(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Faruq Ayip Syafrudin)
Emansipasi sejatinya hanyalah salah satu jalan yang digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mempreteli bahkan mengubur syariat Allah l. Al-Qur`an dan hadits ditelikung, dipahami sepotong-sepotong, untuk kemudian ditafsirkan secara sembrono. Syariat bahkan dianggap sebagai ajaran lama yang perlu direkonstruksi atau dikontekstualisasikan. “Ahli” tafsir dan hadits yang menjadi rujukan, siapa lagi kalau bukan kalangan akademisi Barat.
Kata emansipasi bukan lagi menjadi kata yang asing di telinga masyarakat. Kata ini menjadi lekat seiring era keterbukaan di setiap lini kehidupan. Slogan emansipasi seakan menjadi taji bagi setiap wanita. Ketertindasan, keterkungkungan, keterbelakangan dan ketiadaan harkat menjadi belenggu kaum wanita. Kehidupan wanita seakan terpasung di tengah eksploitasi kaum Adam terhadapnya. Sebagian wanita pun menjadi gamang menatap rona kehidupan. Hilang keyakinan diri untuk menapaki laju zaman.
Di tengah kepungan kemelut, wanita pun tersulut bangkit. Mendobrak tatanan yang ada, meneriakkan slogan-slogan persamaan. Mencoba memberangus keterpurukan nasibnya. Maka, lamat-lamat teriakan itu terus bergulir. Menggelinding bak bola salju. Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, pun ikut berbicara. Melalui bukunya yang berjudul Sarinah, ia menguak sejarah kelam kehidupan wanita di belahan Eropa, terkhusus Perancis. Dituturkan bahwa 6 Oktober 1789 merupakan tonggak awal munculnya aksi-aksi para wanita. Mereka menyuarakan kesetaraan jender. Menuntut perlakuan yang sama dengan kaum pria. Pemberontakan kaum wanita Perancis dilatari perlakuan sewenang-wenang berbagai pihak terhadap para wanita. Mereka diperlakukan tidak adil, dihinakan, bagai seonggok tubuh yang tiada lagi guna. Setelah aksi para wanita Perancis, 6 Oktober 1789, di depan Gedung Balai Kota Paris yang lantas bergeser ke depan istana raja, Versailles, bermunculan organisasi-organisasi kewanitaan. Menjamurnya berbagai organisasi kewanitaan tak semata di Perancis, tapi menyebar ke Inggris, Jerman, dan belahan Eropa lainnya. Gaung slogan emansipasi pun makin membahana.
Dari kacamata sejarah, gerakan emansipasi kelahirannya berawal dari akibat rasa ‘frustrasi’ dan ‘dendam’ terhadap sejarah kehidupan Barat yang dianggap tidak memihak kaum perempuan. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa, dominasi filsafat dan teologi gereja yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak perempuan terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi dan kekuasaan gereja oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Inilah yang dikenal dalam lintasan sejarah sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan). Masa itu merupakan masa ‘rame-rame’ menggoyang arogansi gereja.
Begitulah awal lahir gerakan emansipasi. Kini, emansipasi telah menjadi bara di mana-mana. Semangat untuk menyetarakan diri dengan kaum Adam sedemikian dahsyat. Hingga melupakan batas-batas kesejatian diri sebagai kaum Hawa. Seakan tak mau peduli, bahwa antara wanita dan pria memiliki beragam perbedaan. Entah perbedaan yang bersifat psikis (kejiwaan), emosional, atau yang berkenaan dengan struktur fisik. Lantaran arus deras gerakan emansipasi, hal-hal mendasar seperti di atas menjadi terabaikan. Maka, gerakan emansipasi yang telah digulirkan menjadi alat perusak masyarakat. Perjuangan untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita, menjadi perjuangan untuk menggerus sistem sosial yang ada. Ironisnya, sebagian kaum muslimah terprovokasi gerakan ini. Tanpa memahami latar belakang sejarah gerakan emansipasi, mereka ikut-ikutan meneriakkan persamaan hak. Yang lebih tragis, mereka menuntut persamaan hak dalam setiap sisi aturan agama. Bahkan, untuk menjadi khatib Jum’at pun mereka tuntut. Mereka menggugat, bahwa khatib Jum’at bukan monopoli kaum pria semata. Sudah sejauh ini pemahaman emansipasi menggayut di benak sebagian kaum muslimah. Ke depan, bisa saja mereka menggugat agar kaum wanita tidak haid dan nifas.
Gerakan emansipasi wanita yang salah kaprah ini menjadi preseden buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang karut-marut inilah yang dicitakan Iblis la’natullah alaih. Dengan menyusupkan gagasan-gagasan destruktif (yang merusak), Iblis berupaya menarik kaum hawa ke dalam kubangan kehancuran. Para wanita yang telah rusak pemikiran, perilaku, akidah, akhlak dan paham agamanya inilah yang disukai Iblis.
Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam, yang kali pertama menyerukan nilai-nilai kebebasan wanita adalah Iblis. Allah l berfirman:
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya, dan setan berkata: ‘Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).’ Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya: ‘Sesungguhnya saya adalah termasuk orang-orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua’.” (Al-A’raf: 20-21)
Maka Iblis pun memalsukan hakikat senyatanya kepada Adam dan Hawa. Memakaikan sesuatu yang haq kepada sesuatu yang batil dan mengenakan kebatilan terhadap kebenaran. Lantas, apakah buah dari bisikan dan sumpahnya? Allah l berfirman:
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?’.” (Al-A’raf: 22)
Dan sungguh Allah l telah anugerahkan kepada bapak kita Adam dan ibu kita Hawa, dengan (keduanya) melakukan taubat nashuha. Allah l berfirman:
“Keduanya berkata: ‘Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23)
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 37)
Selanjutnya, menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah, seruan (untuk menghancurkan nilai wanita) diistilahkan dengan banyak nama. Seperti Tahrirul Mar`ah (Kebebasan Wanita), yaitu yang arahnya membebaskan dan mengeluarkan muslimah dari Islam. Atau dengan nama An-Nahdhah bil Mar`ah (Kebangkitan Wanita), yaitu mengarahkan sikap membebek terhadap para wanita kafir, Barat atau Eropa. Juga dengan istilah Tathwirul Mar`ah (Pemberdayaan/Pengentasan Kaum Wanita). Istilah-istilah ini sengaja disebar kaum kafir dan orang-orang yang menyimpang dari Islam dan (istilah ini) tidak terkait dengan Islam. (Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/21-22)
Yahudi, sebagai kaki tangan Iblis di muka bumi ini, mengungkapkan pula tekadnya untuk menghancurkan kaum wanita melalui slogan-slogan terkait emansipasi. Ini sebagaimana terungkap dalam Protokolat Para Hakim Zionis, bahwa sesungguhnya kalimat-kalimat yang bersifat meruntuhkan (menghancurkan), yang merupakan syi’ar-syi’ar kami adalah kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. (idem, hal. 24)
Maka, gerakan emansipasi memancangkan jargon-jargon perjuangan dengan menggunakan kebebasan wanita dan persamaan hak antara kaum wanita dan pria. Dengan istilah lain, memperjuangkan penyetaraan jender.
Timbul pertanyaan, mengapa kaum wanita dijadikan bidikan Yahudi (bahkan Nasrani) untuk menghancurkan masyarakat Islam? Menurut Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam, salah seorang ulama terkemuka Yaman:
Pertama, kaum muslimah umumnya lebih minimal dalam urusan agama Allah l dibandingkan pria. Karena tingkat pemahaman agama yang minim tersebut sehingga mudah terprovokasi untuk menerima hal-hal yang merusak.
Kedua, Yahudi dan Nasrani memandang bahwa menghancurkan wanita merupakan dasar bagi kehancuran berbagai sisi lainnya. Sebagaimana pula bila adanya perbaikan terhadap kaum wanita, maka akan membawa dampak kebaikan bagi lainnya.
Ketiga, Yahudi dan Nasrani berpendapat, apabila tersingkap wajah kaum wanita, maka akan tersingkap pula aurat lainnya bila kaum wanita itu berbaur dengan kaum pria.
Keempat, mereka memandang bahwa muslimah lebih cenderung khianat dan bertindak merusak terhadap suami. Ini sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bukhari t (no. 3330 dan 3399) dan Muslim t (no. 1470) dari hadits Abu Hurairah z. Ia berkata, Rasulullah n telah bersabda:
“Dan seandainya bukan (karena) Hawa, seorang istri tidak akan mengkhianati suaminya.”
Pengertian hadits ini bahwa Hawa menerima ajakan Iblis sebelum bapak kita, Adam q. Kemudian Adam pun terbujuk, terjatuhlah ia pada tindak maksiat. Ini karena adanya sikap khianat para wanita, kecuali yang dirahmati Allah l. Allah l berfirman berkenaan dengan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth e:
“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (At-Tahrim: 10) [Mu’amaratul Kubra ‘alal Mar`atil Muslimah, 1/147-148]
Kalau manusia mau membuka mata, walau sejenak, akan didapati pelajaran yang demikian berharga. Akan nampak secara transparan, betapa mereka yang termakan dengan gagasan-gagasan emansipasi, justru mengalami keterpurukan. Berapa banyak rumah tangga tidak terbina secara harmonis lantaran salah satu (atau bahkan keduanya) pasangan suami istri terjerat zina di tempat kerja. Berapa banyak pula lapangan kerja yang diisi kaum wanita, padahal bila diisi kaum pria akan dapat mengurangi angka pengangguran. Dengan demikian, berapa juta istri dan anak-anak bisa ternafkahi bila laki-laki mendapatkan pekerjaan. Inilah fenomena sosial yang tentu saja tidak bisa lepas dari dampak gerakan emansipasi. Masih banyak lagi ketimpangan sosial akibat gerakan emansipasi yang liar dan tak terkendali.
1 Deislamisasi, mencerabut nilai-nilai Islam dari kaum muslimah hingga ke akar-akarnya.