Anak termasuk anugerah terindah yang dkaruniakan oleh al-Wahhab[1] dalam kehidupan sepasang suami istri. Tidak terbayang ada suatu pernikahan syar’i yang dilangsungkan sepasang insan yang tidak mengharapkan lahirnya anak di tengah mereka.
Apatah lagi sudah kita maklumi keinginan sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memperbanyak umat beliau sebagai kebanggaan beliau di hari kiamat nanti. Karena itu pula, beliau melarang lelaki untuk menikah kecuali dengan wanita yang subur rahimnya. Semua ini cukuplah memberi gambaran kepada kita pentingnya mengharapkan keturunan dalam pernikahan.
Suatu kegembiraan bagi sepasang suami istri ketika Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kehidupan dalam rahim si istri, apatah lagi kehamilan itu adalah sesuatu yang diharap-harap karena kerinduan akan hadirnya anak di tengah mereka. Namun, terkadang sebelum sempurna kehidupan terbentuk, janin tersebut harus dikeluarkan karena suatu alasan. Bisa jadi, janin tidak berkembang dengan semestinya, atau si ibu menderita sakit tertentu. Ini satu sisi.
Di sisi lain, ada pula orang-orang yang tidak berharap tumbuhnya janin di dalam rahim sang bunda sehingga secara paksa dikeluarkan, baik dengan alasan tidak ingin punya anak lagi maupun si janin tumbuh akibat hubungan di luar nikah, naudzu billah min dzalik.
Bagaimana sebenarnya tinjauan syariat dalam hal ini, yaitu janin dikeluarkan sebelum waktunya atau dengan kata lain digugurkan?
Hukum Menggugurkan Kandungan
Ulama berselisih pandang tentang hukum menggugurkan kandungan sebelum ditiupkannya ruh. Di antara mereka ada yang melarang secara mutlak, sama sekali tidak boleh. Mereka berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan nuthfah (setetes mani) dalam tempat berdiam yang kokoh[2], maka tidak boleh dia dikeluarkan dari tempatnya kecuali dengan satu sebab yang syar’i.” Demikian pelarangan mutlak ini datang dalam mazhab Maliki.
Di antara ulama , ada yang membolehkan menggugurkan janin sebelum berusia 40 hari. Ini satu pendapat dalam mazhab Syafi’i. Pendapat lainnya menyatakan janin memiliki kehormatan sehingga tidak boleh dirusak. Sebagian Syafi’i memandang boleh menggugurkan janin dalam dua tahapan, yaitu saat masih berupa nuthfah dan ‘alaqah, sebelum berubah ke tahapan mudhghah.
Di antaranya ada pula yang berpendapat boleh sebelum berbentuk, karena ketika belum terbentuk, baru berupa nuthfah (setetes mani) atau ‘alaqah (segumpal darah) atau mudhghah (segumpal daging) belum dipastikan apakah akan berlanjut menjadi seorang anak atau tidak[3].
Ada pula yang berpendapat dibolehkan sebelum janin berusia empat bulan (sebelum ditiupkan ruh), sebagaimana pendapat fuqaha mazhab Hanafi yang dinukilkan oleh Ibnu ‘Abidin dari an-Nahr.
Apabila janin sudah memiliki ruh, ulama sepakat menyatakan haramnya tindakan pengguguran tersebut. (Ahkam ath-Thifl, hlm. 70—71, fatwa Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Nurun ‘alad Darb, 2/632)
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berpandangan, kapan saja dipastikan seorang wanita hamil maka tidak boleh kandungannya digugurkan kecuali karena sebab yang syar’i. Misalnya, dokter menganalisis janin tersebut memiliki cacat yang menyebabkan dia tidak bisa hidup dengan semestinya[4], maka ketika itu boleh dilakukan pengguguran karena adanya kebutuhan.
