Pengantar Tiga belas tahun setelah hancurnya Tentara Bergajah, bani ‘Adi bin Ka’b, terkhusus keluarga al- Khaththab bin Nufail, kembali merayakan kegembiraan karena telah lahir seorang bayi laki-laki yang sehat. Bayi yang menjadi kebanggaan bagi setiap suku apabila wanita mereka melahirkan anak. Bayi yang akan menguatkan barisan mereka dan menaikkan pamor mereka. Bayi ini tidak hanya menjadi kebanggaan bani ‘Adi saat itu, tetapi juga di masa yang akan datang. Bayi itu kelak akan menjadi saksi bagi para penguasa dan politikus di belahan dunia mana pun. Bayi itu adalah ‘Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin ‘Abdil ‘Uzza bin Riyah bin ‘Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’b bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi.
Nasabnya bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada Ka’b bin Luai. Ibunya bernama Hantamah bintu Hasyim bin al-Mughirah al-Makhzumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Kulitnya putih kemerah-merahan, dadanya bidang, tubuhnya tegap, dan tingginya melebihi yang lain, seolaholah kalau berjalan bersama sahabat sahabatnya, dia seperti sedang menaiki kendaraan. Rambutnya terjurai di kedua sisi kepalanya, dan bagian atasnya botak, kumisnya lebat, sedangkan janggutnya diberi warna kuning dan rambutnya dipoles inai. Di masa jahiliah, ‘Umar sering ikut meramaikan pasar ‘Ukkazh dengan kemampuannya bergulat, bahkan sering mengalahkan lawannya. Selalu terlihat berpakaian kasar, dan biasanya dari wol dengan hampir dua puluh tambalan dari kulit. Ini juga yang diikuti oleh semua pejabatnya, yang ada di tempat (Madinah dan sekitarnya) ataupun yang ada di negeri yang jauh. Bahkan, gaya hidup sederhana ‘Umar ditiru oleh mereka, padahal Allah Subhanahu wata’ala telah memberi kemenangan untuk mereka.
Di Masa Jahiliah
Hampir separuh usianya beliau habiskan di Makkah, pada zaman jahiliah, tumbuh di lingkungan keluarga besar bani ‘Adi bin Ka’b. Seperti kebanyakan anak-anak Quraisy lainnya, ‘Umar tidak asing dengan pemujaan terhadap berhala-berhala yang ada di sekitar Ka’bah. Bahkan, ia termasuk penganut agama paganis yang sangat fanatik. Begitu pula dengan kebiasaan minum khamr di sebagian kalangan masyarakat Quraisy. Masa kecilnya dihabiskan di tanah suci Makkah, di kaki gunung bernama al-‘Aqir, yang kemudian dinamai gunung ‘Umar. Meskipun langka, ‘Umar termasuk salah seorang yang sempat belajar membaca dan menulis. Bahkan, di masa dewasanya, termasuk orang yang andal dalam hal menilai sebuah tulisan, bermutu ataukah tidak. Ia tumbuh dengan sehat dan cerdas, serta kasar. Sikap kasar dan kaku ini, mungkin karena didikan ayahnya, al-Khaththab, yang memaksa ‘Umar menggembalakan unta-unta ayahnya di Dhajnan.
Selain itu, ‘Umar juga menggembalakan unta-unta milik kerabat ibunya dari bani Makhzum. Sejak kecil, ‘Umar tidak pernah mengenal hidup mewah. Bahkan, beliau sendiri pernah menceritakan kehidupan masa kecilnya yang penuh kesulitan dan kekerasan. Setiap hari dia harus bekerja, tidak kenal istirahat dan santai. Keadaan tersebut mendorongnya untuk sanggup memikul beban di usia yang relatif muda. Beranjak dewasa, sebagaimana pemuda Quraisy lainnya, ‘Umar juga ikut merantau berniaga. Di musim dingin, dia ikut berangkat ke Yaman, dan di musim panas menuju Syam. Keuletannya membuat ‘Umar layak menempati salah satu posisi penting dalam elite masyarakat Makkah, meskipun usianya masih muda. Karena kekayaan, kecerdasan, dan kedudukan nenek moyangnya, ‘Umar diterima dalam majelis para pemuka Quraisy. Itu pula sebabnya tugas sebagai duta diberikan kepadanya dan mereka menyetujui semua tindakannya.
Sebab-Sebab Keislaman
Kita kembali mengenang keadaan ketika kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di awal Islam. Kaum muslimin mendapat tekanan yang semakin berat dengan ikut sertanya ‘Umar mengganggu dan menyakiti mereka. Tanpa belas kasihan, ‘Umar menyiksa seorang budak wanita bani Muammil, dan baru berhenti menyiksa setelah dia bosan dan kecapaian. Akhirnya, budak itu dibeli dan dibebaskan oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Semakin hari tekanan Quraisy semakin bertambah. Melihat keadaan kaum muslimin semakin menyedihkan, tidak lagi mampu beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan tenang, Rasulullah memerintahkan mereka hijrah ke Habasyah (Etiopia). Tahun keenam setelah Nabi n diutus, ‘Umar menyerahkan tangannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan sumpah setia dan keislamannya. Kaum muslimin yang menyaksikan peristiwa itu bertakbir dan memuji Allah Subhanahu wata’ala. Kata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Kami dalam keadaan lebih mulia sejak ‘Umar masuk Islam.
