(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

Pada bulan Sya’ban tahun kelima hijrah, terjadilah peristiwa haditsul ifk yang masyhur. Kisah ini bermula ketika Nabi n yang biasa jika hendak safar, melakukan undian di antara para isteri beliau -itulah salah satu bentuk keadilan beliau n-. Siapa yang keluar namanya dalam undian itu, dialah yang menyertai Rasulullah n. Maka, beliau pun mengundi. Keluarlah nama ‘Aisyah x sehingga beliaulah yang diajak Nabi n.
Dalam perjalanan pulang, mereka berkemah di sebuah tempat, dan istirahat di akhir malam. Waktu itu ‘Aisyah x bermaksud hendak buang hajat. Maka Nabi n memerintahkannya untuk pergi di akhir malam. Setelah beliau berangkat, datanglah rombongan untuk mengangkat sekedup (semacam tandu)-nya. Mereka tidak sadar bahwa ‘Aisyah tidak ada di dalamnya karena tubuhnya yang kecil dan ringan. Beliau dinikahi oleh Rasulullah n ketika berusia enam tahun dan mulai bergaul dengan Rasulullah n ketika berusia sembilan tahun. Rasulullah n wafat meninggalkannya dalam usianya 18 tahun. ‘Aisyah x sendiri wafat dalam usia sekitar 63 tahun. Merekapun mengangkat sekedup itu dalam keadaan mengira ‘Aisyah ada di dalamnya.
Ketika ‘Aisyah kembali dari keperluan-nya, dia tidak melihat seorangpun di tempatnya. Namun dengan akal dan kecer-dasannya, dia tidak beranjak untuk mencari ke sana ke mari. Dia tetap tinggal di tempat itu dan berkata: “Mereka tentu kehilangan saya dan akan kembali ke tempat saya.”
Namun Allah I berkuasa atas urusan-Nya. Dia mengatur segala sesuatu dari atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Selanjutnya, ‘Aisyah diserang kantuk cukup berat. Beliaupun tertidur dan tidak tergugah hingga mendengar suara Shafwan bin Mu’aththal mengucapkan istirja’: “Innaa lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasulullah n.” Ketika itu Shafwan berkemah di bagian belakang pasukan karena sering tidur, dan jika sudah tertidur tidak mudah terbangun kecuali jika Allah I membangunkannya. Tatkala melihat sosok ‘Aisyah, dia segera mengenalnya, apalagi dia pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. Spontan dia mengucapkan kalimat istirja’, memanggil untanya dan mendekatkannya ke arah ‘Aisyah.
Dia tidak berbicara sepatahpun karena menghormati isteri Rasulullah n. Dan dia tidak ingin berbicara dengan keluarga beliau tanpa keberadaan beliau n. Semoga Allah I meridhainya.
Shafwan menderumkan untanya lalu meletakkan tangannya di atas lutut unta itu, namun tidak mengatakan: “Naiklah”, dan tidak bicara sepatahpun. Kemudian ‘Aisyah x menaiki unta itu dan merekapun berangkat menyusul rombongan pasukan. Shafwan menggiring unta tersebut tanpa menoleh ke arah ‘Aisyah dan tanpa berkata-kata sehurufpun. Semoga Allah I meridhai-nya.
Akhirnya mereka menemukan rom-bongan pada waktu dhuha, ketika matahari beranjak naik. Betapa senangnya kaum munafikin saat mendapatkan celah untuk menjatuhkan Rasulullah n. Mereka pun mulai menuduh shahabat ini berselingkuh dengan seorang wanita mulia yang suci bersih, ranjang (isteri) Rasulullah n. Mereka menuduh shahabat ini berbuat keji dengan beliau x. Lantas mereka pun menyebar-kan berita keji ini, bahwa shahabat tersebut telah melakukan sesuatu (zina, ed.).
Dalam peristiwa ini, tergelincirlah tiga orang shahabat mulia. Mereka terjatuh dalam perkara yang menimpa kaum muna-fikin, yaitu Misthah bin Utsatsah, putera bibi (khalah) Abu Bakr (Ash-Shiddiq), Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy, g.

