PERBEDAAN ADALAH RAHMAT?

Pertanyaan: Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t menjawab:
Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:
1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)
Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim z tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah k:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” (Al-Baqarah: 187)
Sampai Allah k turunkan ayat:
“Yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi n bersabda kepada ‘Adi bin Hatim z:
إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيضٌ
“Sesungguhnya bantalmu lebar.”
Beliau n tidaklah mengatakan kepadanya: “Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar).”
2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/ keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi n ada beberapa macam cara/ bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi n.
Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau t katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.
3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.
Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:
اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ
“Perbedaan umatku adalah rahmat.”
Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi t dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau t juga berkata: “Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui.”
Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani t.
Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah k telah berfirman:
“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (Hud: 118-119)
Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah l tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah l akan berselisih.
Nabi n bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah z:
ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka.”
Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.
Nabi n juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud z, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):
لَا تَخْتَلِفُوا كَمَا اخْتَلَفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكُوا
“Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa.”
Nabi n bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir c:
اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ
“Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih.”
Dalam sebuah riwayat:
لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ وُجُوهُكُمْ
“Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian.”
Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani z, disebutkan ketika Nabi n melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi n bersabda:
إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ
“Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan.”
Kemudian beliau n memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.
Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi n dan para shahabat. Ikhtilaf tadhad (misalnya):
– Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi n melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau n bersabda kepadanya: “Makanlah dengan tangan kanan.” Orang itu menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka Nabi n bersabda lagi: “Engkau tidak akan bisa.” Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.
– Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi n masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi n bersabda kepadanya: “Thahur (Sakit ini sebagai penyuci).” Namun lelaki tua itu justru berkata: “Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur.” Nabi n pun menjawab: “Kalau begitu, benar.”
Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi n.
– Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah n memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya.” Maka Nabi n marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau n berkata:
إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ
“Orang ini termasuk teman-teman para dukun.”
Yaitu karena sajaknya.
Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah n dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
(Diambil dari Ijabatus Sa`il, hal. 518-521)