Asy’ariyah = Ahlus Sunnah?

Selama ini, umat acap dibuai dengan istilah atau klaim-klaim keagamaan yang tidak pada tempatnya. Saking lengketnya, menjadikan istilah itu terkristal di benak sebagian besar umat. Sebutlah istilah mazhab Syafi’i di negeri ini. Sejarah atau pelajaran agama di sekolah, materi-materi pengajian, berita-berita media, semua seakan mengamini bahwa mayoritas muslim Indonesia bermazhab Syafi’i. Benarkah kita merujuk akidah, fikih, akhlak, muamalah, yang dikukuhi al-Imam asy-Syafi’i t? Pertanyaan ini akan terjawab jika kita mau menelusuri biografi beliau, mempelajari kitab-kitabnya untuk mengetahui bagaimana akidah dan pemahaman beliau.
Demikian juga istilah Ahlus Sunnah. Perkara ini lebih besar lagi urusannya. Ahlus Sunnah, dalam Islam, adalah pemilik kebenaran di antara sekian puluh kelompok dalam Islam. Dari namanya, semestinya yang pertama terbetik di benak adalah istilah as-Sunnah, yakni segala yang diriwayatkan dari Rasulullah n baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Oleh karena itu, yang berhak menyandangnya tentu saja adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi) para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah n serta “menggigitnya” kuat-kuat. Mendahulukan al-Qur’an dan as-Sunnah atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan akidah, ibadah, muamalah, akhlak, politik, dan sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah l kepada Rasul-Nya Muhammad n.
Jadi, Ahlus Sunnah bukanlah semata perkara klaim-mengklaim. Sebagai seorang muslim, kita semestinya menisbahkan diri kepada Ahlus Sunnah dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan dalam diri kita karakter Ahlus Sunnah. Inilah yang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika kepribadian Ahlus Sunnah itu tidak tecermin dalam akidahnya, perkaranya menjadi lebih berbahaya lagi. Bahkan, akidah yang dipegangi tersebut bisa jadi menjadikannya tak pantas menyandang sebutan Ahlus Sunnah, karena ia sudah memosisikan dirinya dalam barisan yang menentang dan memusuhi sunnah.
Oleh karena itu, ketika kelompok Asy’ariyah “numpang beken” mengaku sebagai Ahlus Sunnah, kita mesti menelusuri biografi al- Imam Abul Hasan al-Asy’ari t, ulama yang “dipinjam namanya” sebagai nisbah kelompok ini. Bagaimana akidah beliau yang sesungguhnya? Benarkah akidah beliau sama dengan Asy’ariyah yang “beredar” sekarang? Benarkah cara beragama mereka sama dengan al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari t? Benarkah Asy’ariyah yang bergelut dengan bid’ah, meneguhkan diri dengannya, mengabaikan sunnah Rasulullah n, bahkan berkubang dalam lumpur keyakinan dan ritual-ritual yang bersumber dari agama di luar Islam, tak mau merujuk kepada dalil, lebih mendahulukan ucapan ustadz/kyainya daripada hadits-hadits Rasulullah n, mengedepankan fanatisme kelompok, layak disebut Ahlus Sunnah?
Itulah pertanyaan yang mesti kita cari jawabannya.