Berita Tersebar
Kegemparan terjadi. Orang-orang mulai berkomentar: “Ada apa ini? Bagai-mana bisa terjadi?” Ada yang dilanda kegamangan. Ada pula yang demikian kuat mengingkarinya.
Kata mereka: “Tidak mungkin ranjang Rasulullah n akan ternoda. Karena ranjang beliau adalah ranjang paling suci di muka bumi ini.”
Dan Allah I, dengan Keperkasaan, Kekuasaan, dan Hikmah-Nya menghendaki ketika itu ‘Aisyah x jatuh sakit sehingga tetap di rumah, tidak keluar. Biasanya, Nabi n jika menjenguk ‘Aisyah yang sedang sakit menanyakan perihalnya dan berbicara dengannya. Namun saat itu, beliau n diam seribu bahasa. Datang, masuk dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”, lalu pergi. ‘Aisyah x merasakan kejanggalan sikap beliau ini. Namun sama sekali tidak terlintas dalam benaknya ada orang-orang yang tengah menggunjingkan kehormatan-nya dan hal-hal yang isinya menodai kesucian ranjang Rasulullah n.
Kaum munafikin semakin gencar menyebarkan kebohongan ini, bukan semata karena benci kepada pribadi ‘Aisyah x. Karena sesungguhnya mereka memang membenci seluruh kaum mukminin. Hanya saja mereka melakukan ini karena benci kepada Rasulullah n dan ingin menyakiti serta melampiaskan dendam kesumat mereka terhadap beliau. Semoga Allah I melenyapkan mereka, bagaimana mereka bisa dipalingkan?
Mereka tidak menyebarkannya dengan kata-kata yang vulgar (si Fulan berzina dengan Fulanah, ed.), tapi dengan kalimat-kalimat sindiran; tidak terang-terangan, karena sejatinya mereka memang manusia-manusia pengecut.

Pembelaan dari Atas Langit
Sebulan penuh berlalu, Aisyah xmerasakan kepedihan. Bahkan Rasu-lullah n pun gelisah, belum juga turun wahyu menjelaskan masalah ini. Namun Allah I betul-betul Maha Pengasih. Dia tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat ihsan. Apalagi kekasih-Nya, hamba yang paling dicintai dan diutamakanNya, Muhammad bin ‘Abdillah n.
Akhirnya, Allah I menurunkan sepuluh ayat Al Quran berkaitan dengan kisah ini, dimulai dengan firman Allah I:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak menda-tangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembi-caraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperbincangkan ini. Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.’ Allah memper-ingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” (An-Nur: 11-20)
Adapun yang mempunyai andil terbesar dalam penyebaran kabar bohong ini adalah gembong munafikin, Abdullah bin Ubai bin Salul Al-Munafiq. Karena sebetul-nya dialah yang menyebarkan berita ini.
Rasulullah n diam tidak berbicara. Beliau hanya bermusyawarah dengan para shahabatnya, apakah menceraikan ‘Aisyah ataukah tetap menahannya (sebagai isteri). ‘Ali bin Abi Thalib z menyarankan dengan sindiran agar Rasulullah n menceraikannya. Karena ‘Ali berpendapat bahwa ini adalah suatu hal yang meragukan, maka ‘Ali menyarankan agar beliau meninggalkan perkara yang meragukan ini dan berpegang dengan hal-hal yang meyakinkan agar terlepas dari keresahan dan kesedihan karena mendengar berita/omongan orang. Jadi, ‘Ali menawarkan kepada Rasulullah n jalan pintas mengobati penyakit tersebut.
