Kenabian dan Kerasulan Berakhir dengan Kenabian dan Kerasulan Muhammad

Telah menjadi keyakinan yang asasi dalam Islam, bahwa Muhammad bin Abdillah adalah nabi sekaligus rasul terakhir. Sebagai bagian dari prinsip keimanan, tak ada tawar-menawar dalam perkara ini. Tidak ada pula kemungkinan bagi datangnya “kebenaran baru”, sebagaimana diistilahkan oleh para pembela ajaran nabi palsu.

Merupakan akidah yang paten, keyakinan yang kokoh melebihi kekokohan gunung-gunung yang tinggi menjulang, bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi kita Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib al-Hasyimi (dari Bani Hasyim) al-Qurasyi (dari suku Quraisy) al-Arabi (dari bangsa Arab). Jadi, beliaulah nabi dan rasul yang terakhir.

Keyakinan ini merupakan penegasan dari atas tujuh langit, dari Allah Rabb semesta alam, Yang menguasai kerajaan langit dan bumi serta dunia dan akhirat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينًاۚ

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah: 3)

Baca juga: Agama Ini Telah Sempurna

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Ini merupakan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang terbesar atas umat ini. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka. Jadi, mereka tidak lagi membutuhkan agama selain agama mereka. Mereka tidak pula membutuhkan nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya sebagai penutup para nabi. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus beliau kepada manusia dan jin.

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, melainkan dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40)

Kata (وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ) artinya adalah penutup para nabi. Demikian disebutkan oleh para mufasir—baik dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah maupun selainnya—seperti ditegaskan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, al-Qurthubi, al-Baghawi, Ibnu Katsir, Abu Hayyan, al-Khazin, an-Nasafi, Fakhruddin ar-Razi, az-Zamakhsyari, dan kalangan ahli tafsir selain mereka; rahimahumullah. Tidak ada yang menyelisihi mereka kecuali orang-orang belakangan dan yang tidak memahami bahasa Arab; bahasa yang Allah subhanahu wa ta’ala gunakan ketika menurunkan Al-Qur’an.

Baca juga: Metode Tafsir Al-Qur’an

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,

“Ayat ini merupakan penegasan bahwa tiada nabi setelahnya. Apabila tiada nabi setelahnya, tentu lebih lagi tiada rasul (setelahnya)… Keterangan itulah yang dating dalam hadits-hadits yang mutawatir dari rasul.” (Tafsir a-Qur’anil ‘Azhim, 3/501)

Dalil-Dalil dari Hadits Nabi

Ya, itulah Nabi kita yang mulia, yang tidak berbicara dari hawa nafsunya, tetapi dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Dialah ash-Shadiqul Mashduq, yang jujur lagi dibenarkan. Beliau telah menegaskan dalam hadits yang cukup banyak jumlahnya, bahkan sampai derajat mutawatir—sebagaimana penegasan Ibnu Katsir rahimahullah di atas—bahwa kerasulan dan kenabian telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan beliau. Jadi, beliaulah nabi dan rasul yang terakhir, tiada nabi dan rasul setelahnya.

Berikut ini sebagian hadits tersebut.

  1. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata,

Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِابْنِ مَرْيَمَ، الْأَنْبِيَاءُ أَوْلَادُ عَلَّاتٍ، وَلَيْسَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ نَبِيٌّ

“Aku adalah orang yang paling dekat dengan (Isa) Ibnu Maryam. Para nabi itu adalah anak-anak seibu, dan tidak ada nabi antara aku dan dia.”

Baca juga: Syubhat Seputar Turunnya Nabi Isa

Kemudian Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلِي وَمَثَلُ الْأَنْبِيَاءِ كَمَثَلِ قَصْرٍ أُحْسِنَ بُنْيَانُهُ، وَتُرِكَ مِنْهُ مَوْضِعُ لَبِنَةٍ فَطَافَ بِهِ نُظَّارٌ، فَتَعَجَّبُوا مِنْ حُسْنِ بُنْيَانِهِ إِلَّا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ، لَا يَعِيبُونَ غَيْرَهَا، فَكُنْتُ أَنَا مَوْضِعَ تِلْكَ اللَّبِنَةِ، خُتِمَ بِيَ الرُّسُلُ

“Perumpamaan aku dengan para nabi yang lain adalah bagaikan sebuah istana yang bangunannya diperindah. Dari bangunan itu disisakan satu tempat untuk sebuah batu bata. Orang-orang yang memandangnya berkeliling hingga mereka terheran-heran dengan keindahan bangunannya, kecuali satu tempat batu bata tersebut. Mereka tidak mencacat selainnya. Akulah yang menduduki tempat batu bata tersebut, para rasul ditutup denganku.” (HR. Ibnu Hibban, bab Dzikru Tamtsilil Mushthafa ma’al Anbiya bil Qashril Mabni, 14/361)

