Banyak penggal kisah Isra’ Mi’raj yang telah terdistorsi. Sebagian ada yang menolak karena sulit dicerna oleh logika manusia. Sebagian lain justru membumbuinya dengan deskripsi dan tafsir yang tidak ada sumbernya sama sekali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bagaimana kisah sesungguhnya dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj?
Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ ١
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (al-Isra: 1)
Asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 453) menerangkan bahwa dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’la menyucikan dan mengagungkan diri-Nya Yang Mahasuci, karena Dia memiliki aktivitas dan kenikmatan yang demikian besar dan mulia. Di antara aktivitas dan kenikmatan itu, Dia memperjalankan hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Masjidil Haram di Makkah (Saudi Arabia), yang merupakan masjid paling mulia, menuju ke Masjidil Aqsha di Palestina yang juga sarat dengan berbagai keutamaan dan kemuliaan, di antaranya sebagai tempat (markas) para nabi ‘alaihimussalam.
Beliau diperjalankan dalam satu malam menempuh jarak yang demikian jauhnya dan kembali pada malam itu juga. Dalam rihlah (perjalanan) ‘supercepat’ itu, Allah subhanahu wa ta’la memperlihatkan kepada kekasih-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sehingga menambah petunjuk, bashirah, keteguhan, dan furqan pada diri beliau.
Semua itu merupakan salah satu bentuk perhatian dan menunjukkan betapa lemah lembutnya Allah subhanahu wa ta’la terhadap kekasih-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’la memberikan kemudahan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap urusannya. Mencurahkan berbagai nikmat kepadanya sehingga melebihi orang-orang yang terdahulu maupun yang belakangan.
Secara lahiriah, ayat ini menyatakan beliau di-isra‘kan dari Masjidil Haram. Namun hadits-hadits yang sahih menyebutkan bahwa beliau diberangkatkan dari rumah Ummu Hani’ radhiallahu ‘anha. Dengan demikian, keutamaan Masjidil Haram meliputi pula seluruh wilayah al-Haram (Makkah), sehingga pahala ibadah yang dilakukan di tempat ini sama seperti di masjid itu sendiri. Wallahu a’lam.
Adapun perjalanan malam itu terjadi pada diri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ruh dan jasad (fisik)nya, dalam keadaan terjaga dan bukan mimpi. Hal ini menjadi tanda kebesaran Allah subhanahu wa ta’la, serta mukjizat bagi diri beliau serta meninggikan kedudukan beliau. Hal ini sebagaimana ditunjukkan ayat di atas.
Di dalam ayat tersebut, juga ayat tentang turunnya Al-Qur’an (al-Furqan: 1), dan ayat tantangan yang Allah subhanahu wa ta’la lontarkan ke hadapan orang-orang kafir (al-Baqarah: 23), juga ditegaskan bahwa beliau hanyalah seorang hamba. Kedudukan yang justru sangat mulia ini beliau dapatkan karena Allah subhanahu wa ta’la telah menyempurnakannya untuk mengabdikan diri kepada Rabbnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri dalam sebuah riwayat menyatakan:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
“Janganlah kamu memujiku secara berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Dan sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah menerangkan (al-Fath, 1/460) bahwa hadits Isra’ Mi’raj ini diriwayatkan dari beberapa orang sahabat. Namun diisyaratkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, semua periwayatan itu bersumber dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dengan beberapa perbedaan di antara rawi-rawi yang mengambil hadits ini dari beliau. Misalnya, az-Zuhri (Ibnu Syihab) meriwayatkan dari beliau dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, Qatadah dari Anas dari Malik bin Sha’sha’ah radhiallahu ‘anhu, Syarik bin Abi Namr dan Tsabit al-Bunani meriwayatkan dari Anas langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara.
Bahkan masing-masing jalan periwayatan itu memuat redaksi hadits yang tidak ada pada jalan yang lain.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Suatu kali Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menyampaikan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Suatu ketika atap tempat tinggalku di Makkah terbuka lalu turunlah Jibril. Dia membelah dadaku dan mencucinya dengan air Zamzam. Kemudian dia membawa sebuah mangkok besar dari emas, penuh dengan hikmah dan iman lalu menumpahkannya ke dalam dadaku. Setelah itu, dia menutupnya kembali.
Lalu dibawakan ke hadapanku seekor Buraq—lebih besar daripada keledai tapi lebih kecil daripada bighal (peranakan kuda dengan keledai) —. Dia (Buraq tersebut) melangkahkan kakinya sejauh mata memandang. Aku mengendarainya hingga tiba di Baitul Maqdis. Kemudian aku menambatkannya di tempat para nabi menambatkan kendaraan mereka. Aku memasuki masjid dan shalat dua raka’at.
Setelah selesai, aku keluar. Tiba-tiba, Jibril datang membawa semangkok susu dan semangkok khamr. Aku memilih susu. Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah.”
