Tak sedikit orang yang menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan Ramadhan (Hijriyah). Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilmu hisab sudah ada dan digunakan oleh orang-orang Romawi, Persia, dan Arab. Tapi mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menggunakan ilmu hisab untuk menentukan awal bulan dan lebih memilih dengan cara melihat hilal?
Mendekati bulan Ramadhan, tentu kita ingat bagaimana perasaan kita yang demikian gembira karena memasuki bulan yang penuh limpahan pahala yang Allah subhanahu wa ta’ala siapkan untuk orang-orang bertakwa. Namun di antara rasa gembira itu, terselip kegelisahan ketika melihat kaum muslimin berbeda-beda dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Hilang kebersamaan mereka dalam menyambut bulan mulia itu. Sungguh hati ini sangat sedih. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala segera mengembalikan persatuan kaum muslimin kepada ajaran yang benar dan kebersamaan yang indah.
Hilangnya kebersamaan itu disebabkan oleh banyak faktor yang mestinya kaum muslimin bersegera untuk menghilangkannya. Satu hal yang tak luput dari pengetahuan kita adalah pemberlakuan hisab atau ilmu falak dalam menentukan awal bulan hijriyah di negeri ini, baik oleh individu maupun organisasi. Perbuatan tersebut merupakan sesuatu yang sangat lazim, bahkan seolah menjadi ganjil jika kita tidak memakainya dan hanya mencukupkan dengan cara yang sederhana yaitu ru’yah (melihat hilal).
Demikianlah tashawwur (anggapan) yang terbentuk dalam benak sekian banyak kaum muslimin. Hal inilah yang kemudian menyebabkan adanya perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, termasuk sesama mereka yang memakai hisab, terlebih dengan ilmu yang lain. Perlu diingat bahwa agama ini telah sempurna dalam segala ajarannya, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
“Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha bagi kalian Islam sebagai agama kalian.” (al-Ma’idah: 3)
Agama ini tidak membutuhkan penambahan atau pengurangan, lebih-lebih pada perkara ritual (ibadah) yang selalu berulang di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti shalat, puasa, dan haji. Ajaran Islam dalam hal tersebut telah jelas, termasuk pula dalam menentukan awal bulan hijriyah. Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa hilal (bulan sabit) adalah tanda untuk menentukan awal bulan Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya maka puasalah kalian dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian, tapi jika kalian tertutupi awan maka tentukanlah jumlahnya menjadi 30.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 2501)
Inilah tuntunan Islam. Tuntunan yang demikian mudah, pasti, dan membawa banyak maslahat. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan demikian ketika ilmu hisab dan falak telah ada dan dipakai oleh masyarakat Romawi, Persia, bahkan Arab.
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengikuti mereka. Bahkan beliau menerima sepenuhnya ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala bahwa untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal). Yang sangat disayangkan, hampir-hampir ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tersisihkan serta diganti kedudukannya dengan ilmu hisab dan ilmu falak. Lebih ironis lagi, ini dilakukan oleh pihak-pihak yang dipandang sebagai ulama. Oleh karenanya, kita akan melihat sejauh mana pandangan ulama Ahlus Sunnah terhadap pemberlakuan ilmu hisab.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan masalah ini, “Saya melihat manusia di bulan puasa dan bulan lainnya, mereka ada yang mendengarkan orang tak berilmu dari kalangan ahli hisab bahwa hilal telah terlihat atau tidak terlihat. Sampai-sampai, di antara hakim ada yang menolak persaksian beberapa orang yang adil serta lebih mengikuti ahli hisab yang bodoh dan berdusta bahwa hilal terlihat atau tidak terlihat.
Di antara mereka ada juga yang tidak menerima pernyataan ahli hisab bintang baik lahir maupun batin. Akan tetapi dalam hatinya menyimpan banyak syubhat karena memercayainya. Sesungguhnya kami mengetahui dengan pengetahuan yang sangat dimaklumi dari ajaran Islam bahwa dalam ru’yah (melihat) hilal untuk puasa, haji, ‘iddah (masa menunggunya wanita yang dicerai atau ditinggal mati suaminya), atau yang lainnya dari hukum-hukum yang berkaitan dengan hilal, tidak boleh menggunakan berita dari ahli hisab tentang terlihat atau tidak terlihatnya hilal.