Dalam lafaz al-Bukhari dan Muslim,

وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ

“Aku adalah penutup para nabi.” (HR. al-Bukhari, “Kitabul Manaqib”, Bab Khatamin Nabiyyin; Muslim “Kitabul Fadhail”, Bab Dzikru Kaunihi Khataman nabiyyin)

  1. Abu Hurairah radhiallahu anhu

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

“Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Yang ada adalah para khalifah dan mereka semakin banyak….” (HR. al-Bukhari, “Kitabul Anbiya”, Bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil, no. 3268; Muslim, “Kitabul Imarah”, Bab Wujubul Wafa bi Bai’atil Khulafa al-Awwal fal Awwal)

Baca juga: Kisah Bani Israil dan Ganimah
  1. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرِّسَالَةَ وَالنُّبُوَّةَ قَدْ انْقَطَعَتْ فَلاَ رَسُولَ بَعْدِي وَلاَ نَبِيَّ

“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus sehingga tidak ada rasul dan nabi sepeninggalku.” (HR. at-Tirmidzi 4/533 no. 2272; beliau berkata, “Hasan sahih”; “Kitab ar-Ru`ya”, Bab Dzahabatin Nubuwwah wa Baqiyat al-Mubasyirat; Ahmad 3/267; al-Hakim 4/433, beliau mengatakan, “Sanadnya sahih menurut syarat Muslim.”)

  1. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, ia berkata,

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فُضِّلْتُ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ بِسِتٍّ: أُعْطِيتُ جَوَامِعَ الْكَلِمِ، وَنُصِرْتُ بِالرُّعْبِ، وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ، وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ طَهُورًا وَمَسْجِدًا، وَأُرْسِلْتُ إِلَى الْخَلْقِ كَافَّةً، وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ

“Aku diberi kelebihan atas para nabi dengan enam perkara:

  • diberi jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas, tetapi padat),
  • diberi kemenangan dengan rasa takut dalam diri musuh,
  • dihalalkan untukku rampasan perang,
  • dijadikannya tanah untukku sebagai alat bersuci dan tempat shalat,
  • aku diutus kepada makhluk seluruhnya, dan
  • para nabi ditutup denganku.” ( Muslim, “Kitabul Masajid wa Mawadhi’ ash-Shalah”)
Baca juga: Hukum Orang yang Mengaku Sebagai Nabi & Rasul

Demikian beberapa hadits dari Nabi kita, Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wa sallam. Selain yang disebutkan di atas, masih terdapat banyak hadits yang lain dalam masalah ini.

Kesepakatan Ulama Umat

Para sahabat Nabi, orang-orang yang ridha terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan Allah subhanahu wa ta’ala-pun ridha terhadap mereka, juga bersepakat bahwa kenabian dan kerasulan telah ditutup dengan kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Karena itu, mereka serentak memerangi Musailamah al-Kadzdzab dan nabi-nabi palsu yang lain di masa mereka.

Jadi, para ulama berjalan di atas jalur ini. Jalur keselamatan yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Rasul-Nya, dan yang para sahabat beliau berjalan mengikutinya.

Berikut adalah beberapa kutipan pernyataan dari ulama tersebut,

  • Abu Hanifah rahimahullah (wafat 150 H)

Seseorang mengaku nabi di masa Imam Abu Hanifah rahimahullah. Orang itu mengatakan, “Beri aku waktu sehingga aku akan mendatangkan tanda-tandanya.”

Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Barang siapa meminta tanda dari orang itu, dia telah kafir, berdasarkan sabda Nabi, ‘Tiada nabi setelahku’.”

  • Ath-Thahawi rahimahullah (wafat 321 H)

Dalam bukunya al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, beliau berkata, “Beliau (Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wa sallam) adalah penutup para nabi, imam orang-orang yang bertakwa, pemimpin para rasul, kekasih Rabbul alamin. Seluruh pengakuan kenabian setelahnya adalah kesesatan dan hawa nafsu.”

  • Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah (wafat 456 H)

Beliau berkata, “Sesungguhnya, wahyu telah terputus semenjak wafatnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sebagai bukti hal itu adalah bahwa wahyu tidak diberikan kecuali kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sementara itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمًا

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, melainkan dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ahzab: 40) [al-Muhalla, 1/26]

  • Al-Qadhi Iyadh rahimahullah

Beliau berkata, “Barang siapa mengakui adanya kenabian pada seseorang bersamaan dengan Nabi kita atau setelahnya, semacam:

  1. kelompok ‘Isawiyah dari kalangan Yahudi yang menganggap bahwa kerasulan Muhammad hanya kepada orang Arab, atau
  2. kelompok al-Khurramiyah yang beranggapan bahwa para rasul itu terus berkesinambungan;

mereka semuanya adalah kafir, tidak beriman kepada Nabi (Muhammad shallallahu alaihi wa sallam). Sebab, beliau shallallahu alaihi wa sallam memberitakan bahwa beliau adalah penutup para nabi dan tiada nabi setelah beliau. Allah subhanahu wa ta’ala juga memberitakan bahwa beliau shallallahu alaihi wa sallam adalah penutup para nabi dan bahwa beliau diutus kepada seluruh manusia.

Baca juga: Bagaimana Cara Beriman kepada Nabi dan Rasul?

Umat pun bersepakat (ijmak) bahwa pernyataan ini dipahami apa adanya. Apa yang terpahami darinya, itulah yang dimaukan, tidak perlu diselewengkan atau di-takhshish (dikhususkan).

Maka dari itu, tidak diragukan tentang kekafiran mereka secara pasti, dengan kekafiran yang disepakati dan berdasarkan dalil.” (asy-Syifa`)

  • Ulama-ulama besar di India pada abad ke-12 H

Mereka menuangkan dalam fatwa mereka, “Apabila seseorang tidak mengetahui bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sebagai akhir para Nabi, dia bukan seorang muslim. Seandainya dia mengatakan,

  1. ‘Aku adalah rasul Allah,’ atau
  2. dengan bahasa Persia (yang artinya) ‘Aku adalah nabi’, dan ia memaksudkan bahwa ‘Aku datang dengan kerasulan’;

maka dia kafir.” (al-Fatawa al-Alamkiriyah, 2/263)

Penyelewengan Ahmadiyah terhadap Makna Ayat

Ayat-ayat dan hadits-hadits yang sahih—bahkan mutawatir—sedemikian tegas dan pasti menunjukkan bahwa tiada nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Namun, orang-orang Ahmadiyah tetap berusaha menakwilkan dan menyelewengkannya dari makna aslinya, agar dapat menemukan celah untuk melegitimasi akidah sesat mereka. Dengan demikian, mereka dapat dengan mudah mengelabui masyarakat awam.

Di antara bentuk penyelewengan makna ayat adalah sebagai berikut.

  1. Mereka mengartikan lafaz (خَاتَمَ النَّبِيِّينَ) yang berarti penutup atau akhir para nabi dengan makna (أَفْضَلُ النَّبِيِّينَ) “yang paling utama di antara para nabi”.
  2. Atau mereka mengartikannya dengan “mahar para nabi”.
  3. Kata (النَّبِيِّينَ) yang berarti para nabi—yakni seluruhnya, mereka artikan dengan “sebagian nabi”.
Baca juga: Kitab-Kitab Tafsir Ahlus Sunnah dan Keistimewaannya

Dengan penyelewengan makna tersebut, tentu ayat di atas tidak lagi menjadi nas yang tidak menerima tawar-menawar dalam hal berakhirnya kenabian dan kerasulan dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Karena itu, sangat perlu dilakukan pencerahan agar manipulasi makna ayat tersebut terkuak dan ayat tetap diartikan dengan makna yang sesungguhnya.

Penyelewengan yang pertama, yaitu pengartian (خَاتَمُ النَّبِيِّينَ) dengan arti yang paling utama dari para nabi.

Perlu diketahui bahwa pengartian tersebut sama sekali tidak didukung oleh bahasa Arab yang Al-Qur’an turun dengannya. Tidak ada seorang pun pakar bahasa Arab dan ahli tafsir yang mengartikannya dengan semacam pemaknaan mereka. Sebagai contoh,

  • Dalam Majma’ Biharil Anwar, penulisnya, yaitu Muhammad bin Thahir al-Hindi, mengatakan,

Al-Khatim (dengan mengkasrah huruf ta) dan al-Khatam (dengan memfathah huruf ta), keduanya termasuk nama Nabi (Muhammad bin Abdillah). Jika dibaca dengan fathah berarti isim (artinya, yang terakhir di antara para nabi). Jika dibaca dengan kasrah, berarti isim fa’il (artinya, yang mengakhiri para nabi).”

  • Az-Zabidi dalam kamus Tajul ‘Arus mengatakan,

“Di antara nama-nama Nabi adalah al-Khatim dan al-Khatam. Artinya, yang menutup kenabian dengan kedatangannya.”

  • Ibnu Faris mengatakan, “(Kata kerja) kha-ta-ma, artinya mencapai akhir sesuatu. Nabi Muhammad (disebut) khatimul anbiya karena beliau adalah akhir para nabi.”

