Orang Tua Tidak Memerhatikan Anaknya
Fadhilatusy Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya, “Sebagian orang tua tidak memerhatikan urusan agama anak-anaknya, seperti tidak menyuruh mereka untuk shalat, membaca al-Qur’an, atau berteman dengan orang-orang yang baik. Akan tetapi, dia amat memerhatikan sisi pendidikan sekolah, bahkan bisa marah apabila anaknya membolos. Apa nasihat Anda, wahai Samahatusy Syaikh?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Nasihat saya kepada mereka—para ayah, paman, atau saudara laki-laki— hendaknya mereka bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam urusan anak-anak yang berada dalam tanggung jawabnya. Hendaknya mereka menyuruh anak-anak itu untuk shalat ketika telah menginjak usia tujuh tahun dan memukulnya apabila meninggalkan shalat ketika mereka telah berumur sepuluh tahun.
Hal ini sebagaimana hadits yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّ ةَالِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun, dan pisahkan mereka di tempat tidur mereka!”
Karena itu, wajib bagi ayah, ibu, atau saudara yang lebih tua untuk memerintah orang yang ada di bawah tanggung jawabnya untuk melaksanakan shalat dan kewajiban lainnya, melarang mereka dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan mengharuskan mereka melakukan apa saja yang telah Allah subhanahu wa ta’ala wajibkan. Inilah kewajiban mereka.
Anak-anak itu adalah amanat di sisi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka!” (at-Tahrim: 6)
Allah ‘azza wa jalla berfirman pula,
وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ
“Dan perintahkanlah keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya.” (Thaha: 132)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Nabi dan Rasul-Nya Ismail ‘alaihissalam,
وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ إِسۡمَٰعِيلَۚ إِنَّهُۥ كَانَصَادِقَ ٱلۡوَعۡدِ وَكَانَ رَسُولٗا نَّبِيّٗا ٥٤ وَكَانَ يَأۡمُرُ أَهۡلَهُۥ بِٱلصَّلَوٰةِوَٱلزَّكَوٰةِ وَكَانَ عِندَ رَبِّهِۦ مَرۡضِيّٗا ٥٥
“Dan ingatlah di dalam al-Kitab tentang Ismail, sesungguhnya dia seorang yang selalu menepati janji, serta seorang rasul dan nabi. Dia senantiasa memerintahkan keluarganya untuk menegakkan shalat dan menunaikan zakat, dan dia seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54—55)
Oleh karena itu, kita harus melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta mengharuskan keluarga dan anak-anak kita untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, baik dalam urusan shalat maupun yang lainnya.
Di samping itu, kita harus melarang mereka dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, seperti meninggalkan shalat, minum khamr, merokok, mendengarkan musik, berteman dengan anak-anak nakal, dan sebagainya. Kita haruskan mereka berteman dengan orang-orang yang baik.
Demikian pula yang wajib dilakukan oleh para wali terhadap orang-orang yang ada di bawah perwaliannya, baik laki-laki maupun perempuan.
Kelak pada hari kiamat, Allah subhanahu wa ta’ala akan meminta pertanggungjawaban mereka tentang semua itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَوَرَبِّكَ لَنَسَۡٔلَنَّهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٩٢
“Maka demi Rabbmu, sesungguhnya Kami akan menanyai mereka semua tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.” (al-Hijr: 92)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْعَبْدُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Seorang istri adalah penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.”
(Majmu’ Fatawa Ibni Baz 7/184)
Orang Tua Tidak Memerhatikan Pendidikan Anak-anaknya
Fadhilatusy Syaikh al-‘Utsaimin pernah ditanya, “Banyak orang tua yang tidak memerhatikan pendidikan anak-anaknya, terutama dari sisi agama. Mereka meremehkan urusan ini dengan dalih penat setelah sibuk bekerja. Bagaimana pandangan Anda tentang orang yang mengaku Islam, namun jarang melaksanakan puasa Ramadhan dan jarang mengingat shalat?”
Beliau menjawab,
“Setiap orang yang beriman wajib memerhatikan pendidikan anak-anaknya dengan perhatian yang lebih agar dia mengamalkan perintah Allah subhanahu wa ta’ala,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, padanya ada malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak pernah mendurhakai Allah pada segala sesuatu yang Dia perintahkan dan senantiasa melaksanakan segala yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Hendaknya pula dia melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sabdanya,
الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ، وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Seorang suami adalah pemimpin atas keluarganya, dan dia akan diminta pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya.”
Tidak boleh dia melalaikan anak-anaknya. Dia harus mengajari mereka adab sesuai dengan kondisi mereka dan sesuai pula dengan kesalahan mereka.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّ ةَالِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat ketika berumur sepuluh tahun.”
Hendaknya dia mengetahui bahwa amanat yang dipikulnya ini kelak akan ditanyakan kepadanya pada hari kiamat. Hendaknya dia mempersiapkan jawaban yang benar sehingga bisa terlepas dari beban tanggung jawab ini.
Dia akan memetik buah amalan yang telah dia lakukan. Jika amalannya baik, buahnya juga baik. Jika amalannya jelek, jelek pula buahnya. Bisa jadi, seseorang diberi hukuman semasa dia masih di dunia dengan anak-anaknya yang durhaka kepadanya, tidak menghormatinya, dan tidak menunaikan haknya.”
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 12/117)
(Dinukil dan diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari Fatawa Tarbiyatil Aulad, al-Qismu al-‘Ilmi Dar al-Ikhlash wa ash-Shawab, cet. 2, 1435H/2014M, hlm. 19—22 oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)