Keislaman ‘Umar adalah kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kekhalifahannya adalah rahmat. Kami tidak mampu shalat di dekat Ka’bah kecuali setelah ‘Umar masuk Islam.” Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab-sebab tumbuhnya Islam di dalam hati ‘Umar. Riwayat Anas radhiyallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi, menyebutkan: Pada suatu hari ‘Umar keluar dengan menyandang sebilah pedang. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang laki-laki dari bani Zuhrah dan dia berkata, “Akan ke mana engkau, hai ‘Umar?” ‘Umar ketika itu menjawab, “Mau membunuh Muhammad.”
Laki-laki itu berkata lagi, “Bagaimana engkau bisa merasa aman dari bani Hasyim dan bani Zuhrah setelah membunuh Muhammad?” ‘Umar berkata pula, “Mungkin engkau sendiri sudah menukar agamamu?” Orang itu mengelak sambil mengatakan, “Maukah aku tunjukkan hal yang lebih mencengangkan? Sesungguhnya, saudarimu dan iparmu sudah memeluk Islam dan meninggalkan agama nenek moyangmu.” Mendengar hal ini, ‘Umar segera berbalik menuju ke rumah saudari dan iparnya. Kebetulan Khabbab sedang berada di sana mengajari mereka al- Qur’an. Ketika mereka mendengar suara ‘Umar, Khabbab segera bersembunyi di dalam salah satu ruangan di rumah itu. ‘Umar pun masuk dan berkata, “Suara apa yang kudengar ini?” Waktu itu mereka sedang membaca surat Thaha. Keduanya berkata, “Tidak ada, kami hanya berbincang-bincang biasa.” Kata ‘Umar, “Jangan-jangan kalian berdua sudah masuk Islam?” Iparnya menjawab, “Hai ‘Umar, bagaimana jika al-haq itu ternyata bukan berada pada agamamu?” Mendengar hal ini ‘Umar melompat kemudian membanting dan menginjaknya dengan keras. Saudarinya segera datang membela suaminya.
Tetapi ‘Umar segera meninjunya hingga darah mengucur dari wajah saudarinya itu. Wanita itu berkata dalam keadaan sangat marah, “Apakah (kau marah) meskipun al-haq bukan berada pada agamamu? Sungguh, aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.” Mungkin melihat darah di wajah adiknya, ‘Umar merasa menyesal dan kasihan. Dia pun berkata, “Coba berikan apa yang kalian baca tadi, aku mau melihat.” Saudarinya menjawab, “Kamu itu najis. Kitab ini tidak boleh disentuh oleh orang yang najis. Pergilah bersuci!” ‘Umar pun beranjak untuk mandi. Kemudian dia mulai membaca surat Thaha sampai pada ayat,
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Sesungguhnya Aku adalah Allah yang tidak ada Ilah selain Aku. Maka beribadahlah kepada-Ku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
‘Umar berkata, “Tunjukkanlah kepadaku di mana Muhammad!” Ketika Khabbab mendengar hal ini, dia segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata, “Gembiralah, hai ‘Umar. Aku berharap engkaulah yang didoakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan ‘Umar bin al-Khaththab atau ‘Amru bin Hisyam’ (Abu Jahl).” Waktu itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di rumah al-Arqam bin Abil Arqam di dekat bukit ash-Shafa. ‘Umar segera berangkat ke sana. Bertepatan pula di rumah itu ada Hamzah, Thalhah, dan beberapa orang lainnya. Hamzah berkata, “Ini ‘Umar datang. Kalau Allah Subhanahu wata’ala menginginkan kebaikan buat dia, maka dia selamat. Kalau tidak, membunuhnya sangat mudah bagi kita.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berada di dalam, beliau pun diberi tahu lalu keluar.
Begitu ‘Umar masuk, beliau segera mencengkeram pakaian dan pedang ‘Umar sambil berkata, “Apakah engkau belum juga mau berhenti, hai ‘Umar, sampai Allah Subhanahu wata’ala menurunkan kehinaan bagimu sebagaimana yang dialami oleh al-Walid bin Mughirah?!” ‘Umar segera berkata, “Aku bersaksi tidak ada ilah selain Allah dan engkau (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Dalam riwayat lain, Ibnu Ishaq menyebutkan sebagian sebab ‘Umar masuk Islam, dari ‘Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah dari ibunya, Laila radhiyallahu ‘anha: ‘Umar adalah salah seorang pemuda Quraisy yang sangat keras memperlakukan kami karena keislaman kami. Ketika kami bersiap-siap hendak hijrah ke Habasyah, ‘Umar mendatangiku yang sudah berada di atas unta, hendak berangkat.