Banyak nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, dan kaum muslimin telah berijma’ (bersepakat) atas yang demikian. Tidak diketahui ada khilaf (perselisihan pendapat) di masa lalu dalam masalah ini dan tidak pula di masa sekarang. Kecuali sebagian ahli fiqih belakangan setelah tiga kurun pertama yang menyangka bahwa jika hilal terhalangi awan boleh bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisab pada dirinya sendiri, sehingga jika hisabnya menunjukkan mungkinnya ru’yah hilal maka ia puasa, jika tidak maka tidak berpuasa.
Pendapat ini walaupun terkait dengan “jika tertutup awan” dan khusus bagi ahli hisabnya saja, tapi tetap merupakan pendapat yang syadz (ganjil), karena telah didahului oleh ijma’ yang menyelisihinya. Maka, tidak ada seorang muslim pun yang berpendapat bolehnya mengikuti hisab di saat cerah atau menggantungkan hukum yang bersifat umum secara keseluruhan dalam hal ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa hilal merupakan tanda waktu bagi manusia dalam segala hal yang berkaitan dengan mereka. Dikhususkan penyebutan ibadah haji karena untuk membedakannya dengan ibadah yang lain. Selain itu, haji disaksikan oleh malaikat dan selainnya. Juga karena haji dilakukan di pengujung bulan dalam satu tahun.
Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan hilal sebagai waktu bagi manusia terkait dengan hukum-hukum yang ditetapkan syariat. Juga hukum-hukum yang ditetapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh manusia. Sehingga apa saja yang waktunya tetap, baik dengan syariat maupun syarat, maka hilal-lah patokan waktunya. Masuk di dalamnya puasa, haji, waktu ila’, ‘iddah, puasa kaffarah, puasa nadzar, dan lain-lain.
Apa yang datang dari syariat merupakan perkara yang paling sempurna, paling baik, paling jelas, paling benar, dan paling jauh dari kegoncangan. Hilal adalah sesuatu yang disaksikan dan dilihat dengan mata. Di antara maklumat yang paling absah (meyakinkan) adalah sesuatu yang dilihat dengan mata. Oleh karenanya, mereka sebut hilal karena kata itu (dari sisi bahasa) menunjukkan makna terang dan jelas. Dikatakan bahwa asal makna hilal adalah mengangkat suara. Dulu tatkala mereka melihat hilal mereka mengangkat suaranya (berseru), sehingga disebut hilal.
Artinya, waktu-waktu tersebut ditentukan dengan perkara yang jelas, terang, manusia sama-sama (bisa melihat)-nya. Tidak ada yang seperti hilal dalam masalah ini. Hilal ditetapkan dengan sesuatu yang thabi’i (alami), tampak, bersifat umum, dan dapat dilihat dengan mata sehingga tidak seorang pun sesat dari agamanya. Dengan memerhatikannya, tidak akan tersibukkan oleh masalah-masalah lain, dan tidak akan menjerumuskan pada perkara yang tidak bermanfaat. Juga tidak akan menjadi celah talbis (pengaburan) dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana dilakukan ulama agama lain terhadap agama mereka. Dasar dilarangnya hisab dari naqli (syariat) dan ‘aqli (akal) sebagai berikut:
Pertama, dari ‘Abdullah Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا—وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ—وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا—يَعْنِي تَمَامَ الثَّلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu seperti ini, seperti ini dan seperti ini (beliau menggenggam ibu jari pada ketiga kalinya) dan bulan ini seperti ini, seperti ini dan seperti ini (yakni sempurna 30 hari).” (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma)
Hadits ini merupakan berita sekaligus mengandung larangan ilmu hisab. Tidak adanya kemampuan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menulis karena beliau terhalang dari jalannya (mempelajarinya), padahal beliau mendapatkan manfaat yang sempurna dari tujuan kemampuan menulis itu. Ini merupakan keutamaan dan mukjizat besar karena Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan ilmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara sebuah kitab. Hal ini merupakan mukjizat bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di sisi lain, seluruh pembesar sahabat seperti empat khalifah dan yang lainnya, mayoritas mampu menulis karena butuhnya mereka akan hal itu. Namun mereka tidak diberi wahyu sebagaimana yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga jadilah ke-ummi-an yang khusus bagi beliau sebagai sifat kesempurnaannya. Yaitu dari sisi ketidakbutuhannya kepada tulis-menulis dan berhitung, karena ada yang lebih sempurna dan utama darinya.
