Arab Saudi, Pelopor Antiteror

Araqb Saudi pelopor AntiTeror

Kampanye untuk merusak citra Kerajaan Arab Saudi nyaris tak kunjung usai. Sebagai negara yang lahir atas kesepakatan bersama antara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Su’ud, Arab Saudi seringkali mendapat tuduhan miring. Terkhusus, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, nama yang kerapkali dituding sebagai penyumbang paham bagi aksi-aksi teroris.

Isu Wahabi pun digulirkan. Opini miring dicekokkan ke benak umat. Seakan-akan Wahabi itu sosok monster yang membahayakan. Saat nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah diseret-seret sebagai peletak dasar aksi kekerasan kaum teroris masa kini, Arab Saudi pun diikutsertakan sebagai negara yang melahirkan banyak teroris.

Opini bahwa Arab itu teroris dan teroris itu Arab, terus digelindingkan secara masif. Tiap kali ada aksi teroris, tergambarlah profil Arab dengan segenap tampilan khasnya. Arab Saudi beserta asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjadi terzalimi.

Disulut kebencian terhadap Islam, banyak orientalis Barat yang lantas memosisikan Arab Saudi sebagai negara keras dan puritan. Tujuannya satu: memerangi Islam dan kaum muslimin melalui cara “damai”. Berupaya mengenyahkan peran Islam melalui cara halus. Meninabobokan kaum muslimin sehingga bisa ditaklukkan dan diperbudak.

Negara Arab Saudi yang menghidupkan dakwah tauhid, selalu menjadi sasaran permusuhan dan kebencian para penyembah kubur, Syiah, dan kaum liberalis. Namun, atas pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala kemudian usaha gigih dari para ulama dan pejabat pemerintahan Arab Saudi, upaya permusuhan dan kebencian itu tidak memudaratkan sedikit pun. Alhamdulillah.

Sudah menjadi kebijakan Kerajaan Arab Saudi untuk menebarkan nilai-nilai Islam dan memajukan kaum muslimin. Islam sebagaimana yang dipahami, diajarkan, dan dicontohkan salafush shalih (orang-orang terdahulu yang saleh, yaitu para sahabat rasul, tabi’in dan para pengikutnya).

Semasa kekuasaan dipegang Raja Fahd bin Abdul Aziz Alu Su’ud, beliau pernah menyatakan, “Saya adalah dai. Saya mengajak kepada akidah salafiyah yang lurus.”

Pernyataan yang sedemikian terang dari seorang raja tentunya menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan negara. Kini, Raja Salman bin Abdul Aziz Alu Su’ud tetap meneruskan kebijakan pendahulunya. Dalam sebuah pertemuan bersama para ulama dan dai, Raja Salman pernah mengungkapkan bahwa negara yang didirikan al-Imam Muhammad bin Su’ud beserta asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan negara dakwah. Negara yang didasari dakwah tauhid.

Jadi, jelaslah arah kebijakan negara Arab Saudi, yaitu membangun dakwah sebagaimana dituntunkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

 

Baca juga:

Tauhid Awal Dakwah Ilallah

 

Kerancuan Memetakan Masalah

Isu terorisme menjalar begitu dahsyat. Stigma negatif pun langsung melekat ke tubuh kaum muslimin, terkhusus kepada bangsa Arab.

Setelah geger pesawat menabrak gedung World Trade Centre (WTC) New York pada 11 September 2001, sorot mata penuh curiga selalu diarahkan kepada kaum muslimin. Tak tebang pilih. Tak pandang bulu. Siapa pun, selama dirinya berasal dari negeri berpenduduk mayoritas muslim, melekat padanya nama Arab atau Islam, apalagi mengenakan pakaian, serban, dan syiar keislaman lainnya, jangan heran bila mendapat perlakuan kurang bahkan tidak nyaman. Dasarnya, kecurigaan. Jadi, penampilan yang lebih menunjuk syiar keislaman, akan cenderung mendapat perlakuan “khusus”.

Begitulah suasana pascaisu teror digaungkan dan menjalar ke setiap jengkal bumi. Sejak itu, tak sedikit muslim atau muslimah yang di-bully, bahkan diperlakukan layaknya bukan manusia. Hingga kini, dampak buruk itu terus membayangi kaum muslimin dan menggayuti setiap individu muslim. Awan kelam seakan menyekat rongga udara kehidupan kaum muslimin.