Hal ini hanya bisa dilakukan sebelum ditiupkannya ruh pada si janin, yaitu sebelum sempurna berusia empat bulan. Apabila ruh telah ditiup sehingga hidup dan bergeraklah si janin, saat itu haram menggugurkannya walaupun para dokter memvonis si ibu akan meninggal apabila janinnya tidak digugurkan. Sebab, kita tidak boleh mengorbankan satu jiwa untuk jiwa yang lain.
Apabila ada yang berkata, “Kalau janin dibiarkan saja dalam rahim ibunya sehingga ibunya meninggal karenanya, janin juga akan mati, yang berarti hilang dua jiwa. Namun, apabila janinnya kita keluarkan/gugurkan, bisa jadi ibunya selamat.”
Jawabannya, “Apabila kita biarkan saja janin dalam rahim ibunya, tidak digugurkan, yang berakibat si ibu meninggal, kemudian selang waktu berikutnya setelah kematian ibunya janin pun menyusul meninggal; kematian ibunya bukanlah karena perbuatan kita melainkan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dia-lah yang menetapkan kematian pada sang ibu dengan sebab menanggung kehamilan tersebut. Adapun apabila kita paksa janin keluar atau kita gugurkan, yang semula hidup kemudian meninggal karena pengguguran yang dilakukan; kematian janin adalah karena perbuatan kita, dan hal itu tidak halal kita lakukan.”
Demikian yang difatwakan oleh Fadhilatusy Syaikh rahimahullah dalam Fatawa Nurun ‘alad Darb (2/632—633).
Ketika mensyarah hadits keempat dari 50 hadits yang terdapat dalam kitab Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menyatakan, ada sekelompok fuqaha memberi rukhshah/keringanan atau kelapangan bagi wanita untuk menggugurkan kandungannya selama belum ditiupkan ruh dan menganalogikannya dengan ‘azl[5].
Namun, menurut Ibnu Rajab rahimahullah, penyamaan ini adalah pendapat yang lemah. Sebab, janin adalah anak yang sudah ada (dalam rahim) dan terkadang sudah berbentuk. Sementara itu, dalam perbuatan ‘azl belumlah didapati anak sama sekali dan ‘azl hanyalah sebab untuk mencegah adanya anak dalam rahim. Terkadang ‘azl yang dilakukan tidak bermanfaat karena si wanita tetap saja hamil apabila Allah subhanahu wa ta’ala memang menghendaki penciptaannya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya tentang ‘azl,
وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ، وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ، وَإِنَّكُمْ لَتَفْعَلُوْنَ، مَا مِنْ نَسْمَةٍ كَائِنَةٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَة إِلاَّ هِيَ كَائِنَةٌ
“Kalian sungguh melakukannya, kalian sungguh melakukannya, kalian sungguh melakukannya? Padahal tidak ada satu jiwa pun sampai hari kiamat yang harus ada/tercipta (dengan ketetapan, kehendak dan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala) melainkan jiwa itu pasti ada.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyatakan, “Teman-teman kami (ulama mazhab Hanbali) secara jelas menyatakan, apabila bakal janin telah berubah menjadi ‘alaqah, tidak boleh digugurkan karena sudah menjadi calon anak. Berbeda halnya apabila masih berbentuk nuthfah, belum dipastikan apakah akan menjadi anak ataukah tidak.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/156—157)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menyatakan, menggugurkan kandungan tidak boleh dilakukan karena perbuatan tersebut bermudarat, apalagi alasannya tidak syar’i, misal si ibu tidak ingin meneruskan kehamilannya karena khawatir menghalangi karirnya.
Janin yang dikandung itu memiliki hak untuk dibiarkan terus berkembang dan hidup, punya hak untuk dijaga dan dihargai, karena dia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Seharusnya si ibu yang mengandungnya menjaganya, berlaku lembut kepadanya. Bisa jadi, janin itu kelak akan lahir sebagai anak yang saleh dan bermanfaat bagi si ibu. Alllah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Bisa jadi, kalian membenci sesuatu padahal sesuatu itu lebih baik bagi kalian. Bisa jadi pula, kalian mencintai sesuatu padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Allah-lah Yang Mengetahui, dan kalian tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Apabila si ibu yang mengandungnya memaksakan untuk menggugurkannya, berarti si ibu telah melakukan sebuah kejahatan. Dia harus bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas perbuatan tersebut dan tidak mengulanginya.
