(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Memukul istri tak mesti harus diterjemahkan sebagai “kekerasan dalam rumah tangga”. Karena hal itu kadang justru diperlukan dalam rangka mendidik. Tentu saja di sini tetap diperhatikan batasannya agar tidak melampaui batas.
Ada kalanya perbaikan satu kesalahan membutuhkan sedikit sikap keras, karena dalam hal ini memang ada tipe manusia yang tidak mau lurus dari penyimpangannya kecuali bila disikapi dengan keras. Ada istri yang tidak mempan dengan nasihat, ia tak jua mau kembali dari kebengkokannya, tetap dalam pembangkangan dan nusyuznya. Tidak pula hajr membawa perubahan pada dirinya. Di saat seperti inilah dibutuhkan cara lain untuk memperbaikinya, yaitu dengan pukulan.
Dan perbaikan istri dengan cara pukulan ini bukanlah sebagai penghinaan atasnya, bukan pula balas dendam atau penyiksaan. Tapi yang diinginkan di sini adalah pukulan dalam rangka mendidik, memperbaiki dan meluruskan. Pukulan yang dibarengi rasa kasih sayang suami kepada sang istri. Bukan pukulan yang keras hingga membuat istri lari dari suaminya, menumbuhkan kebencian, dan memupus rasa cinta. Sekalipun pukulan ini pahit, namun bagi seorang wanita hancurnya rumah tangga lebih terasa pahit dan menyakitkan.
Pukulan yang dalam bahasa Arabnya disebut Adh-Dharb dimaknakan oleh para fuqaha dengan makna yang umum, yaitu nama dari suatu perbuatan yang menyakitkan yang ditujukan pada tubuh, baik meninggalkan bekas ataupun tidak, tanpa memerhatikan alat pukul yang digunakan. (Tabyinul Haqa`iq Syarhu Kanzud Daqa`iq, Az-Zailaghi, 3/156)
Pukulan itu ada yang diistilahkan dharb mubarrih dan ada dharb ghairu mubarrih.
1. Dharb mubarrih, adalah pukulan yang keras hingga dikhawatirkan akan mematahkan tulang, menghilangkan nyawa, atau mencacati anggota tubuh serta memburukkannya. Pukulan yang seperti ini dilarang oleh syariat dan termasuk perkara yang diharamkan.
2. Dharb ghairu mubarrih, adalah pukulan ringan yang tidak mengucurkan darah serta tidak dikhawatirkan menimbulkan kebinasaan jiwa atau cacat pada tubuh, patah tulang, dan sebagainya.
Pukulan jenis kedua ini menurut syariat boleh diberikan kepada istri yang berbuat nusyuz, bermaksiat, dan melakukan pelanggaran syariat, setelah dilakukan mau’izhah dan hajr. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan, hal. 42)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menjelaskan, bila seorang suami terpaksa memukul istri maka pukulan tersebut tidak boleh sampai membuat cacat, tapi hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan sehingga tidak membuat si istri menjauh ataupun dendam kepada suaminya. (Fathul Bari, 9/377)
Dalil Bolehnya Pukulan
Dibolehkannya memukul istri yang tidak taat setelah ditempuh cara nasihat dan hajr ini ditunjukkan oleh Al-Qur`an, As Sunnah, ijma’, dan akal.
Dalam Al-Qur`an, Allah k berfirman:
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuz mereka maka berilah mau’izhah kepada mereka, boikotlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka….” (An-Nisa`: 34)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata, “Allah l memerintahkan agar perbaikan istri dimulai pertama kali dengan mau’izhah kemudian dengan hujran. Bila kedua cara ini tidak manjur maka dilakukan pukulan, karena pukulan inilah yang dapat memperbaiki si istri serta membawanya untuk memenuhi hak suami. Pukulan dalam ayat ini adalah pukulan dalam rangka mendidik, bukan pukulan mubarrih. Pukulan yang tidak memecahkan tulang dan tidak menjelekkan anggota tubuh seperti dengan meninju dan semisalnya. Karena tujuan dari pukulan di sini adalah untuk perbaikan, bukan yang selainnya. Sehingga tidak disangsikan lagi, bila pukulan yang dilakukan oleh sang suami mengantarkan kepada kebinasaan istrinya, wajib baginya menanggungnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/112)
Rasulullah n bersabda saat menyampaikan khutbah dalam haji Wada`:
فَاتَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ, فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانِ اللهِ, وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُوْنَهُ, فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبوُهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut1 maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencacati.” (HR. Muslim no. 2941)
Semula, Rasul yang mulia n bertitah:
لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
Datanglah Umar ibnul Khaththab z menghadap beliau sembari mengadu:
ياَ رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ النِّسَاءَ ذَئِرْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ
“Wahai Rasulullah! Sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.”
