Allah Ada di Mana-mana?

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Keyakinan yang Benar, Sebuah Anugerah yang Besar
Allah l menciptakan manusia dalam kesucian fitrah. Pemahaman tentang hakikat hidup yang beragam telah mengotori kesucian itu sehingga ternoda. Ada yang kemudian menjadi kafir dan ingkar kepada Allah l: Majusi, musyrik, Yahudi, dan Nasrani; dan ada pula yang menjadi seseorang yang fasik, ahli bid’ah, dan sebagainya. Semua ini sangat tergantung dengan hidayah dari Sang Khaliq, Allah l. Akhirnya, yang beriman sangat sedikit dibanding dengan yang kafir dan ingkar. Yang berada dalam kesucian akidah sangatlah jarang dibanding dengan yang telah ternoda.
Pertanyaannya, masih luruskah fitrah kita? Atau masih adakah kecenderungan pada sebuah penyimpangan, kemaksiatan, kesesatan, kebatilan, kerusakan, bahkan kekafiran?

Meninggalkan Keyakinan yang Benar adalah Perangkap Iblis
Tidak henti-hentinya iblis dan bala tentaranya merongrong keyakinan orang-orang yang beriman, karena dalam pandangan iblis dan bala tentaranya, keyakinan yang benar akan bisa meluruskan segumpal daging yang ada dalam jasad setiap insan sebagai muara kebaikan dan kejahatan. Apabila segumpal daging tersebut telah tersibghah (tercelup) oleh keyakinan yang benar, otomatis peluang untuk merusak dan mengotorinya kecil bahkan nihil.
Dalam kitab Talbis Iblis disebutkan tentang tipu daya Iblis untuk menyesatkan umat Rasulullah n dari keyakinan yang benar menuju keyakinan yang batil.
Ibnul Jauzi t mengatakan, “Sesungguhnya iblis masuk kepada manusia sesuai dengan kadar kesempatan. Peluangnya menguasai manusia berubah-ubah, tergantung pada kesiagaan, kelalaian, kejahilan, dan pengetahuan mereka.
Perlu diketahui, hati itu bagaikan sebuah benteng yang dikelilingi pagar. Pagar itu memiliki pintu-pintu dan terdapat lubang. Penghuninya adalah akal. Malaikat mondar-mandir pada benteng tersebut.
Di sampingnya ada tempat tinggal hawa nafsu, sementara itu setan lalu lalang padanya tanpa ada yang menghalanginya. Kemudian peperangan bergejolak antara yang tinggal di benteng dengan yang tinggal di tempat hawa nafsu. Setan senantiasa mengitari benteng tersebut untuk mencari kelalaian penjaganya sehingga bisa masuk melalui sebagian lubang.
Si penjaga harus mengetahui semua pintu pagar yang telah dipasrahkan kepadanya untuk dijaga dan harus mengetahui semua lubang pula. Penjaga tersebut tidak boleh dihinggapi rasa bosan karena musuh tidak pernah merasa bosan.”
Seseorang berkata kepada Hasan al-Bashri t, “Apakah iblis itu tidur?”
Beliau berkata, “Kalau iblis itu tidur, niscaya kita akan bisa istirahat.”
Ibnu Jauzi t berkata, “Pengikat yang paling kuat bagi setan untuk menjerat tawanannya adalah kejahilan. Setelahnya adalah hawa nafsu. Adapun ikatan yang paling lemah adalah kelalaian. Selama baju besi seseorang adalah iman, maka panah musuh yang mengenainya tidak akan membunuhnya.” (al-Muntaqa an-Nafis min Talbis Iblis, hlm. 61—62 )