Dia pun berkata, “Hendak ke mana, hai Ummu ‘Abdillah?” “Kalian telah menyakiti kami karena agama kami, maka kami hendak pergi ke bumi Allah Subhanahu wata’ala yang lain. Di sana kami tidak akan disakiti karena beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala.” “Semoga Allah Subhanahu wata’ala menyertai kalian,” katanya lalu dia pergi. Setelah itu, suamiku ‘Amir bin Rabi’ah tiba dari keperluannya. Saya pun menceritakan rasa iba yang kulihat pada ‘Umar tadi, padahal selama ini belum pernah seperti itu. Suamiku berkata, “Apakah engkau mengharapkan dia akan masuk Islam?” “Ya,” jawabku. “Demi Allah, dia tidak akan masuk Islam, kecuali bila keledai al-Khaththab masuk Islam.” Dia merasa putus asa mengharapkan keislaman ‘Umar karena bengisnya terhadap kaum muslimin. Riwayat lainnya, dari ‘Umar sendiri, beliau menceritakan, “Saya pernah keluar untuk menghadang Rasulullah n sebelum masuk Islam.
Ternyata saya dapati beliau telah lebih dahulu masuk ke Masjidil Haram. Diam-diam saya pun berdiri di belakangnya. Beliau mulai membaca surat al-Haqqah. Saya pun merasa takjub dengan susunan al-Qur’an. Dalam hati, saya berkata, ‘Demi Allah, orang ini adalah penyair, seperti kata orangorang Quraisy.’ Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca (ayat 40—41),
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ () وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تُؤْمِنُونَ
‘Sesungguhnya al-Qur’an itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia. Dan al-Qur’an itu bukanlah perkataan seorang penyair, sedikit sekali kamu beriman kepadanya.’ Kemudian saya berkata, ‘(Orang ini) dukun.’ Beliau pun membaca (ayat 42—47),
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ () تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ () وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ () لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ () ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ () فَمَا مِنكُم مِّنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
‘Dan bukan pula perkataan tukang tenung (dukun), sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Rabb semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Sekali-kali tidak ada seorang pun dari kalian yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu,’ sampai akhir surat ini, hingga masuklah Islam ke dalam hati saya.”
Ada pula riwayat lain dari ‘Umar sendiri, beliau menceritakan: “Dahulu, saya sangat jauh dari Islam. Di zaman jahiliah, saya sangat menyukai minuman keras. Kami mempunyai majelis tempat berkumpul beberapa pemuka Quraisy, di Hazwarah (dekat tempat sa’i, dari arah terbitnya matahari, sekarang bernama Qasysyasyiyah, salah satu pasar Makkah dan telah digusur untuk perluasan Masjidil Haram, -pen.). Suatu malam, saya keluar untuk berkumpul dengan teman-teman di majelis itu. Ternyata, tidak seorang pun yang saya temui di sana. Saya berkata dalam hati, ‘Mungkin di warung tuak si Fulan.’ Saya pun ke sana untuk membeli khamr. Di sana juga tidak ada seorang pun yang saya temui. Saya coba ke Ka’bah lalu thawaf 7 kali atau 70 kali. Sesampainya di Masjidil Haram, ternyata ada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat. Beliau menghadap ke arah Baitul Maqdis di Syam dan memosisikan Ka’bah di hadapan beliau.
Beliau berdiri di antara Hajar Aswad dan Yamani. Melihat beliau, saya berkata dalam hati, ‘Demi Allah, seandainya saya bisa mendengarkan apa yang dibacanya malam ini. Coba saya mendekat dari arah Hijr, lalu sembunyi di balik kelambu Ka’bah. Perlahan-lahan saya mulai mendekati beliau yang sedang membaca al-Qur’an. Begitu mendengar beberapa ayatnya, hati saya menjadi lembut, saya pun menangis. Islam mulai menyelinap dalam hati saya. Saya terus berdiri di sana sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyelesaikan shalatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan pulang menuju rumahnya. Diam-diam, saya mengikuti beliau. Tetapi, beliau mendengar suara saya, dan mengira bahwa saya ingin menyakiti beliau, maka beliau membentak saya, “Ada apa denganmu, hai putra al-Khaththab, malam-malam begini?” ‘Saya, datang untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta apa yang datang dari sisi Allah.’ Mendengar ucapan saya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memuji Allah Subhanahu wata’ala dan berkata, “Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberimu hidayah, hai ‘Umar.”
Kemudian beliau mengusap dada saya dan mendoakan keteguhan bagi saya. Setelah itu, saya meninggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan beliau pun memasuki rumahnya. Bagaimanapun, beberapa riwayat ini saling menguatkan. Yang jelas, keislaman beliau radhiyallahu ‘anhu adalah anugerah Allah Subhanahu wata’ala, bagi beliau sendiri dan juga kaum muslimin. (bersambung, insya Allah)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits