Bank Syariah, Antara Harapan dan Kenyataan

Konon katanya, bank berfungsi sebagai perantara atau lembaga intermediasi antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Dilihat dari fungsi ini, bank memang terkesan sangat ”sosial”.  Teorinya, dana yang menganggur akan mengalir ke sektor-sektor produktif sehingga menggairahkan dunia usaha.

Namun sistem bunga/riba yang diterapkan bank jelas mengubur kesan ini. Dana nasabah yang dihimpun, yang sejatinya merupakan titipan, oleh bank ”dikelola secara penuh” hingga membiak menjadi sekian piutang yang tentu saja berbunga. Dengan asumsi bahwa tidak semua dana simpanan akan diambil nasabah pada saat bersamaan, bank pun leluasa mengeruk keuntungan berlipat-lipat hasil membungakan uang.

Fungsi intermediasi itu sendiri patut dipertanyakan di masa sekarang. Banyak bank yang nyatanya pelit menggelontorkan dananya dengan memberi persyaratan ketat bagi kalangan usaha, terlebih yang tak punya agunan apa-apa. Bahkan lebih senang dengan tanpa keluar keringat (tanpa risiko) memarkir dananya di bank sentral. Ini pun lagi-lagi juga tak lepas bicara soal suku bunga.

Sistem bunga, ketidakberpihakan bank pada masyarakat berpenghasilan rendah, serta bertumbangannya bank-bank konvensional kala suku bunga bergejolak imbas dari krisis keuangan dunia, kemudian memicu lahirnya apa yang disebut bank syariah (Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat/BPR syariah) atau lembaga keuangan syariah yang bisa dipersamakan dengan bank seperti Baitul Mal wat Tamwil (BMT), KSP syariah, dan sebagainya. Sebagai bank yang mengusung nama syariah dan Islam, tentu saja yang diharapkan mekanisme yang ada di dalamnya sesuai dengan nilai dan syariat Islam.

Sayangnya, label syariah atau Islami selama ini masih dihargai dengan sangat murah di mata sebagian umat. Sebut saja istilah pacaran ”Islami”, novel, cerpen, film, atau sinetron ”Islami”. Pacaran, sudah jelas, tak pernah dikenal dalam Islam, bahkan nyata-nyata menggiring pelakunya pada perbuatan dosa. Sementara novel, cerpen, film, dan sinetron, walau dengan dalih ”dakwah” sekalipun, tetaplah berdasar kisah-kisah fiktif (baca: dusta) yang dilarang dalam Islam. Terlebih umat menjadi jauh, melupakan atau enggan mencukupkan diri dengan kisah-kisah keteladanan para nabi dan sahabat Rasulullah n yang seharusnya menjadi satu-satunya rujukan.

Demikian juga yang dialami oleh apa yang disebut bank syariah. Meski berembel-embel syariah, namun faktanya banyak mekanisme atau akad-akad yang tidak Islami di dalamnya. Bank syariah sendiri lebih banyak berfokus pada murabahah (sistem jual beli dengan ”tambahan” keuntungan yang disepakati) yang pada praktiknya nyaris tak berbeda dengan bank konvensional. Pembiayaan bagi hasil yang tercermin dalam sistem mudharabah, yang didengung-dengungkan sebagai pembeda sekaligus nilai lebih dari bank syariah, justru mendapat porsi yang sangat kecil. Sementara, mudharabah yang telah berjalan, nyata-nyata masih perlu ditinjau ulang.

Oleh karena itu, kajian tentang bank syariah ini mestinya diterima sebagai sebuah nasihat agar kita mau menilai segala sesuatu dengan timbangan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Niat berislam yang baik ini memang harus terus dipupuk namun semestinya juga diimbangi dengan keilmuan yang memadai. Jangan sampai yang muncul sekadar semangat apalagi kalau cuma latah.

Sehingga tidak perlu ada yang gerah dan merasa disudutkan. Embel-embel syariah jelas tidak berkonsekuensi ringan, karena di mata masyarakat ini telah menjadi ”stempel halal”. Jangan sampai umat yang sudah kenyang disuguhi berbagai hal yang ”Islami” tadi, kembali menjadi korban.

Yang pro bank konvensional pun tak perlu kegirangan. Riba dan segala bentuknya harus kita enyahkan. Sementara apa-apa yang tidak sesuai syariat harus kita luruskan. Jangan sampai, namanya bank syariah, namun yang membedakan hanya nama atau tellernya yang berkerudung. Selebihnya banyak hal yang mesti dipertanyakan atau dikritisi. Atau dengan kata lain, tidak selarasnya harapan dan kenyataan.