Ketinggian Dzat Allah l Diperdebatkan
Itulah kesesatan. Ia akan menyebabkan seseorang berani berbicara meskipun salah atau batil. Bahkan, ia menjadikan seseorang berani mendebat kebenaran, mempertanyakan, dan meragukannya. Tersebarnya segala kesesatan, kebid’ahan, kesyirikan, dan kekufuran, tidak lepas dari buah lisan tanpa ilmu, yang lahir dari pemikiran sesat.
Ibnu Qayyim t dalam kitab I’lam Muwaqqi’in (1/38) berkata, “Sungguh, Allah l telah mengharamkan seseorang berkata tanpa dasar ilmu, baik dalam hal berfatwa maupun menghukumi. Allah l menjadikannya sebagai salah satu keharaman yang terbesar, bahkan meletakkannya pada peringkat tertinggi.
Allah l berfirman,
Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuknya, dan (mengharamkan) berbicara tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.’ (al-A’raf: 33)
Dalam ayat di atas, Allah l membagi dosa menjadi empat tahapan. Allah l memulai dari dosa yang lebih ringan, yaitu perbuatan keji. Setelahnya, Allah l menyebutkan yang paling tinggi tingkat keharamannya, yaitu perbuatan dosa dan kezaliman. Peringkat ketiga lebih besar tingkat dosanya daripada kedua hal sebelumnya, yaitu syirik kepada Allah l.
Kemudian Allah l menutup ayat ini dengan menyebutkan hal keempat yang lebih keras tingkat keharamannya, yaitu berbicara tanpa ilmu. Hal ini mencakup berbicara tanpa ilmu pada nama-nama Allah l, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, agama, dan syariat-Nya.”
Beliau t juga berkata, “Tidak ada jenis keharaman di sisi Allah l yang lebih besar dan lebih keras dosanya daripada berbicara tanpa dasar ilmu. Bahkan, hal ini adalah pangkal kesyirikan dan kekufuran. Di atasnya dibangun kebid’ahan dan berbagai kesesatan.
Oleh karena itu, pangkal segala kebid’ahan yang menyesatkan di dalam agama adalah berbicara tanpa dasar ilmu.
Berdasarkan hal inilah, para pendahulu yang saleh dan para imam sangat keras mengingkarinya. Mereka menyeru di mana-mana untuk memperingatkan manusia darinya dengan peringatan yang keras.
Kerasnya pengingkaran mereka terhadap hal tersebut tidak seperti yang mereka lakukan dalam hal mengingkari perbuatan keji, kezaliman, dan permusuhan; karena kebid’ahan sangat berbahaya, menghancurkan agama, dan lebih dahsyat dalam memadamkan cahayanya.”

Syubhat-Syubhat dan Bantahannya
1. Allah l ada di mana-mana
Keyakinan ini adalah batil. Untuk menguatkan keyakinan yang menyelisihi sekian banyak dalil ini, mereka memperkuatnya dengan apa yang dianggap sebagai dalil-dalil di dalam al-Qur’an, di antaranya:
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja kalian berada.” (al-Hadid: 4)
“Dia bersama mereka di mana pun mereka berada.” (al-Mujadalah: 7)

Jawab: Ayat di atas dianggap dalil dan landasan oleh mereka untuk membangun keyakinan yang salah itu. Padahal, konteks kalimatnya sedikit pun tidak menunjukkan makna bahwa Allah l menyatu dengan makhluk-Nya di mana saja mereka berada. Tidak pula mengarah ke makna demikian dari sisi mana pun.
Dalam bahasa Arab, bahasa yang al-Qur’an diturunkan dengannya, ma’iyah (kebersamaan) tidak menunjukkan selalu bersatu/berkumpul dalam sebuah tempat. Kata tersebut menunjukkan kebersamaan yang bersifat mutlak yang ditafsirkan sesuai dengan konteks kalimat.
Syaikhul Islam Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, bulan yang terletak di atas langit dan termasuk makhluk Allah l yang paling kecil, dia bersama orang yang sedang musafir dan bersama orang yang tidak musafir. Hal ini menunjukkan bahwa kebersamaan tidak selalu bermakna bergabung, menyatu, dan bercampur dalam sebuah tempat. Memaknakan ayat di atas dengan maksud Allah l berada di mana-mana adalah batil dari banyak sisi.
a. Hal ini menyelisihi ijma’ salafus saleh umat ini. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menafsirkannya dengan makna demikian. Yang ada, mereka sepakat menentang dan mengingkarinya.
b. Menafsirkannya dengan makna Allah l di mana-mana berarti menyelisihi sifat ketinggian Allah l yang telah ditetapkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, akal, fitrah, dan ijma’ salafus saleh umat ini.
c. Sikap ini akan melahirkan perkara-perkara batil yang tidak pantas bagi Allah l.
Lalu, apa yang dimaksud oleh ayat tersebut?
Makna yang benar tentang ayat di atas adalah Allah l bersama hamba-hamba-Nya. Artinya, Dia l meliputi mereka dengan ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran, penglihatan, pengaturan, kekuatan, dan makna-makna rububiyah lainnya. Allah l senantiasa di atas ‘Arsy-Nya, di atas semua makhluk. Inilah makna konteks kedua ayat di atas tanpa ada keraguan.
Dalam kitab Mukhtashar al-‘Uluw (hlm. 75) ada sebuah riwayat dari ar-Ramadi, “Aku bertanya kepada Nu’aim bin Hammad tentang firman Allah l, ‘Dia bersama kalian?’
Dia menjawab, ‘Maknanya adalah tidak ada sesuatu yang tersembunyi dari ilmu Allah l. Tidakkah engkau membaca firman-Nya:
“Tiadalah tiga orang sedang berbicara melainkan Allah l adalah keempatnya.” (al-Mujadilah: 7) (Lihat Majmu’ Fatawa, 5/103 dan al-Qawaidul Mutsla, hlm. 59)
Di antara ayat yang mereka anggap sebagai hujah adalah firman Allah l:
“Dan Dialah yang di langit sebagai Ilah (sesembahan) dan di bumi sebagai Ilah (sesembahan). Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 84)
Menurut mereka, ayat ini bermakna Allah l di langit dan Allah l di bumi.
Jawabnya, ayat ini sedikit pun tidak menunjukkan kepada keyakinan mereka bahwa Allah l berada di mana-mana. Justru ayat ini menjelaskan besarnya hak Allah l sebagai satu-satunya Dzat yang disembah. Maknanya adalah Dialah sesembahan segala makhluk yang ada di langit dan sesembahan seluruh penduduk bumi.

