Akidah Ahmadiyah

Kelompok Ahmadiyah memiliki akidah yang sangat bertolak belakang dengan akidah kaum muslimin pada umumnya. Oleh karena itu, seharusnya mereka tidak boleh menamakan diri mereka dengan muslimin, juga tidak boleh menamakan tempat ibadah mereka dengan “masjid”.

Di sini kami akan menyebutkan beberapa contoh akidah yang sangat menonjol pada mereka, di antaranya:

  1. Meyakini bahwa mereka memiliki sembahan yang memiliki sifat atau perbuatan manusia, seperti puasa, shalat, tidur, bangun, salah, benar, menulis, menandatangani, bahkan bersenggama dan melahirkan.

Seorang pemeluk Ahmadiyah bernama Yar Muhammad mengatakan, “Suatu saat al-Masih al-Mau’ud (yakni Ghulam Ahmad) pernah menerangkan perihal keadaannya, ‘bahwa dia melihat dirinya seolah-olah adalah seorang wanita dan bahwa Allah memperlihatkan kekuatan kejantanannya kepada dirinya’.” (Dhahiyatul Islam, karya Yar Muhammad hlm. 34)

Na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah). Mahasuci sembahan kaum muslimin dari sifat semacam itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah asy-Syura ayat 11,

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٌۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Baca juga: Mengenal Allah

Padahal, yang mereka sifati itu adalah sembahan mereka sendiri (Ghulam Ahmad), bukan sembahan kaum muslimin.

  1. Para nabi dan rasul akan tetap diutus sampai tegaknya Hari Kiamat, tidak tertutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wa sallam.

Tentu hal ini menyelisihi berita yang terkandung dalam Al-Qur’an, hadits yang mutawatir, dan menyelisihi ijmak kaum muslimin.

Baca juga: Kenabian dan Kerasulan Berakhir dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad
  1. Ghulam Ahmad adalah nabi dan rasul. Hal ini telah terbukti kepalsuannya.

  2. Ghulam Ahmad lebih utama daripada seluruh para nabi dan rasul, termasuk Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

  3. Wahyu turun kepada Ghulam Ahmad.

Wahyu hanya turun kepada nabi yang sesungguhnya, dan itu telah terputus dengan Nabi Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wa sallam.

  1. Yang membawa wahyu kepadanya adalah Malaikat Jibril alaihis salam.

  2. Ghulam Ahmad memiliki agama yang terpisah dari seluruh agama dan bahwa mereka (Ahmadiyah) memiliki syariat tersendiri. Umat mereka adalah umat yang baru, yaitu umat Ghulam Ahmad.

Atas dasar hal ini, semestinya mereka tidak menyandarkan diri mereka kepada Islam. Hendaknya mereka dengan terang-terangan menyatakan antipati mereka kepada Islam. Mereka juga tidak boleh menyebut tempat ibadah mereka sebagai masjid.

  1. Mereka memiliki kitab tersendiri yang kedudukannya menyerupai Al-Qur’an yang terdiri dari dua puluh juz. Namanya adalah al-Kitabul Mubin.

Baca juga: Buku-Buku Sesat Perusak Agama Umat
  1. Qadiyan layaknya Makkah dan Madinah, bahkan lebih utama daripada keduanya.

  2. Haji mereka adalah dengan menghadiri muktamar tahunan di Qadiyan.

  3. Menghapuskan syariat jihad fi sabilillah melawan orang-orang kafir, demi kelanggengan “tuhan” mereka yang sesungguhnya, yaitu para penjajah.

  4. Menganggap kafir seluruh umat Islam yang selain mereka.

  5. Mencela Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan Nabi Isa alaihis salam.

Salah satu yang dia ucapkan tentang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah, “Sesungguhnya Nabi (Muhammad) memiliki tiga ribu mukjizat. Adapun mukjizatku melebihi satu juta mukjizat.” (تحفة كولره:40 وتذكرة الشهادتين:41, karya Ghulam Ahmad)

Baca juga: Pembelaan Terhadap Nabi Muhammad

Di antara ucapannya tentang Nabi Isa alaihis salam adalah, “Sesungguhnya Isa adalah seorang pecandu khamr dan perilakunya jelek.” (حاشية ست بجن:172, karya Ghulam Ahmad)

Dia juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya Isa suka mendekati para pelacur karena neneknya dahulu juga seorang pelacur.” (ضميمة انجام آثم، حاشية ص 7, karya Ghulam Ahmad)

Semua itu adalah tuduhan yang sama sekali tiada berbukti. Bahkan, siapa yang sesungguhnya pencandu khamr? Lihatlah kisah berikut ini.

Ghulam menulis surat kepada salah seorang muridnya di Lahore agar mengirimkan wine kepadanya dan membelinya dari toko milik seseorang yang bernama Belowmer.

Ketika Belowmer ditanya wine itu apa, ia menjawab, “Salah satu jenis khamr yang sangat memabukkan, yang diimpor dari Inggris dalam kemasan tertutup.”[1]

Persaksian semacam ini telah banyak dinukilkan dari para pengikutnya, entah mereka menyadarinya atau tidak.

