Abu ‘Ubaidah radhiallahu ‘anhu berkata,
“Ketahuilah, betapa banyak orang memutihkan baju, tetapi mengotori agama. Ketahuilah, betapa banyak manusia memuliakan diri sendiri padahal ia hina. Gantilah amal-amal jelek yang telah lewat dengan amal-amal baik sekarang!” (Siyar A’lamin Nubala, 1/18)
Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berpesan,
“Kalian dalam perjalanan malam dan siang, umur-umur berkurang, amal-amal tercatat, serta kematian datang dengan tiba-tiba. Siapa yang menanam kebaikan akan segera menuai kesenangan dan siapa yang menanam kejelekan akan segera menuai penyesalan. Setiap penanam mendapatkan apa yang ditanam. Yang telah menjadi bagiannya tidak akan meleset darinya. Ketamakan tidak akan meraih apa yang tidak ditakdirkan. Siapa yang memberi kebaikan maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberinya kebaikan dan siapa yang menjaga diri dari kejelekan maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaganya. Orang-orang bertakwa adalah pemimpin, ahli fikih adalah penuntun, dan duduk bersama mereka adalah tambahan (ilmu).” (Siyar A’lamin Nubala, 1/497)
Qubaishah bin Qais al-’Anbari rahimahullah bertutur,
“Adalah adh-Dhahhak bin Muzahim, bila datang waktu sore selalu menangis. Lalu ia ditanya, ‘Mengapa kamu menangis?’
Ia menjawab, ‘Aku tidak tahu apakah amalku naik (diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala) pada hari ini.’” (Shifatush Shafwah, 4/150)
Al-Qasim bin Muhammad rahimahullah mengisahkan,
”Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak. Banyak pertanyaan yang terlintas di benakku terhadap dirinya, apa yang menyebabkan lelaki ini dihormati hingga ia sangat populer di kalangan manusia? Jika ia shalat, puasa, jihad dan haji; kami juga shalat, puasa, jihad dan haji.
Pada suatu perjalanan menuju Syam pada malam hari, kami makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu mati. Seseorang berdiri mengambil lampu dan menyalakannya. Sejenak ia diam, kemudian lampu menyala.
Sesaat kemudian aku melihat wajah Ibnul Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata. Batinku berkata, “Karena rasa takut itulah lelaki ini dihormati melebihi kami. Barangkali ketika lampu dibawa, ia berjalan menuju kegelapan dan mengingat hari kiamat lalu menangis.” (Shifatush Shafwah, 4/140)
Ibnu Syaudzab rahimahullah,
“Ketika Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu wafat, dia (Ibnu Syaudzab rahimahullah) menangis. Ia ditanya mengapa menangis, ia menjawab, ‘Jauhnya perjalanan akhirat, sedikitnya bekal, dan perjalanan menanjak. Orang yang jatuh ke dalamnya bisa jadi jatuh ke dalam surga atau ke dalam neraka.’” (Siyar A’lamin Nubala, 1/694)
(Dipetik dari Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf, hlm. 17—18)
Comments are closed.