Mendengar pengaduan ini Rasulullah n memberi izin kepada para suami untuk memukul istri mereka. Namun ternyata setelahnya banyak wanita datang menemui istri-istri Rasulullah n guna mengadukan suami-suami mereka. Maka kata beliau n:
لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Sungguh banyak wanita berkeliling di keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka. Bukanlah para suami yang memukul istri dengan keras itu orang yang terbaik di antara kalian.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Kata Rasul n, mereka bukanlah orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya. Justru ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ia ingin memberi (pukulan) “pendidikan” kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan keras yang akan membuatnya mengadu/mengeluh. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Dharbin Nisa`)
Dalam Al-Ifshah disebutkan bahwa ulama sepakat tentang bolehnya seorang suami memukul istrinya bila berbuat nusyuz setelah sebelumnya dinasihati dan di-hajr.
Dengan demikian, pensyariatan memukul istri bukan perkara yang diingkari oleh akal atau fitrah. Bahkan pukulan diperlukan manakala terjadi kerusakan dalam rumah tangga dan terjadi pelanggaran akhlak. Namun pukulan dilakukan hanyalah bila suami memandang si istri akan menyesal dan bertaubat dari kesalahannya bila dipukul. Dan yang perlu diingat selalu, seorang suami diperintah untuk berlaku lembut kepada istrinya, tidak mendzaliminya. Allah k berfirman:
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah n menetapkan:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا, وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Yang Patut Jadi Perhatian!
Islam menetapkan batasan-batasan dan syarat-syarat dalam pelaksanaan pukulan sehingga tidak keluar dari tujuan pembolehannya yaitu untuk memperbaiki, meluruskan, dan mendidik. Bukan untuk membalas dendam, menghinakan dan merendahkan. Pukulannya pun harus pukulan yang tidak meninggalkan cacat. Dengan menggunakan sapu tangan misalnya, atau dengan siwak2, dengan tangan ataupun dengan tongkat yang ringan. Tidak boleh melampaui batas, tidak boleh sampai mengucurkan darah, mematahkan tulang, merusak anggota tubuh dan tidak diperkenankan memukul bagian tubuh yang merupakan tempat kebagusan, keindahan, dan kecantikan si istri seperti daerah wajahnya.
Rasul yang mulia n bersabda:
لاَ يَجْلِدْ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جِلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِي آخِرِ الْيَوْمِ
“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk istrinya seperti mencambuk seorang budak, kemudian ternyata di akhir hari ia menggauli istrinya.” (HR. Al-Bukhari no. 5204 dan Muslim no. 7120)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Dalam hadits ini ada larangan memukul istri tanpa alasan terpaksa untuk memberi ‘pendidikan’.” (Al-Minhaj, 17/186)
Dengan demikian, seorang suami yang berakal tidak akan berlebih-lebihan dalam memukul istrinya, kemudian beberapa waktu setelahnya ia menggaulinya. Karena jima’ hanyalah baik dilakukan bila disertai kecondongan jiwa dan keinginan untuk bergaul dengan baik. Sementara orang yang dipukul secara umum akan menjauh dari orang yang memukulnya. (Fathul Bari, 9/377)
Rasulullah n menasihatkan kepada sahabatnya, Laqith bin Shabirah z, ketika mengadukan kejelekan lisan istrinya:
لاَ تَضْرِبْ ظَعِيْنَتَكَ كَضَرْبِكَ أُمَيَّتَكَ
“Janganlah engkau memukul istrimu seperti memukul budak perempuanmu.” (Penggalan dari hadits yang diriwayatkan Abu Dawud no. 142, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Larangan memukul wajah disebutkan dalam hadits berikut ini:
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Janganlah engkau memukul wajah (istrimu), jangan menjelekkannya3, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Demikian juga hadits:
إِذَا قَاتَلَ أَحَدُكُمْ أَخاَهُ فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ
“Apabila salah seorang dari kalian memukul saudaranya4 maka hendaknya ia menjauhi wajah.” (HR. Muslim no. 6594)
Dalam riwayat lain:
فلاَ يَلْطِمَنَّ الْوَجْهَ
“…maka jangan sekali-kali ia menampar wajah.” (HR. Muslim no. 6597)
Al-Imam Al-Qasimi t berkata, “Para fuqaha mengatakan, ‘Dharban ghaira mubarrih adalah pukulan yang tidak melukai si istri, tidak mematahkan tulangnya, tidak membuat bekas yang jelek pada tubuhnya dan tidak boleh diarahkan pada wajah karena wajah tempat terkumpulnya kecantikan. Pukulan tersebut juga harus berpencar pada tubuhnya (tidak diarahkan hanya pada satu tempat, pent.). Tidak boleh satu tempat dipukul terus menerus, agar tidak menimbulkan bahaya yang besar pada bagian tubuh tersebut. Di antara fuqaha ada yang menyatakan, ‘Sepantasnya pukulan dilakukan dengan menggunakan sapu tangan yang dililit atau dengan tangan si suami, tidak boleh dengan cambuk dan tongkat.’ ‘Atha` berkata, ‘Pukulan dengan siwak’.” (Tafsir Al-Qasimi, 3/104)
Bila si istri telah menaati suaminya, tak ada celah bagi sang suami untuk menyakiti istrinya.