Tapi, keummian ini merupakan sifat negatif pada diri selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dilihat dari sisi kehilangan keutamaan yang tidak bisa didapatkan kecuali dengan menulis. Maka, penulisan hari-hari pada bulan dan menghisabnya termasuk dalam perkara ini (yakni, umat ini telah memiliki cara yang lebih baik daripada hisab yaitu ru’yah. Sehingga bila kita tidak memakai ilmu hisab, hal itu merupakan kesempurnaan karena kita memiliki yang lebih baik darinya. Sebaliknya, jika memakai hisab dan meninggalkan ru’yah justru merupakan kekurangan, karena kita meninggalkan yang lebih baik dan memakai yang lebih jelek, red.).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan, “Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis tulisan ini dan tidak menghisab dengan hisab ini.” Ucapan beliau tersebut menafikan (mengingkari) hisab dan penulisan yang berkaitan dengan hari-hari pada suatu bulan yang dijadikan dasar waktu hilal bersembunyi dan kapan hilal muncul.
Penafian dalam hadits ini meski dengan teks yang mutlak bersifat menafikan hal yang lebih umum, namun jika dilihat dalam konteks kalimat itu ada yang menerangkan maksudnya. Maka akan diketahui apakah maksud penafian itu umum ataukah khusus. Sehingga tatkala kata “Kami tidak menulis dan tidak menghitung” disejajarkan dengan sabda beliau “bulan itu 30 hari” dan “bulan itu 29 hari”, berarti beliau menerangkan bahwa dalam perkara hilal kita tidak membutuhkan hisab atau penulisan[1] di mana bulan itu kadang seperti ini dan kadang seperti itu. Pembeda antara keduanya hanya ru’yah. Tidak ada pembeda lain berupa (hasil) penulisan atau hisab.
Para ahli hisab pun tidak mampu untuk memosisikan ru’yah dengan tepat secara terus-menerus—hanya mendekati saja—, sehingga terkadang benar dan terkadang salah. Jadi jelas bahwa keummian dalam hal ini merupakan sifat pujian dan kesempurnaan. Hal itu jelas dari beberapa sisi:
– Dibandingkan hisab, ru’yah hilal lebih mencukupi, lebih terang, dan jelas.
– Menggunakan hisab memungkinkan timbulnya kesalahan.
– Hisab dan penulisan justru mengandung banyak kerumitan yang tiada manfaatnya karena menjauhkan dari manfaat yang diperoleh. Di mana pada hakikatnya, hisab itu bukan dimaksudkan untuk hisab itu sendiri melainkan untuk hal yang lain.