Orang yang memberikan bantuan, saran, dan semisalnya untuk kelanjutan tindakan pengguguran tersebut, semuanya berdosa, karena telah membantu terlaksananya suatu perbuatan dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan menyatakan, sebagian fuqaha memandang bolehnya menggugurkan kandungan sebelum berusia 40 hari dengan obat-obatan yang diperkenankan/tidak berbahaya. Akan tetapi, sebenarnya ini tidak sepantasnya dilakukan, karena kehamilan itu diinginkan oleh syariat guna mendapat keturunan yang banyak.
Jika Kehamilan Menyusahkan Ibu
Bagaimana halnya apabila kehamilan tersebut memadaratkan kesehatan si ibu atau si ibu menderita sakit yang berat akibat menanggung kehamilan?
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullahu menyatakan tidak bolehnya menggugurkan kandungan walaupun menyusahkan si ibu, karena kehamilan—tanpa diragukan—memang menimbulkan kesulitan. Bukankah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan berat dan melahirkannya dalam keadaan berat pula . Mengandungnya dan (pada akhirnya) menyapihnya adalah selama tiga puluh bulan[6].” (al-Ahqaf: 15)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, ibu harus menanggung kesulitan, kepenatan, ketidaknyamanan, keberatan, dan sebagainya karena kehamilannya. Demikian pula saat melahirkan, ibu menanggung rasa sakit dan kepayahan. (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 7/215)
Saat kehamilan memang saat yang sulit. Ada berbagai keluhan sakit dan kelelahan demi kelelahan. Karena itulah, hak seorang ibu begitu besar terhadap anaknya. Ibu didahulukan haknya tiga kali, sebagaimana berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu baru hak ayah[7]. Sebab, seorang ibu harus menanggung sendirian kehamilan, kelahiran, dan menyusui, sebagaimana diisyaratkan dalam surat al-Ahqaf di atas. (Tuhfah al- Ahwadzi, “Kitab al-Birr wa ash-Shilah”, bab “Ma Ja’a fi Birr al-Walidain”)
Ketika seorang ibu bersabar dengan kehamilannya dan siap menanggung semua kesulitan, tentu dia akan beroleh pahala. Bisa jadi, dengan sebab si anak kelak dia akan beroleh kebaikan, demikian pula masyarakatnya.
Apabila ada ibu yang disarankan oleh dokter untuk menggugurkan kandungannya karena menurut diagnosa dokter kelak janin tersebut tidak mungkin lahir kecuali dengan cara operasi, saran ini tetap tidak boleh dituruti. Sebab, janin adalah amanat yang diletakkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam rahim sehingga tidak boleh diperlakukan dengan buruk atau dihadapkan kepada kebinasaan. Ucapan seseorang dalam hal ini tidak boleh dijadikan sebagai sandaran karena permasalahan yang ada berkaitan dengan hukum syar’i. Hukum syar’i tentu dikedepankan daripada ucapan siapa pun.
Adapun kelak kelahiran si janin harus dengan cara operasi, urusannya di zaman sekarang mudah, tidak berbahaya. Banyak wanita telah menjalaninya karena mereka tidak bisa melahirkan kandungannya selain dengan cara operasi. Dengan demikian, menjalani kelahiran dengan cara operasi bukanlah alasan yang diperkenankan oleh syariat untuk menggugurkan kandungan. Seorang wanita tidak boleh bermain-main dalam urusan kandungannya, dia hamil lantas dia gugurkan begitu saja.
Kafarat Pengguguran Janin
Apakah ada kafarat apabila janin digugurkan?