2. Mereka melakukan penakwilan terhadap ayat yang menunjukkan Allah l berada di atas.
Di antaranya firman Allah l:
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, yang naik di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
Mereka menakwilkan kata اِسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اِسْتَوْلَى (berkuasa) sebagaimana mereka melakukan penakwilan terhadap kata lain yang menyebutkan sifat Allah l, baik dalam al-Qur’an maupun hadits.
Mereka menguatkan hujahnya dengan sebuah syair:
قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ
مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
Sungguh Bisyr telah istiwa (berkuasa) atas Irak
tanpa perang dan pertumpahan darah
Mereka memaknai اِسْتَوَى di sini dengan “menguasai:. Kata mereka, bait ini berasal dari seorang Arab yang fasih, sehingga tidak mungkin maknanya ‘Bisyr naik/tinggi di Irak’. Terlebih di masa itu belum ada pesawat terbang yang membuatnya berada di atas Irak.

Jawab: Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah l beristiwa’ (tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Istiwa’ ini sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah l, tidak sama dengan istiwa’ makhluk-Nya. Kata اسْتَوَى disebutkan oleh Allah l pada tujuh tempat di dalam al-Qur’an.
Memaknakan اسْتَوَى (naik, tinggi) dengan اسْتَوْلَى (berkuasa) adalah batil dari banyak sisi yaitu:
1. Menyelisihi penafsiran salaf umat ini yang berijma’ atas penafsiran tersebut.
Bukti ijma’ mereka adalah tidak ada penukilan dari salah seorang mereka bahwa اسْتَوَى berarti اسْتَوْلَى.
2. Menyelisihi konteks nash karena lafadz اسْتَوَى apabila digandengkan dengan huruf ‘ala bermakna di atas dan menetap. Inilah makna lahiriah lafadznya dan yang diinginkan di dalam al-Qur’an dan oleh bahasa Arab.
3. Apabila kita memaknakan اسْتَوَى dengan اسْتَوْلَى, akan muncul konsekuensi yang batil di dalamnya, Mahasuci Allah.
Di antaranya adalah:
• Allah Yang Mahasuci dari praduga ahli kebatilan, saat menciptakan langit dan bumi tidak dalam kondisi berkuasa atas ‘Arsy-Nya, setelah itu baru Dia l berkuasa.
• Penggunaan kalimat اسْتَوْلَى (berkuasa) mayoritasnya terjadi setelah ada perebutan kekuasaan. Padahal tidak ada seorang makhluk pun yang setara dengan Allah l apalagi mengalahkannya.
• Kalau benar makna اسْتَوَى adalah اسْتَوْلَى, dan ini batil, boleh juga kita mengatakan Allah l اسْتَوَى di atas bumi, pohon-pohon, dan gunung-gunung, karena Allah l berkuasa atas semuanya. Tentu saja makna ini batil. (Lihat Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Ibnu Utsaimin, hlm. 319 dan Fathu Rabbil Bariyyah bi Talkhis al-Hamawiyyah, hlm. 39)

3. Jika kalian, wahai Ahlus Sunnah, mengatakan bahwa Allah l berada di langit, berarti kalian telah menjadikan Allah l diliputi oleh langit, padahal tidak ada sesuatu pun dari makhluk-Nya yang meliputi Allah l.

Jawab: Syubhat ini jawabannya dari dua sisi.
a. Kata السَّمَاء dalam bahasa Arab artinya ‘sesuatu yang di atas, baik langit maupun yang lain’. Dengan demikian, segala apa yang di atas kita adalah sama’, sehingga makna ayat, ‘apakah kalian merasa aman dengan Dzat yang ada di langit’, maksudnya ‘yang berada di atas.’
b. Kata فِي di dalam bahasa Arab memiliki fungsi dan makna yang bermacam-macam sesuai dengan konteksnya. Adapun kata فِي di sini bermakna عَلَى (di atas) sehingga makna فِي السَّمَاء, artinya di atas langit, bukan di dalam langit.
Kata فِي bermakna عَلَى dalam beberapa ayat al-Qur’an,
“Sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma.” (Thaha: 71)
Tidak mungkin penyaliban itu terjadi di dalam pangkal kurma, tetapi di atasnya.
Demikian juga ayat:
“Maka berjalanlah di penjurunya.” (al-Mulk: 15)
Tidak mungkin perintah tersebut bermakna ‘kita diperintah untuk berjalan di dalam bumi’, tetapi di atasnya. (Lihat Tuhfatu Murid Syarah al-Qaulul Mufid, hlm. 6—7)