Jika hisab dan penulisan ditiadakan karena kita tidak membutuhkan hal itu—karena ada yang lebih baik serta karena kelemahan yang ada pada penulisan dan hisab—maka hisab dan penulisan merupakan kekurangan dan aib, bahkan kejelekan dan dosa. Barang siapa bergelut dalam hisab berarti ia telah keluar dari umat yang ummi dari sisi kesempurnaan dan keutamaannya, yaitu selamat dari kerusakan dan ia masuk dalam sisi negatif yang mengantarkan kepada kerusakan dan kegoncangan. Sehingga kesempurnaan dan keutamaan yang didapat dengan ru’yah hilal tanpa hisab itu akan hilang karena menyibukkan diri dengan hisab, meski terkadang benar.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْ
“Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihatnya dan jangan kalian berbuka sampai kalian melihatnya.” (seperti terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu) [Sahih, HR. Muslim no. 2505]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk berpuasa sebelum melihat hilal dan melarang berbuka sebelum melihatnya, dan ru’yah di sini artinya penglihatan dengan indra mata. Maksudnya bukan tidak seorang pun boleh berpuasa sehingga melihatnya sendiri, namun janganlah seseorang berpuasa sehingga ia melihatnya atau orang lain melihatnya.
Berbeda dengan orang yang menerapkan ilmu hisab dan yang lainnya, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan ketiadaannya dari umat ini dan larangannya. Karenanya, para ulama menganggap mereka itu telah memasukkan sesuatu yang bukan dari Islam ke dalam Islam sehingga para ulama menghadapi mereka dengan pengingkaran yang dipakai dalam menghadapi ahli bid’ah.
Larangan Hisab dari Sisi Akal
Peneliti dari ahli hisab semuanya bersepakat tentang mustahilnya menentukan ru’yah secara tepat dengan ilmu hisab untuk kemudian dihukumi bahwa hilal pasti dilihat atau tidak dapat dilihat sama sekali dengan ketentuan yang sifatnya menyeluruh, meski mungkin bisa terjadi secara kebetulan.
Oleh karena itu, orang-orang yang mementingkan bidang ini dari orang-orang Romawi, India, Persia dan Arab, juga yang lainnya seperti Batlimus—yang merupakan pemuka mereka—, juga yang datang setelahnya baik sebelum Islam atau setelahnya, tidak berbicara dalam masalah ini dengan satu huruf pun. (Akan tetapi yang berbicara dalam masalah ini adalah mereka yang datang belakangan, seperti Wisyyar ad-Dailami dan semacamnya, ketika melihat bahwa syariat mengaitkan hukumnya dengan hilal, mereka melihat hisab sebagai jalan yang bisa tepat dalam hal menentukan waktu ru’yah. Padahal hisab bukan jalan yang lurus dan seimbang, bahkan memiliki banyak kesalahan dan hal itu telah terbukti. Mereka banyak berselisih apakah hilal bisa dilihat ataukah tidak. Hal itu disebabkan mereka menggunakan hisab untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diketahui dengan hisab, sehingga mereka melenceng dari jalan yang benar).” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Sisi yang jelas dari tidak mungkinnya keakuratan hisab dalam menentukan ru’yah, bahwa sesuatu yang paling mungkin bisa ditentukan oleh ahli hisab—jika hisabnya benar—hanyalah waktu istisrar (tersembunyinya hilal) ketika bulatan matahari dan bulan berkumpul pada jam sekian misalnya, dan ketika matahari tenggelam bulan telah berpisah dari matahari dengan jarak sekitar 10 derajat misalnya, atau kurang atau lebih.
Derajat yang dimaksud adalah satu bagian dari 360 bagian dalam falak dan mereka membaginya menjadi 12 bagian yang mereka namai ad-Dakhil. Setiap gugusan ada 12 derajat. Inilah maksimalnya pengetahuan mereka, yaitu menentukan jarak antara matahari dengan bulan pada waktu dan tempat tertentu. Inilah yang mungkin bisa dihitung tepat dengan hisab. Adapun bisa dilihat atau tidaknya hilal, maka ini adalah persoalan inderawi dan alami, bukan perkara yang dihisab dengan matematika.
Dalam hal ini, tidak berlaku satu aturan yang tidak bertambah dan tidak berkurang dalam peniadaan atau penetapannya. Bahkan jika jarak (antara bulan dan matahari) misalnya 20 derajat, maka hilal bisa dilihat selama tidak ada penghalang dan jika hanya satu derajat maka tidak dapat dilihat. Adapun jika sekitar 10 derajat maka akan berbeda tergantung perbedaan sebab-sebab ru’yah sebagai berikut:
– Berbeda karena ketajaman penglihatan.