Baca juga: Kemunculan Nabi Palsu, Pertanda Datangnya Hari Kiamat

Majalah Ahmadiyah, al-Fadhl, juga menyebutkan, “Sesungguhnya al-Masih al-Mau’ud Ghulam Ahmad adalah seorang nabi. Maka dari itu, tidak mengapa ia bercampur-baur dengan para wanita, menjamah mereka, serta memerintah mereka untuk memijit-mijit kedua tangan dan kakinya. Bahkan, semua ini akan mendatangkan pahala, rahmat, dan berkah.” (Edisi 20 Maret 1928 M)

Adapun mengenai Nabi Isa alaihis salam, cukuplah bagi kaum muslimin untuk memperhatikan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالَ إِنَّمَآ أَنَا۠ رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَٰمًا زَكِيًّا

“Dia (Jibril) berkata (kepada Maryam), ‘Sesungguhnya aku ini hanyalah utusan Rabbmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu berupa seorang anak laki-laki yang suci’.” (Maryam: 19)

  1. Mencela para sahabat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

  2. Ghulam Ahmad adalah al-Masih al-Mau’ud.

  3. Ghulam Ahmad adalah al-Imam Mahdi.

Mengenai dua poin terakhir, kami telah menyebutkan bantahannya dalam Majalah asy-Syari’ah edisi 33 tentang “Imam Mahdi” dan edisi 35 tentang “Turunnya Nabi Isa”.

Ahmadiyah Lahore

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, muncul perpecahan di tubuh Ahmadiyah, khususnya setelah kematian “nabi” mereka, Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai pecahan Ahmadiyah Qadiyan, muncullah kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan “Ahmadiyah Lahore”.

Di Indonesia pun demikian. Ada yang mengikuti asalnya sehingga ada yang disebut Jamaah Ahmadiyah Indonesia (disingkat JAI) yang berpusat, di antaranya, di Parung, Bogor, sebagai wujud dari Ahmadiyah Qadiyan. Ada juga Gerakan Ahmadiyah Indonesia (disingkat GAI) yang berpusat di Yogyakarta sebagai wujud dari Ahmadiyah Lahore.

Kami sengaja membahas Ahmadiyah Lahore ini secara khusus meskipun ringkas. Sebab, gerakan ini menampakkan penampilan yang lebih “bersahabat” dengan kaum muslimin. Salah satunya ialah dengan menyatakan bahwa mereka tidak meyakini Ghulam Ahmad sebagai nabi, tetapi sekadar pembaru.

Baca juga: Hukum Orang yang Mengaku Sebagai Nabi & Rasul

Perlu diketahui, pimpinan Ahmadiyah Lahore ini adalah Muhammad Ali. Dia mempelajari ilmu sains dan memperoleh gelar magister, tetapi tidak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya ia direkrut untuk menjadi pendamping nabi palsu, Ghulam Ahmad. Dengan demikian, ia dapat memperkukuh kenabiannya karena adanya peluang untuk menyebarkan kesesatan mereka di kalangan terpelajar.

Untuk tujuan itu, ia digaji sangat tinggi ketika itu oleh penjajah Inggris, lebih dari 200 Rupee. Padahal, para petinggi negara saja kala itu gajinya tak lebih dari 50 Rupee.

Mulailah ia bekerja dengan menjabat sebagai pemimpin redaksi salah satu majalah bulanan Ahmadiyah. Sepeninggal Ghulam Ahmad ia menjadi musyrif (direktur) majalah tersebut dan diserahi tugas penerjemahan makna Al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris, yang tentu disisipi penyelewengan-penyelewengan ala Ahmadiyah. Awalnya terjemahan ini dipimpin oleh khalifah Ghulam yang pertama, yaitu Nuruddin.

Disebutkan dalam majalah mereka, al-Fadhl, 2 Juni 1931 M, “Sesungguhnya hadhrat khalifah yang pertama bagi al-Masih al-Mau’ud (Ghulam Ahmad) dahulu mendiktekan penerjemahan makna-makna Al-Qur’an kepada Ustadz Muhammad Ali. Beliau (Muhammad Ali) mengemban pekerjaan tersebut dan mengambil gaji sebesar 200 Rupee per bulan.”

Seiring berjalannya waktu dan perkenalan yang semakin mendalam, terjadilah ketidakcocokan antara dia dan Ghulam Ahmad. Sebab, ia mengetahui bahwa Ghulam Ahmad menumpuk harta umat untuk kepentingan pribadinya dan tidak mengikutsertakannya dalam kekayaan tersebut.