Sedangkan Usamah bin Zaid c, ketika mengetahui betapa besar cinta Rasulullah n kepada ‘Aisyah dan ayahandanya, juga betapa tinggi kemuliaan, kehormatan, dan kesuciannya serta ketakwaannya, yang terlalu agung (sangat mustahil, ed.) untuk terjatuh ke dalam perkara seperti itu, juga dengan karamah/kemuliaan Rasulullah n dan kedudukan beliau di sisi Allah I, serta pembelaan Allah I terhadap beliau, tidak mungkin Allah I akan jadikan isteri kekasih-Nya, puteri Ash-Shiddiq, sebagaimana tuduhan keji para penyebar berita bohong tersebut.
Akhirnya, ketika para shahabat yang mengenal keadaan ini, mereka yang kokoh pengetahuannya tentang Allah I dan Rasul-Nya, serta kedudukan beliau di sisi Allah I, tentu akan mengatakan sebagaimana perkataan Abu Ayyub dan para pembesar shahabat lainnya:

“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”
Perhatikanlah ucapan tasbih mereka kepada Allah I ini. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ma’rifat mereka terhadap Allah I. Tidak mungkin Allah I akan menjadikan untuk Rasul dan Khalil-Nya serta manusia paling mulia di sisi-Nya seorang isteri yang jahat dan jalang. Sehingga siapa saja yang mempunyai anggapan seperti ini terhadap Allah I, berarti dia su‘uzhan (buruk sangka) kepada Allah I. Dan orang-orang yang mengenal Allah I serta Rasul-Nya, mengerti bahwa perempuan yang keji tidak ada yang pantas baginya kecuali laki-laki yang keji pula. Sebagaimana firman Allah I:

“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji.” (An-Nur: 26)
Sehingga merekapun memutuskan dengan seyakin-yakinnya, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah dusta besar dan kebohongan yang nyata.
Asy-Syaikh As-Sa’di t dalam tafsirnya tentang ayat ini, menerangkan:
“Ini adalah kalimat yang ringkas namun bersifat umum, tidak ada satupun yang keluar darinya. Termasuk di antara kosakata paling agung, menunjukkan bahwa para nabi, terutama Ulul ’Azmi di antara mereka dan Nabi Muhammad n sebagai sayyid (penghulu, pemimpin) mereka, yang merupakan seutama-utama ath-thayyib (yang baik) dari sekalian makhluk secara mutlak. Tidak ada yang sepadan bagi mereka kecuali yang baik (thayyib) dari kalangan wanita. Sehingga cacian terhadap pribadi ‘Aisyah x dengan tuduhan seperti ini, justru merupakan penghinaan terhadap pribadi Nabi n. Inilah sebetulnya tujuan berita dusta (haditsul ifk) ini.
Sekedar tahu bahwa beliau adalah isteri Rasulullah n, sudah cukup dimengerti bahwa beliau adalah wanita yang baik, suci dari tuduhan keji ini. Lantas bagaimana pula bila ternyata dia adalah dia?! Seorang wanita shiddiqah, yang paling utama, paling berilmu, paling suci, kekasih Rasul (utusan) Rabb (Pencipta, Penguasa, Pengatur) semesta alam, yang tidaklah turun wahyu kepada beliau n sedangkan beliau dalam selimut seorang wanita kecuali dia?!
Sehingga kalau ‘Aisyah, Ummul Mukminin, isteri Rasulullah n, mengalami (atau sebagaimana tuduhan mereka), –dan mustahil terjadi demikian– maka sesungguh-nya ini menampakkan kepada umat manusia bahwa suaminya adalah juga laki-laki yang keji dan kotor. Na’udzu billahi mindzalik. Karena wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Akan tetapi beliau x adalah wanita suci, maka suaminya pun adalah seorang laki-laki yang suci. Suaminya adalah Muhammad Rasulullah n.”

Beberapa Hikmah
Jika ada yang bertanya: “Kalau demikian, mengapa Rasulullah n bersikap tawaqquf/tidak berkomentar dalam urusan ini, menanyainya, meneliti dan bermusya-warah, padahal beliau adalah orang yang paling kuat ma’rifat-nya kepada Allah I, paling tahu tentang kedudukannya di sisi Allah I, dan paling tahu apa yang layak bagi Allah I? Mengapakah beliau tidak ikut mengucapkan: “Maha Suci Engkau Ya Allah, ini adalah kedustaan besar.” Sebagaimana diucapkan para pembesar shahabat?