Saat aksi teroris meledak, aksi tuduh serampangan pun mendapat tempat. Para pembenci dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seakan-akan mendapat ruang. Begitu pun para pembenci negeri tauhid, Arab Saudi, seakan-akan mendapat media. Mereka tak segan melecehkan dan menghujat. Sosok Usamah bin Laden pun dimunculkan. Seakan ingin menyatakan kepada umat manusia; itu orang Arab, itu orang Arab Saudi. Jadi, orang Arab itulah teroris, Arab Saudi itu ladang subur teroris.

 

Baca juga:

Organisasi Teroris Khawarij Internasional

 

Kampanye hitam pun mendompleng kampanye antiterorisme. Para pembenci pun lantas menerjang penuh angkara murka tanpa memilah. Sebagaimana nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan nama Arab Saudi, nama salafi pun dikait-kaitkan. Setiap orang berjenggot, berpakaian cingkrang di atas mata kaki, wanita bercadar, semua dipukul rata sebagai teroris.

Mereka jahil, tak melihat semua itu sebagai syariat. Karena satu-dua istri teroris bercadar, maka setiap yang bercadar itu berpaham terorisme; tanpa meneliti, tanpa mencermati, serta tanpa mempelajari syariat perihal cadar.

Sungguh aneh, hanya karena berpakaian berdasar syariat, langsung dituding teroris. Tak dimungkiri, sebagian pelaku teror memiliki istri bercadar. Akan tetapi, menjadikan “bercadar” itu sebagai vonis kelompok teroris tentu merupakan sikap zalim dan tak bernalar sehat. Sikap yang tak bisa membedakan antara ketentuan syariat dan perbuatan terorisme yang dilarang syariat.

Begitulah sisi hitam akibat aksi teroris. Para juru fitnah yang hatinya berpenyakit dan penebar ujaran kebencian bergentayangan memprovokasi masyarakat untuk mencerca negara Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, salafi, dan orang-orang yang berpegang pada Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

A.M. Hendropriyono (AMH) pernah berupaya menelusuri akar terorisme. Melalui karyanya yang berjudul Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam, AMH mengurai akar terorisme yang tumbuh di kalangan Islam.

Dalam buku tersebut, penulis menggunakan pisau analisis yang tidak akurat dalam membedah permasalahan terorisme. Sebagai contoh, penulis menyeret nama Wahabi. Namun, di dalam buku itu tidak menampilkan referensi sahih yang mengetahui secara mendalam tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana Wahabi itu. Ironisnya, yang ditampilkan justru Prof. Dr. as-Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky al-Hassany yang memiliki agenda dan paham yang berseberangan dengan ulama dan pemerintah Arab Saudi.

Dari sinilah buku tersebut menjadi bias dalam memberikan interpretasi terhadap akar terorisme. Penyebutan istilah yang rancu pun memperparah bias buku dimaksud. Istilah Wahabi, Wahabi-Salafi Kontemporer, Salafi Dakwah, Khawarij tidak didudukkan sebagaimana mestinya. Nama Wahabi dan Salafi pun selalu dikait-kaitkan dengan segala aksi teror. Padahal, senyatanya pemahaman Wahabi dan/atau Salafi jauh panggang dari api untuk dikaitkan dengan aksi terorisme.

Berikut petikan dari buku AMH, “Dalam hubungan dengan Wahabi, terdapat perkembangan menarik ketika gerakan ini mulai bersentuhan dengan Ikhwanul Muslimin dan Salafi dari Mesir (Panggabean & Fauzi, 2006; Hasan, 2006) yang banyak dikaitkan dengan jihad global. Seorang peneliti dari Georgetown University menolak pengaitan jihad global al-Qaeda dengan doktrin Wahabi klasik, kecuali penganjur-penganjur Wahabi generasi kemudian yang lebih dikenal sebagai Wahabi kontemporer. Jika doktrin jihad yang pertama (klasik) lebih bersifat lokal dan pembelaan diri (defensive), demi akidah, membela tauhid (ke-’Esa’-an Tuhan), yang kedua (Wahabi kontemporer) mengembangkan jihad global ofensif untuk melawan kekuatan Barat dan sekutunya (Delong-Bas, 2004).” (hlm. 394)

Mengaitkan nama Wahabi (bila nama itu dinisbahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) dengan aksi terorisme tampak sangat dipaksakan. Menyebut nama Wahabi, tetapi tidak mengungkap sejatinya sosok peletak dasar berdirinya negara Arab Saudi. Kalau pun diungkap, sumber pengambilan rujukan masih berkutat di kalangan pemikir liberal.