Kemudian dia menarik tanganku dan membawaku naik ke langit dunia. Ketika sampai di langit dunia, Jibril berkata kepada penjaganya, “Bukalah!”
Penjaga itu berkata, “Siapa ini?”
“Jibril.”
Penjaga itu bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?”
Jibril menjawab, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Penjaga itu bertanya lagi, “Apakah dia sudah diutus?”
Kata Jibril, “Ya.”
Setelah pintu itu dibuka, kami naik ke langit dunia dan di sana telah ada seseorang yang sedang duduk. Di sebelah kanan dan kirinya ada bayangan sosok hitam-hitam. Jika menoleh ke kanan, dia tertawa, tapi jika menengok ke kiri, dia menangis. Kemudian dia berkata, “Selamat datang nabi yang saleh dan putra yang saleh.”
Aku bertanya kepada Jibril, “Siapa dia?”
Jibril menjawab, “Dia Adam. Adapun yang di sebelah kanan dan kirinya itu adalah ruh anak-anak cucunya. Yang di sebelah kanan adalah ahlul jannah (penduduk surga), sedangkan yang di sebelah kiri adalah penduduk neraka. Kalau dia melihat ke kanan dia tertawa dan bila melihat ke kiri dia menangis.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik melewati langit demi langit, bertemu dengan sejumlah nabi ’alaimussalam. Di langit ke-2, beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan ‘Isa, di langit ke-3 dengan Nabi Yusuf, di langit ke-4 dengan Nabi Idris, di langit ke-5 dengan Nabi Harun, dan di langit ke-6 dengan Nabi Musa ’alaimussalam.
Di langit ke-7, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan Nabi Ibrahim ’alaihissalam yang bersandar di Baitul Ma’mur yang setiap harinya sekitar 70.000 malaikat memasukinya. Bila mereka keluar darinya, maka tidak akan masuk lagi selamanya. Setelah itu beliau dibawa ke Sidratul Muntaha yang tak satu pun makhluk Allah subhanahu wa ta’la dapat menerangkan keindahannya.
Sesampainya di Sidratul Muntaha, Allah subhanahu wa ta’la mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang Dia kehendaki. Kemudian menetapkan kewajiban shalat lima puluh kali sehari semalam.
Setelah menerima perintah ini, beliau kembali turun. Di langit ke-6, beliau bertemu dengan Nabi Musa ’alaihissalam dan bertanya, “Apa yang Allah subhanahu wa ta’la perintahkan terhadap umatmu?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Lima puluh kali shalat.”
Nabi Musa ’alaihissalam menyarankan, “Kembalilah, mintalah keringanan! Karena umatmu tidak akan sanggup. Aku sudah pernah menguji Bani Israil.”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menghadap Allah subhanahu wa ta’la dan meminta keringanan hingga beberapa kali. Kemudian Allah subhanahu wa ta’la menyatakan, “Wahai Muhammad. Itulah lima shalat fardhu sehari semalam, masing-masing shalat pahalanya sepuluh kali lipat, maka sama dengan lima puluh kali shalat. Siapa yang berniat mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, ditulis untuknya satu kebaikan. Bila dia kerjakan, ditulis untuknya sepuluh kebaikan. Sebaliknya, siapa yang berniat mengerjakan kejelekan dan tidak dikerjakannya, maka tidak dicatat. Bila dia kerjakan maka ditulis satu kejelekan.”
Demikian sekelumit kisah ini. Selengkapnya tentu dapat dirujuk dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, dan memang ada beberapa perbedaan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, ada yang bertambah dan ada yang berkurang, dan sebagainya.
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan (Fathul Bari, 1/460) bahwa beliau diberangkatkan (Isra’) dalam keadaan terjaga sebagaimana ditunjukkan oleh lahiriah ayat Al-Qur’an ini. Apalagi orang-orang Quraisy mendustakan beliau ketika pada pagi harinya beliau menyampaikan berita tersebut. Seandainya memang hal itu terjadi dalam mimpi, tentu mereka tidak akan menganggap aneh yang demikian.
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan pula hikmah diwajibkannya shalat lima waktu pada malam Isra‘ Mi’raj ini. Beliau berkata, “Ketika itu beliau disucikan lahir batin dengan air Zamzam serta dipenuhi dengan keimanan dan hikmah. Demikian juga dengan urusan shalat, hendaknya didahului dengan bersuci. Maka, sangat sesuai ditetapkannya kewajiban shalat ketika itu. Di samping itu, juga untuk menampakkan kedudukan beliau yang mulia di hadapan para penduduk langit dari kalangan malaikat dan para nabi.”
Hadits Isra‘ Mi’raj ini juga menunjukkan bahwa shalat diwajibkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berada di Makkah.
Dalam hadits Isra’ Mi’raj ini terkandung pula dalil yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’la mempunyai sifat Mahatinggi di atas segenap makhluk-Nya.
Wallahu a’lam.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Comments are closed.