– Berbeda karena jumlah orang yang mengamati hilal. Jika banyak akan lebih mungkin terlihat oleh sebagian mereka, karena tajamnya penglihatan atau pengalaman salah seorang dari mereka dalam memfokuskan pandangan ke tempat terbitnya hilal.
– Berbeda karena perbedaan tempat dan ketinggian, antara tempat yang tinggi dan tempat yang rendah, dan ada penghalang atau tidak.
– Berbeda karena perbedaan waktu melihatnya.
– Berbeda karena tingkat kebersihan udara (cuaca).
Jika ru’yah merupakan sebuah hukum yang terkumpul dari sebab-sebab ini, yang tidak sedikit pun masuk dalam perhitungan ahli hisab, maka bagaimana mungkin seorang ahli hisab memberi kabar dengan kabar yang menyeluruh bahwa hilal tidak mungkin dilihat oleh seorang pun karena dia pandang jaraknya cuma tujuh, delapan, atau sembilan derajat. Atau bagaimana mungkin dia kabarkan dengan berita yang pasti bahwa hilal dilihat jika sembilan derajat atau sepuluh misalnya. (Majmu’ Fatawa, 25/126—189 dengan ringkas)
Beliau (Ibnu Taimiyah rahimahullah) menyimpulkan, “Orang yang mendasarkan pada hisab dalam (menentukan) hilal, sebagaimana ia sesat dalam syariat, ia pun telah berbuat bid’ah dalam agama. Dia telah salah dalam hal akal dan ilmu hisab.” (Majmu’ Fatawa, 25/207)
Inilah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang cukup terang, menjelaskan kepada kita sejauh mana ketepatan dan hukum ilmu hisab atau falak sebagai penentu awal bulan Islam.
Ini pula yang difatwakan oleh Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia, ketika sampai kepada mereka sebuah pertanyaan:
Apakah boleh seorang muslim menentukan awal dan akhir puasa dengan hisab ilmu falak atau harus dengan ru’yah hilal?
Jawab:
Allah subhanahu wa ta’ala tidak membebani kita dalam mengetahui awal bulan Qamariyyah dengan sesuatu yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali sebagian kecil kalangan saja, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Dengan ketentuan ini, terdapat nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah untuk menjadikan ru’yah hilal dan menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian pula keadaannya dalam menetapkan ‘Iedul Adha dan Arafah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ
“Maka barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan hendaknya berpuasa.” (al-Baqarah: 185)
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡأَهِلَّةِۖ قُلۡ هِيَ مَوَٰقِيتُ لِلنَّاسِ وَٱلۡحَجِّۗ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal, katakanlah bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan bagi (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوهُ وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian, dan jika kalian melihatnya maka berbukalah kalian. Tapi jika kalian tertutupi awan, maka sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tetapnya puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengaitkannya dengan hisab bintang-bintang dan peredarannya. Yang demikian diamalkan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para al-Khulafa’ ar-Rasyidin, empat imam dan tiga kurun waktu yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Merujuk kepada ilmu bintang dan meninggalkan ru’yah dalam menetapkan bulan-bulan Qamariyyah untuk menentukan awal ibadah, merupakan bid’ah yang tiada mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam syariat. (Fatawa Ramadhan, 1/61, ditandatangani oleh asy-Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, asy-Syaikh ‘Abdullah bin Mani’, dan asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun hisab, maka tidak boleh beramal dengannya dan bersandar kepadanya.” (Fatawa Ramadhan, 1/62)
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya:
Sebagian kaum muslimin di sebagian negeri sengaja berpuasa tanpa bersandar pada ru’yah hilal dan merasa cukup dengan kalender. Apa hukumnya?