Penjelasan yang semakna disebutkan juga oleh ahli bahasa yang lain, semisal Raghib al-Ashfahani, al-Jauhari, Abul Baqa’, dan al-Fairuzabadi.

Baca juga: Kemunculan Nabi Palsu, Pertanda Datangnya Hari Kiamat

Seorang ulama Pakistan terkemuka, Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan setelah menukilkan ucapan para ahli bahasa tersebut,

“Inilah yang dikatakan para imam dalam bahasa Arab, orang-orang yang ahli di bidangnya. Kami nukilkan dari kamus-kamus yang terpenting dalam bahasa Arab. Masing-masing menyebutkan bahwa makna khatam adalah akhir. Jadi, saya tidak mengerti, bagaimana orang-orang yang tidak mengerti bahasa Arab sedikit pun menganggap bahwa makna khatam bukanlah “akhir”, melainkan “yang paling utama”. Dengan makna (penutup) ini juga para imam tafsir menafsirkannya.”

Di samping penafsiran ala Ahmadiyah tersebut tidak sejalan dengan bahasa Arab, ia juga tidak sesuai dengan kandungan ayat Al-Qur’an yang lain dan tidak sesuai dengan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mutawatir, serta menyelisihi ijmak para sahabat dan para imam setelah mereka.

Penyelewengan yang kedua, khatam diartikan sebagai “mahar”, mahar para nabi.

Menurut mereka, beliau shallallahu alaihi wa sallam memberikan mahar kepada orang-orang, yang dengan mahar itu seseorang bisa menjadi nabi.

Tentang hal ini, Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan,

“Ini tidak lain adalah omongan rendahan, (pengartian yang) tidak dikenali oleh orang Arab… Tidak pernah didengar oleh bangsa Arab. Tidak pula didapati dalam bahasa-bahasa mereka, bahkan sampai pun dalam bahasa-bahasa yang lain.”

Penyelewengan yang ketiga, yakni “para nabi” mereka artikan dengan “sebagian para nabi”.

Dengan demikian, arti ayat tersebut menjadi “penutup sebagian para nabi’, yakni nabi yang memiliki syariat tersendiri (ash-habu asy-syari’ah). Yang mereka maksudkan adalah nabi yang tidak memiliki syariat tersendiri, tetapi menginduk kepada nabi yang sebelumnya (nabiyyun muttabi’). Menurut mereka, kesempatan munculnya nabi yang seperti ini belum ditutup, masih terbuka.

Menanggapi syubhat ini, Syaikh Prof. Ihsan Ilahi Zhahir mengatakan,

“Ucapan mereka bahwa yang dimaksud dengan kata ‘para nabi’ (dalam ayat) adalah para nabi yang memiliki syariat tersendiri, ini ucapan yang batil, tidak berdasarkan dalil. Sebab, (pada ayat tersebut) Allah subhanahu wa ta’ala tidak membedakan antara para nabi yang membawa syariat tersendiri dan yang tidak.

Allah subhanahu wa ta’ala hanya mengatakan, ‘nabiyyin’, artinya ‘para nabi’ dengan bentuk kata yang umum dan mutlak. Yang diketahui dalam ilmu ushul bahwa sebuah kata dalam bentuk yang umum berlaku sesuai dengan keumumannya. Adapun kata yang dalam bentuk mutlak, ia berlaku sesuai dengan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan atau mengikatnya.

Dalam hal ini, tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam ayat adalah nabi-nabi tertentu. Berbeda halnya dengan nas-nas yang sahih, yang justru menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah kenabian secara umum, sebagaimana yang telah berlalu.

Andai pun ayat dipahami menurut versi mereka—dengan tafsir yang menyeleweng, yakni ‘penutup nabi-nabi yang membawa syariat tersendiri’—pada kenyataannya mereka tetap menyalahinya. Sebab, Mirza Ghulam Ahmad mengaku bahwa dirinya adalah shahibu asy-syari’ah, pemilik syariat tersendiri sebagaimana dalam buku Arba’in karya Ghulam (no. 4 hlm. 7).” (dinukil dari al-Qadiyaniyah wa ‘Aqaiduha, hlm. 337)

Akan tetapi, pada saat yang lain, ia mengaku bahwa dirinya hanya menginduk kepada syariat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Sekilas Tentang Sejarah Munculnya Ahmadiyah

Ya, begitulah. Plinplan, bahkan dusta. Sebab, pada kenyataannya, ajaran yang dibawa oleh Mirza Ghulam Ahmad sangat bertolak belakang dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Hal yang semacam ini menjadi ciri khas nabi palsu.

Wallahu a’lam.

(Ustadz Qomar Z.A., Lc.)

Comments are closed.