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apabila janin telah ditiupi ruh dan telah bergerak, lantas digugurkan, perbuatan tersebut teranggap membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh. Karena itu, pelakunya harus membayar kafarat yang berupa memerdekakan seorang budak. Apabila ia tidak mendapatkan budak, penggantinya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai bentuk tobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.[8]” (Majmu’ Fatawa, hlm. 564—568)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Dzat Yang Maha Memberi dan Melimpahkan anugerah.
[2] Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Kemudian Kami menjadikannya nuthfah (setetes mani) dalam tempat berdiam yang kokoh.” (al-Mu’minun: 13)
Yaitu rahim yang memang telah tersedia dan telah disiapkan untuk menerimanya. (al-Mishbah al-Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, asy-Syaikh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri)
Di dalam rahim, nuthfah itu akan terjaga dari kerusakan, dari angin, dan selainnya. (Taisir al-Karim ar-Rahman, al-Allamah as-Sa’di, hlm. 548)
[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kalian dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya (berbentuk) dan yang tidak sempurna….” (al-Hajj: 5)
Awalnya segumpal daging itu tidak ada bentuknya. Apabila Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki untuk menyempurnakan penciptaan/kejadiannya, mulailah segumpal daging itu berbentuk, menjadi bentuk kepala, dua tangan, dada, perut, dua paha, dua kaki, dan anggota tubuh lainnya. Namun, apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak menghendaki segumpal daging itu berkembang menjadi manusia, rahim pun mengeluarkannya (keguguran).
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hatim dan Ibnu Jarir dari hadits Dawud ibnu Abi Hindun, dari asy-Sya’bi, dari Alqamah, dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila nuthfah telah menetap dalam rahim, malaikat yang menjaga rahim/janin mengambilnya dengan telapak tangannya, lalu bertanya, ‘Wahai Rabbku, apakah akan disempurnakan kejadiannya atau tidak?’ Kalau dijawab tidak disempurnakan kejadiannya, nuthfah tersebut tidak akan menjadi satu jiwa dan akan dikeluarkan oleh rahim dalam bentuk darah. Apabila dijawab disempurnakan kejadiannya, malaikat akan bertanya lebih lanjut, ‘Wahai Rabbku, apakah jenisnya laki-laki ataukah perempuan? Apakah dia golongan yang sengsara ataukah yang bahagia? Kapan ajalnya? Apa yang diperbuatnya? Di bumi manakah dia akan meninggal?’.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 5/292, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, 1/160)
[4] Bisa jadi, si ibu terinfeksi virus atau kuman penyakit yang menyebabkan kerusakan pada janin atau terganggunya perkembangan janin.
[5] Dalam Fathul Bari disebutkan, ‘azl adalah menarik zakar setelah masuk agar sperma/mani tumpah di luar kemaluan istri.
[6] Masa 30 bulan tersebut dengan perincian sebagai berikut. Minimal masa kehamilan adalah 6 bulan, karena apabila janin lahir ke dunia saat berusia 6 bulan dalam kandungan, dia masih berpeluang hidup. Berbeda halnya apabila lahir kurang dari 6 bulan, janin tidak bisa hidup.
Waktu 6 bulan dalam kandungan ini ditambah dengan 24 bulan (2 tahun) masa penyusuan yang sempurna seperti yang tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 233,
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna, bagi siapa yang ingin menyempurnakan masa penyusuan.”
Jadilah semuanya 30 bulan seperti tersebut dalam ayat.
[7] Ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.”
Orang itu bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama, “Siapakah orang (berikutnya) yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan ucapan yang sama, “Ibumu.”
Untuk ketiga kalinya orang itu bertanya, “Siapakah orang (berikutnya) yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menjawab, “Ibumu.”
Setelah bertanya untuk keempat kalinya dengan pertanyaan yang sama, barulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ayahmu.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan hasan dalam al-Irwa’ no. 2232)
[8] Dalil untuk kafarat berupa memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 92.
Comments are closed.