Jawabnya: Ini merupakan hikmah nyata yang Allah I jadikan kisah ini sebagai sebabnya, sekaligus ujian dan cobaan bagi Rasul-Nya n, juga ujian bagi seluruh umat Islam sampai hari kiamat. Melalui kisah ini, Allah I mengangkat satu golongan dan menghinakan golongan lainnya. Melalui kisah ini pula, Allah I tambah keimanan dan petunjuk mereka yang mau menerimanya. Sedangkan orang-orang yang zalim tidaklah bertambah kecuali kerugian belaka.
Semakin lengkap ujian beliau, dengan lambatnya wahyu datang kepada beliau hingga satu bulan lamanya. Semakin terungkap rahasia dan hikmah kelambatan ini, dengan bertambahnya keimanan dan kekokohan mereka yang jujur (dalam beriman). Bertambah pula baik sangka mereka kepada Allah I, Rasul-Nya, ahli bait beliau dan orang-orang yang shiddiq di antara hamba-hamba Allah I. Sebaliknya, semakin tampaklah kedustaan kaum munafikin ini. Allah I tunjukkan kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin, rahasia yang mereka sembunyikan selama ini (dendam dan kebencian terhadap Rasu-lullah n, ed.). Semakin lengkap pula ibadah yang dikehendaki dari Ash-Shiddiqah dan ibu bapaknya, begitu pula nikmat Allah I kepada mereka.
Dengan kelambatan wahyu ini pula, semakin terasa betapa butuh dan harapnya ‘Aisyah dan ayah ibunya kepada Allah I. Semakin dalam baik sangka (husnuzhann) mereka kepada Allah I. Pupus sudah harapan mereka untuk memperoleh pembelaan dari makhluk. Tumpah ruah seluruh harapan tertuju hanya kepada Allah I. Sebab itulah, ketika kondisi ini memuncak dan beliau sempurna mencapai kedudukan ini, dan tatkala ayah ibunya berkata kepadanya: “Berdirilah kepada Rasulullah n!” Allah I telah menurunkan wahyu tentang sucinya beliau dari semua tuduhan, ‘Aisyah justru berkata: “Demi Allah, saya tidak akan berdiri kepada beliau. Dan saya tidak akan memuji siapapun kecuali Allah. Dialah yang telah menurun-kan wahyu tentang kesucianku.”
Ucapan ‘Aisyah ini menunjukkan betapa dalam pengetahuannya tentang Allah I. Betapa kuat imannya, kemurnian tauhidnya, kuatnya kemauan dan keya-kinannya bahwa semua itu adalah nikmat dari Allah I, juga kepercayaannya betapa besar cinta Rasulullah kepadanya, sehingga beliau tujukan pujian itu hanya kepada Allah I. Alangkah indahnya keteguhan dan ketabahan ini, di mana semua ini lebih dicintainya, pada saat hatinya pilu melihat perubahan sikap sang kekasih selama satu bulan, kemudian datanglah keridhaan dan penerimaan. Namun beliau tidak segera berdiri kepada Rasulullah n, bahagia dengan keridhaan dan kedekatan beliau padahal ‘Aisyah sangat mencintai beliau. Inilah puncak keteguhan dan kekokohan hatinya.
Di samping itu juga, sesungguhnya Allah I ingin menampakkan kedudukan Rasul-Nya dan ahli bait beliau serta kemuliaan mereka di sisi-Nya. Allah I ingin melepaskan Rasul-Nya dari kasus ini, maka Dia sendirilah yang tampil membela dan membersihkan kekasih-Nya dari tuduhan musuh-musuh-Nya.
Hikmah lainnya; karena sasaran utama peristiwa ini tidak lain adalah pribadi Rasulullah n. Dan yang tertuduh adalah isteri yang sangat dicintainya. Sehingga tidak pantas kiranya beliau menjadi saksi kesucian isterinya, meskipun beliau sangat menge-tahui, bahkan mempunyai bukti-bukti jauh lebih kuat daripada bukti yang dimiliki kaum mukminin tentang kesucian isterinya. Dan beliau tidak mungkin mempunyai praduga buruk sedikitpun terhadap isterinya. Sebab itulah ketika beliau meminta udzur dari para penyebar berita bohong ini, beliau berkata:

“Siapa yang memberiku udzur (kalau aku membalas, sehingga tidak mencelaku) dari seseorang yang gangguannya menimpa keluargaku (isteriku). Demi Allah, saya tidak mengetahui keadaan keluargaku (isteriku) kecuali kebaikan. Dan mereka menyebut-nyebut seorang laki-laki yang tidak aku ketahui tentang dia kecuali kebaikan, bahkan dia tidaklah masuk dalam keluargaku kecuali bersamaku?”
Jelaslah bahwa beliau mempunyai bukti kuat akan kesucian isterinya. Namun karena kesempurnaan kesabaran, keteguhan, kehalusan serta kepercayaan beliau kepada Allah I, beliau sempurnakan kesabaran dan baik sangka kepada Allah I, sampai turunnya wahyu yang menyejukkan pandangan, menyenangkan hati serta memuliakan kedudukan beliau. Di samping itu, semakin jelas pula bagi umatnya pembelaan dan perhatian Allah I kepada beliau n.

Penutup
Telah kita singgung bahwa di antara para shahabat ada juga yang terjatuh ke dalam dosa ini. Maka setelah turunnya ayat surat An-Nur ini, Rasulullah n perintahkan agar mereka yang terlibat dikenakan hukum had. Akhirnya masing-masing mereka dicambuk 80 kali atas perbuatan mereka. Akan tetapi gembong munafik Abdullah bin Ubai bin Salul tidak dihukum sama sekali. Padahal dialah dalang dari semua kekeruhan ini. Mengapa demikian?
Ibnul Qayyim t menukilkan, bahwa hukum had ini tujuannya adalah membersihkan orang yang beriman dan sebagai tebusan atas kesalahan atau dosa yang dilakukannya. Sedangkan orang yang keji, tidak pantas menerimanya. Apalagi Allah I sudah menyediakan untuknya siksaan yang sangat hebat di akhirat. Sehingga cukuplah azab itu sebagai hukum had yang menimpanya.
Akhirnya, Rasulullah n mencambuk Mishthah bin Utsatsah, Hamnah bintu Jahsy, dan Hassan bin Tsabit g, yang jelas-jelas mereka adalah dari barisan kaum mukminin yang jujur imannya, sebagai tebusan dan penyucian atas dosa-dosa mereka. Dan beliau melepaskan Abdullah bin Ubai dari hukuman ini, karena memang dia tidak pantas untuk dibersihkan.
Dan Al-Hafizh Ibnul Qayyim juga menguraikan alasan-alasan lainnya, namun beliau memilih pendapat yang sudah dipaparkan di atas.
Terakhir, berdasarkan pendapat yang shahih, bahwasanya siapa saja yang melemparkan tuduhan terhadap salah seorang isteri Rasulullah n, dengan tuduhan seperti ini, maka dia kafir keluar dari Islam. Karena hal itu berarti dia menjatuhkan kehormatan pribadi Nabi n.
Asy-Syaikh As-Sa’di t mene-gaskan, bahwa siapa saja yang menuduh salah seorang isteri Rasulullah n dengan sesuatu yang Allah I sucikan ‘Aisyah dengannya, maka dia kafir, murtad, wajib diminta bertaubat. Kalau dia bertaubat, itulah yang diharapkan. Kalau tidak mau, dia harus dibunuh dengan memenggal kepalanya, lalu bangkainya dibiarkan begitu saja, tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, karena masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya.
Wallahu a’lam bish-shawab.