“Namun bila kemudian mereka menaati kalian, tidak boleh bagi kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
Maksudnya, bila mereka tidak lagi berbuat nusyuz setelah diberikan “pendidikan” ini dengan kembali taat dalam seluruh perkara yang diinginkan dari mereka sebatas yang dibolehkan Allah k, maka setelah itu tidak ada jalan bagi para suami untuk mencela mereka dan menyakiti dengan pukulan dan hujran.
إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”, maka hati-hatilah kalian, takutlah kepada-Nya. Ayat ini merupakan ancaman kepada para suami dari melakukan kedzaliman terhadap para istri tanpa ada sebab. Karena para wanita tidak punya kemampuan untuk menolak kedzaliman kalian dan lemah untuk membela diri terhadap kalian. Karenanya, ingatlah Allah Maha Tinggi, Maha Memaksa, Maha Besar, dan Maha Mampu untuk bisa memberikan balasan kepada orang yang mendzalimi para wanita dan berbuat melampaui batas terhadap mereka. Maka janganlah kalian tertipu dengan keberadaan kalian yang lebih tinggi/lebih berkuasa daripada mereka dan lebih besar derajatnya dibanding mereka.
Karena sesungguhnya Allah k lebih tinggi dan lebih mampu daripada kalian terhadap mereka. Ditutupnya ayat yang mulia ini dengan dua nama, العَلِيُّ الْكَبِيْرُ, Maha Tinggi dan Maha Besar, sangatlah tepat. (Tafsir Al-Qasimi, 3/105)
Cukuplah seorang suami meluruskan istrinya dengan jiwa yang bersih, terlepas dari hawa nafsu dan kebencian. Terlepas dari pembalasan dendam dan permusuhan. Yang demikian itu dapat menjadi penjamin hilangnya “penyakit” dan cepatnya “kesembuhan.” (An-Nusyuz, hal. 46)
Syubhat dan Bantahan
Musuh-musuh Islam tak henti-hentinya melekatkan citra buruk terhadap Islam karena agama ini membolehkan memukul istri di mana mereka menganggap hal itu sebagai penghinaan kepada kaum wanita. Maka kita katakan kepada mereka, “Memang syariat Islam membolehkan memukul istri. Akan tetapi perlu ditanyakan kapan pukulan dibolehkan? Dan kepada siapa?”
Tentunya pukulan dilakukan bila tidak didapatkan lagi cara lain. Nasihat dan hajr sudah tidak bisa mengembalikan si istri dari maksiatnya. Bila demikian, manakah yang lebih baik: membiarkan si istri dalam penyimpangannya, berbolak balik dalam kerusakan dan kemungkaran, yang pada akhirnya akan menggoncangkan rumah tangga dan memecah belah keutuhannya? Ataukah mengambil tangannya untuk dituntun kepada kebaikan? Bila tidak bisa dinasihati dengan baik-baik maka di-hajr. Jika tidak berpengaruh juga maka barulah ‘diobati’ dengan pukulan. Manakah yang lebih baik, si istri dipukul dengan pukulan ringan untuk mengembalikannya kepada kelurusan, ataukah membiarkannya hingga akhirnya diambil keputusan cerai yang dengannya akan tercerai berailah keutuhan keluarga? (An-Nusyuz, hal. 47)
Wallahul musta’an, jawabannya tentu jelas bagi orang yang berpandangan lurus dan dapat berpikir dengan sehat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Catatan kaki:
1 Mempersilakan orang yang tidak kalian sukai masuk dan duduk di dalam rumah kalian, baik orang itu laki-laki ajnabi (bukan mahram istri), atau wanita, atau salah seorang dari mahram istri. Hukum masalah ini menurut fuqaha, kata Al-Imam An-Nawawi t, adalah tidak halal bagi istri mengizinkan seorang lelaki atau seorang wanita, seorang mahram ataupun bukan mahramnya, untuk masuk ke rumah suaminya, kecuali orang yang sepengetahuannya atau menurut keyakinannya tidak dibenci oleh suaminya. Karena memang hukum asal dalam hal ini adalah haramnya masuk ke rumah seseorang hingga ada izin/perkenan dari yang punya rumah atau orang yang diberi kepercayaan untuk memberi izin, atau diketahui bahwa si empunya rumah ridha menurut kebiasaan yang ada dan semisalnya. Kalau timbul keraguan, apakah si empunya ridha atau tidak serta tidak bisa dikuatkan salah satunya, tidak pula didapatkan tanda-tanda atau petunjuk, maka tidak halal masuk ke rumahnya dan tidak boleh pula diberikan pengizinan. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 8/413)
2 ‘Atha` t berkata, “Aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas c, “Apa yang dimaksud pukulan ghairul mubarrih?” Ibnu Abbas c menjawab, “Memukul dengan siwak dan semisalnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/113)
3 Yakni mengucapkan pada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya atau mengatakan padanya, “Semoga Allah k menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
4 Memukul anaknya atau istrinya atau orang lain karena suatu sebab yang dibolehkan.