Jawab:
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin untuk “Berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal. Maka jika mereka tertutup oleh awan hendaknya menyempurnakan jumlah menjadi 30.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لَا نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا -وَعَقَدَ الْإبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ- وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا…
“Kami adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian. Dan beliau menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan bulan itu adalah begini, begini, dan begini, serta mengisyaratkan dengan jari-jarinya seluruhnya.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan bahwa bulan itu mungkin 29 hari dan bisa 30 hari. Terdapat sebuah hadits dalam Shahih al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صُومُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِيْنَ يَوْمًا
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya, maka jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi 30.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau menyempurnakan jumlah.” (Sahih, HR. Muslim no. 2495)
Hadits-hadits tentang ini banyak jumlahnya. Semuanya menunjukkan wajibnya beramal dengan ru’yah atau menyempurnakan jumlah ketika tidak ada ru’yah. Sebagaimana juga menunjukkan tidak bolehnya bersandar pada hisab dalam masalah tersebut. Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menyebutkan ijma’ para ulama bahwa dalam menentukan hilal tidak boleh bersandar kepada hisab. Itulah yang benar, tiada keraguan dalam hal ini. Allah subhanahu wa ta’ala lah yang memberi taufiq. (Fatawa Shiyam, hlm. 5—6)
Syubhat
Sebagian orang memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الشَّهْرُ تِسْعٌ وَعِشْرُوْنَ لَيْلَةً، لَا تَصُومُوهُ حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ إِلاَّ أَنْ يُغَمَّ عَلَيْكُمْ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
“Bulan adalah 29 (hari) maka janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka sehingga kalian melihatnya kecuali jika kalian tertutupi awan, maka jika tertutupi awan maka tentukanlah.” (Sahih, HR. Muslim no. 2501)
Maksudnya menentukan adalah dengan hisab tempat-tempat bulan.
Pendalilan mereka dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini sangat rusak. Karena Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu sendiri yang meriwayatkan hadits, “Kita adalah umat yang ummi tidak menulis dan tidak menghitung” (dengan makna seperti yang telah dijelaskan, red.). Bagaimana mungkin kemudian hadits beliau dipahami mewajibkan mengamalkan ilmu hisab? (Majmu’ Fatawa, 25/182)
Makna yang benar adalah tentukanlah jumlah bulan maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30. (al-Mishbahul Munir, hlm. 492)
Akan lebih jelas lagi dengan riwayat lain yang menjelaskan maksud kata فَاقْدِرُوا لَهُ (maka tentukanlah) yang terdapat dalam riwayat Muslim dari ‘Ubaidillah bin ‘Umar, dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan lafadz:
فَاقْدِرُوا ثَلاَثِيْن
“Maka tentukanlah menjadi 30.”
Dalam riwayat asy-Syafi’i dari Malik, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dengan lafadz:
فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْن
“Sempurnakanlah jumlah menjadi 30.”
Juga dalam riwayat al-Bukhari dari al-Qa’nabi, dari Malik, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz yang sama. Yang lebih jelas lagi adalah dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
فَأَكْمِلُوا ْعِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
“Maka sempurnakanlah jumlah Sya’ban menjadi 30.” (lihat Nuzhatun Nazhar bersama an-Nukat, hlm. 100—102. Fathul Bari, 4/121)
Maksud dari kata فَاقْدِرُوا لَهُ (maka tentukanlah) begitu gamblang, yaitu menyempurnakan jumlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari sebagaimana penjelasan di atas. Bukan maknanya memperkirakan dengan ilmu hisab atau falak.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
[1] Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, yang dimaksud adalah menghisab bintang-bintang dan peredarannya…. Bahkan yang tampak dari konteks tersebut adalah menafikan pengaitan hukum dengan ilmu hisab sama sekali. Yang memperjelas hal itu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika kalian tertutupi awan sempurnakanlah menjadi 30.” Beliau tidak mengatakan, “Bertanyalah kepada ahli-ahli hisab….” Seandainya perkara ini dikaitkan dengan ilmu hisab maka akan menyempitkan masalah ini. Karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit. (Fathul Bari, 4/127)
Comments are closed.