Baca juga: Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah

Oleh sebab itu, Ghulam mengatakan,

“Mereka menuduh kita memakan harta haram. Apa hubungan mereka dengan harta ini?[2] Seandainya kita berpisah dengan mereka, mereka tidak akan mendapatkan harta ini walaupun satu qirsy.”[3]

Sepeninggal Ghulam Ahmad dan perebutan warisan berupa harta pemberian dari Inggris dan perolehan dari pengikutnya, Inggris hendak menciptakan trik baru untuk menjaring masyarakat muslimin dalam jaring kesesatan. Mereka (Inggris) melihat jurusnya yang dahulu kurang ampuh. Terlebih lagi dengan tersingkapnya kenabian palsu Ghulam Ahmad oleh para ulama Islam sehingga kaum muslimin pun bisa waspada dari segala penipuannya.

Inggris khawatir apabila usahanya akan lenyap bersama kelompok murtad ini. Maka dari itu, mereka menunjuk pembantu kecilnya, Muhammad Ali, untuk memimpin kelompok yang beroposisi dengan pewaris tahta Ghulam Ahmad, demi kepentingan penjajah untuk membuat jamaah baru dan memproklamasikan bahwa Ghulam Ahmad tidak menyerukan kenabian dirinya. Akan tetapi, ia hanya menyerukan bahwa dirinya adalah pembaru agama Islam.

Tujuan proklamasi ini adalah untuk menjerat kaum muslimin yang sebelumnya telah menyadari kepalsuan kenabian Ghulam Ahmad, agar dapat terjebak dalam jaringnya secara perlahan. Setidaknya, mereka berharap agar kaum muslimin menjauhi agama Islam dan ajaran-ajarannya, termasuk berjihad melawan penjajah.

Baca juga: Prinsip-Prinsip Mengkaji Agama

Demikian proses kelahiran kelompok ini. Jadi, pada hakikatnya kelompok ini terlahir bukan karena perbedaan akidah dengan Ahmadiyah Qadiyan sebagaimana kesan yang terpublikasi. Semua itu terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang termuat dalam surat kabar Ahmadiyah Lahore, di antaranya,

“Kami adalah pelayan-pelayan pertama untuk hadhrat al-Masih al-Mau’ud (Ghulam Ahmad). Kami beriman bahwa beliau adalah rasulullah yang jujur yang benar, dan bahwa ia diutus untuk membimbing orang-orang di zaman ini serta memberikan hidayah kepada mereka, sebagaimana kami beriman bahwa tiada keselamatan kecuali dengan mengikutinya.”[4]

Bahkan, Muhammad Ali sendiri menulis, “Kami meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah al-Masih al-Mau’ud dan Mahdi yang dijanjikan. Dia adalah rasulullah dan nabi-Nya. Allah menempatkannya di sebuah tempat dan kedudukan, sebagaimana yang ia terangkan sendiri (yakni lebih utama daripada semua rasul—ed.). Kami mengimani bahwa tidak ada keselamatan bagi yang tidak beriman.”[5]

Adapun ucapannya, “Sesungguhnya kami tidak meyakini bahwa Ghulam Ahmad itu nabi Allah dan rasul-Nya. Namun, kami hanya meyakininya sebagai mujaddid (pembaru) dan muslih.”[6]

Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Zhahir pun mengomentari ucapannya, “Tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak sesuai dengan pernyataan-pernyataannya yang telah lalu.”

Baca juga: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah

Kesimpulannya, Ahmadiyah Lahore menampakkan keyakinan bahwa Ghulam Ahmad hanya sebatas pembaru, padahal hakikatnya sama saja dengan Ahmadiyah Qadiyan dalam hal keyakinan, meskipun para pengikutnya mungkin ada yang mengetahui hakikat ini dan ada yang tidak mengetahuinya.

Yang jelas, keyakinan Ahmadiyah bahwa Ghulam Ahmad adalah pembaru pun sangat keliru dan salah fatal. Sebab, secara tidak langsung sebenarnya Ghulam Ahmad sedang menyatakan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan rasul. Ini merupakan kekafiran. Ditambah lagi dengan berbagai penyimpangan yang ada, seperti yang telah dijelaskan.

Nah, apakah orang semacam ini pantas disebut sebagai pembaru agama Islam, atau justru pembaru ajaran Musailamah al-Kadzdzab dan para pengikutnya? Sadarlah, wahai orang-orang yang berakal sehat!


Catatan Kaki

[1] Keterangan dari Nur Ahmad al-Qadiyani dalam majalah al-Fadhl, 20 Agustus 1946 M. Dinukil dari makalah Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir, al-Mutanabbi al-Qadiyani wa Ihanatuhu ash-Shahabah, hlm. 300.

[2] Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir mengomentari, “Bagaimana mereka tidak memiliki hubungan, sementara mereka berserikat dalam memperkukuh status ‘kenabian’?!”

[3] Surat putra Ghulam kepada Nuruddin, terdapat dalam Haqiqat al-Ikhtilaf, karya Muhammad Ali, Aisar al-Qadyaniyah fi Laahur, hlm. 50.

[4] صلح بيغام surat kabar Ahmadiyah Lahore edisi 7 September 1913 M.

[5] Review of Religions, juz 3 no. 11 hlm. 411.

[6] Review of Religions, juz 9 no. 7 hlm. 248.

(Ustadz Qomar Z.A., Lc.)