ibnu Baz t dalam acara radio Nurun ‘alad Darb, dikutip dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/63—64)

 

Hadiah Seusai Tugas

Saya mengajarkan Al-Qur’anul Karim di sebuah yayasan amal kebajikan. Setelah pemberian ijazah kepada para santri, mereka menyerahkan hadiah bersama dari mereka untuk saya. Hadiah itu sama sekali tidak memengaruhi nilai seorang santri. Apakah saya boleh menerima hadiah tersebut?

Jawab:
Samahatusy Syaikh t memfatwakan, “Apabila hadiah itu diberikan setelah selesai penentuan peringkat para santri dan setelah selesai penyerahan ijazah, demikian pula selesai dari mengerjakan pekerjaan di yayasan tersebut, tidak ada dosa menerimanya, berdasarkan dalil-dalil yang umum yang menunjukkan disyariatkannya menerima hadiah. Wallahu waliyut taufiq.”
(Kumpulan pertanyaan yang diajukan kepada asy-Syaikh Ibnu Baz dari surat kabar al-Muslimun, dijawab oleh beliau tanggal 12/6/1419. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/64)

 

Haramnya Hadiah Sebagai Suap
Apa hukumnya seseorang memberikan barang berharga dengan menyebutnya sebagai hadiah kepada orang yang menjadi pimpinannya dalam sebuah pekerjaan?
Jawab:
Pertanyaan di atas diajukan kepada Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz t di akhir ceramah beliau yang disampaikan di rumah sakit an-Nur, di Makkah al-Mukarramah, tanggal 27/7/1412 H. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut.
Ini adalah kesalahan dan sebuah perantara kepada kejelekan yang besar. Seorang pemimpin seharusnya tidak menerima hadiah karena terkadang hadiah tersebut adalah suap dan dapat mengantarkannya kepada sikap mudahanah/basa-basi dan khianat.
Lain halnya jika orang yang diberi hadiah tersebut menerimanya kemudian menyerahkannya ke rumah sakit1 dan untuk kemaslahatan rumah sakit, bukan keuntungan pribadinya. Ia memberitahu si pemberi hadiah bahwa hadiah tersebut untuk kemaslahatan rumah sakit, “Saya tidak mengambilnya untuk diri saya pribadi.” Namun, yang lebih hati-hati, ia mengembalikannya, tidak menerimanya untuk pribadinya atau untuk rumah sakit, karena hal ini dapat menyeretnya untuk mengambil hadiah tersebut untuk dirinya sendiri.
Selain itu, terkadang orang akan berburuk sangka kepadanya. Terkadang pula, pemberi hadiah menjadi lancang terhadapnya dan menuntutnya agar memberikan muamalah yang terbaik kepadanya, lebih dari yang diterima oleh orang selainnya.
Tatkala Rasulullah n mengutus para petugas beliau (amil zakat) untuk mengumpulkan zakat, salah seorang dari mereka berkata, “Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan kepadaku.”
Rasulullah n mengingkari hal tersebut. Beliau n menyampaikan khutbah di hadapan manusia seraya berkata:
مَا بَالُ الرَّجُلِ مِنْكُمْ نَسْتَعْمِلُهُ عَلَى أَمْرٍ مِنْ أَمْرِ اللهِ فَيَقُوْلُ: هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي؛ أَلآ جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيْهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ فَيَنْظُرَ هَلْ يُهْدَى إِلَيْهِ
“Kenapa ada seseorang dari kalian yang kami pekerjakan dia untuk mengurusi satu perkara dari perintah Allah, ia berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, lalu ia lihat apakah ada yang memberi hadiah kepadanya?” (HR. Muslim dalam Shahih-nya2)
Hadits ini menunjukkan bahwa seorang pegawai, karyawan, pekerja, atau petugas—dalam bidang pekerjaan apa pun—semestinya menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya dan tidak boleh menerima hadiah-hadiah yang berkaitan dengan pekerjaan yang sedang diurusnya. Jika ternyata ia telanjur menerimanya, hendaknya ia menyerahkan ke baitul mal. Ia tidak boleh mengambilnya untuk pribadinya berdasarkan hadits yang sahih di atas. Di samping itu, hadiah yang diberikan itu merupakan perantara kepada kejelekan dan cacatnya penunaian amanat. La haula wala quwwata illa billah.”
(Dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail Mutanawwi’ah, 20/65—66)

 

Catatan Kaki:

1 Pertanyaan diajukan ketika beliau n sedang berceramah di rumah sakit.
2 Diriwayatkan al-Bukhari dalam al-Hibah, bab Man Lam Yaqbalul Hibah li’illatin no. 2597 dan Muslim dalam al-Imarah, bab “Tahrim Hadayal ‘Ummal” no. 1832, 1833