Sangat disayangkan, buku tersebut tidak memuat pendapat para ulama Arab Saudi yang banyak bersentuhan dengan karya-karya peninggalan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Para ulama yang secara langsung mempelajari, menyelami, dan mengamalkan ajaran-ajaran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Merujuk kepada para ulama Arab Saudi, baik dalam bentuk menelaah buah pena mereka, beragam fatwa (terkhusus terkait terorisme) atau tatap muka langsung, akan memberikan pemahaman yang seutuh-utuhnya tentang apa, siapa, bagaimana, dan mengapa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Menggali pengetahuan yang merujuk kepada para ulama Arab Saudi setidaknya bisa meminimalisir bias dan kerancuan opini. Dengan demikian, tulisan yang dihasilkan bisa lebih objektif, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan.

Buku yang ditulis AMH tidak memuat pernyataan para ulama Arab Saudi. Yang dikutip justru yang berseberangan pendapat dengan arus utama pemahaman di negara Arab Saudi. Entah, apakah ini sebuah kesengajaan dalam upaya menciptakan opini tertentu. Mungkin penulis sendiri telah memiliki sikap—yang sikap ini sebagai resume dari penyebaran opini—tentang Arab Saudi, terkhusus tentang sosok dan pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.

Sebagai mantan orang nomor satu di Badan Intelijen Negara (BIN), akses untuk mendapatkan informasi tentang Arab Saudi dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, tentu dirasa tidak sulit.

Kaum liberal, orientalis Barat, dan para pembenci saling berkelindan untuk merusak citra Arab Saudi. Termasuk upaya perusakan citra tersebut melalui pembunuhan karakter terhadap peletak dasar berdirinya pemerintah Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Selain tentunya, mereka berupaya “mengkritisi” kebijakan-kebijakan pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Dari lontaran mereka akan tersembul kebencian yang akut terhadap Arab Saudi dan “Wahabi”.

Tak sedikit dari mereka—termasuk kaum liberal di Indonesia—yang begitu masif, sistemik, dan terstruktur melakukan ujaran kebencian dan kampanye hitam terhadap Arab Saudi dan “Wahabi”. Bahkan, kini nama Salafi pun sering disebut-sebut sebagai bagian aksi terorisme dan radikalisme.

 

Baca juga:

Siapakah Wahabi?

 

Padahal senyatanya, justru para juru dakwah Salafi telah menunjukkan kerja keras guna membendung aksi-aksi terorisme dan radikalisme. Melalui berbagai media yang dimiliki dan bisa dijangkau, para juru dakwah dari kalangan alafi memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk menangkal pemahaman terorisme dan radikalisme.

Kelompok Salafi bukan Khawarij yang menentang dan membuat makar terhadap penguasa, mudah mengafirkan sesama muslim, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Kelompok Salafi bukan gerombolan pengacau keamanan. Bukan pula kelompok yang suka membuat keributan, merusak ketenangan, mengoyak kedamaian, dan merobek ketertiban tengah masyarakat.

Kelompok Salafi malah menawarkan Islam yang damai, rahmah, dan ramah lingkungan. Islam yang diajarkan para salafush shalih, yaitu orang-orang terdahulu yang saleh (para sahabat, tabi’in, dan para pengikut tabi’in). Islam yang berisi tauhid yang lurus, tanpa kesyirikan sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Kelompok Salafi berupaya agar masyarakat memahami, mengamalkan, dan mencintai sunnah-sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berupaya menumbuhkan pada masyarakat sikap taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya serta taat kepada pemerintah dalam hal yang makruf (baik). Sebab, melalui itu diharapkan tumbuh masyarakat yang makmur, sejahtera, aman, tertib, dan diberkahi.

Ditulis oleh Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin