Di balik keceriaan sang anak, sesungguhnya ia membutuhkan perhatian dan bimbingan. Ia terkadang juga ingin bisa bermain bersama ayah atau ibunya. Sayangnya, banyak orang tua yang justru menghabiskan waktunya untuk berbagai urusan di luar rumah. Rutinitas kantor, janji dengan relasi atau mitra bisnis, aktivitas organisasi, dan sebagainya seakan-akan menjadi pembenar untuk mengabaikan keluarga.
Dunia anak seolah tak lepas dari canda cerianya. Menyaksikan mereka berlari, bercanda, dan bertingkah dengan segala keriangan hatinya, menatap mereka bermain dan bergurau dalam iringan gelak tawanya. Terkadang semua itu membuat hati tergerak untuk turut menikmati dunia mereka, merasakan kegembiraan yang mereka rasakan.
Namun, di sisi lain, ada orang tua yang tidak sempat meluangkan waktunya untuk bermain dan bercanda dengan anak-anak. Waktu mereka “terlalu berharga” untuk itu. Di luar sana telah menunggu setumpuk tugas kantor atau deretan daftar pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak perlulah orang tua “menyia-nyiakan” waktu sekadar untuk bermain bersama anak-anak. Toh itu bukan lagi menjadi dunia mereka.
Sebenarnya tidaklah salah jika suatu waktu ayah ibu menyempatkan diri mengajak buah hatinya bercanda dan bersenda gurau. Jika dibuka lagi lembaran yang menuliskan kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan didapati bahwa hal ini juga dilakukan oleh beliau. Banyak kisah yang menggambarkan rasa kasih sayang beliau terhadap anak-anak.
Para sahabat beliau yang mulia radhiallahu ‘anhum menceritakan, dalam banyak kesempatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian kepada anak-anak. Di antara mereka ada yang menceritakan pengalamannya bersama beliau, seperti Mahmud bin ar-Rabi’ radhiallahu ‘anhu yang berkisah,
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ مَجَّةً مَجَّهَا فِيْ وَجْهِيْ وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ مِنْ دَلْوٍ
“Aku masih ingat semburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau semburkan di wajahku dari ember. Waktu itu usiaku masih lima tahun.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 77)
Demikian pula Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu yang menceritakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِيْ أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ. قَالَ: كَانَ فَطِيْمًا قَالَ :فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُوْلُ اللهِ فَرَآهُ قَالَ: أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ؟ قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Aku memiliki saudara laki-laki yang telah disapih, namanya Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau menyapa, ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain dengan burung kecil itu.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6129 dan Muslim no. 2150)
Kisah Abu ‘Umair ini menunjukkan bolehnya seorang anak bermain dengan burung. Diperkenankan juga bercanda dengan gurauan yang tidak mengandung dosa, serta berlemah lembut dan bersikap ramah terhadap anak kecil. Demikian pula kebaikan akhlak, kemuliaan pribadi, dan ketawadhuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tergambar dari kisah ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)
Tak ketinggalan pula seorang sahabiyah, Ummu Khalid bintu Khalid radhiallahu ‘anha, mengisahkan pengalaman masa kecilnya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu, ia bersama ayahnya menemui beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ مَعَ أَبِيْ وَعَلَيَّ قَمِيْصٌ أَصْفَرُ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: سَنَه، سَنَه. قَالَ عَبْدُ اللهِ وَهِيَ بِالْحَبَشِيَّةِ: حَسَنَة. قَالَتْ: فَذَهَبْتُ أَلْعَبُ بِخَاتَمِ النُّبُوَّةِ، فَزَجَرَنِي أَبِي. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دَعْهَا. ثُمَّ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْلِي وَأَخْلِقِي ثُمَّ أَبْلِي وَأَخْلِقِي ثُمَّ أَبْلِي وَأَخْلِقِي.
“Aku pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama ayahku. Waktu itu aku memakai baju kuning. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Sanah, sanah!’.” Abdullah (Ibnul Mubarak) berkata, “Kata ini dalam bahasa Habasyah berarti bagus.” Ummu Khalid bercerita lagi, “Lalu aku bermain-main dengan tanda kenabian, hingga ayahku menghardikku. Melihat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Biarkan dia!’ Kemudian beliau bersabda, ‘Pakailah sampai usang, pakailah sampai usang, pakailah sampai usang’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5993)
Yang tak boleh luput dari perhatian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gambaran kasih sayang dengan pelukan, seperti kepada cucu beliau, al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma. Peristiwa ini dikisahkan oleh Ya’la bin Murrah radhiallahu ‘anhu.
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ وَدُعِيْنَا إِلَى طَعَامٍ فَإِذَا حُسَيِنٌ يَلْعَبُ فِي الطَّرِيْقِ، فَأَسْرَعَ النَّبِيُّ أَمَامَ القَوْمِ ثُمَّ بَسَطَ يَدَيْهِ، فَجَعَلَ يَمُرُّ مَرَّةً هَاهُنَا وَمَرَّةً هَاهُنَا، يُضَاحِكُهُ حَتَّى أَخَذَهُ، فَجَعَلَ إِحْدَى يَدَيْهِ فِي ذَقْنِهِ وَاْلأُخْرَى فِي رَأْسِهِثُمَّ اعْتَنَقَهُ فَقَبَّلَهُ، ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ :حُسَيْنٌ مِنِيْ وَأَنَا مِنْهُ، أَحَبَّ اللهُ مَنْ أَحَبَّ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ، سِبْطَانِ مِنَ اْلأَسْبَاطِ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada waktu itu, kami diundang makan. Tiba-tiba al-Husain bermain-main di jalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun segera mendahului orang-orang, kemudian membentangkan kedua tangan beliau, dan berlari kesana kemari, mencandai al-Husain hingga berhasil memegangnya. Kemudian beliau letakkan salah satu tangan di dagu al–Husain, dan tangan yang sebelah di kepalanya. Beliau pun memeluk dan menciumnya, lalu berkata, ‘Al-Husain adalah bagian dariku, dan aku bagian darinya. Allah mencintai orang yang mencintai al-Hasan dan al-Husain. Mereka itu dua orang dari anak cucu Ibrahim ‘alaihissalam’.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 279)
Pengertian dan kasih sayang juga terlukis pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersama ‘Aisyah bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anhuma, istri yang masih sangat belia ketika dipersunting beliau. Kala itu, masih lekat kegemaran ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dengan permainan sebagaimana halnya gadis kecil seusianya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.
وَاللهِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْمُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُوْنَ بِحِرَابِهِمْ فِي مَسْجِدِ رَسُوْلِ اللهِ، يَسْتُرُنِي بِرِدَاءِهِ لِكَيْ أَنْظُرَ إِلَى لَعِبِهِمْ ثُمَّ يَقُوْمُ مِنْ أَجْلِي حَتَّى أَكُوْنَ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ، فَاقْدُرُوْا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيْثَةِ السِّنِّ حَرِيْصَةً عَلَى اللَّهْوِ
“Demi Allah, aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di pintu kamarku. Ketika itu orang-orang Habasyah sedang bermain-main dengan alat perang mereka di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menutupiku dengan rida beliau agar aku dapat menyaksikan permainan mereka. Beliau berdiri hingga aku sendiri yang beringsut dari situ. Hendaknya kalian mengerti keadaan seorang gadis kecil yang masih muda usianya dan senang dengan permainan.” (Sahih, HR. Muslim, no.892)
Dari sini terlihat kasih sayang, kebaikan akhlak, dan pergaulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keluarga dan para istri beliau, dan yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 6/184)
Dari sini pula tergambar bahwa saat itu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha adalah seorang gadis kecil yang masih menyukai hiburan dan pertunjukan, teramat senang melihat permainan dan ingin menyaksikannya selama mungkin tanpa rasa bosan, kecuali setelah waktu yang lama. Ucapan ‘Aisyah di akhir penuturannya menunjukkan bahwa seorang gadis kecil masih berminat dan menyukai permainan. (Syarh Shahih Muslim, 6/185)
Demikianlah dunia mereka. Sarat canda dan permainan. Namun, tentu tidak patut dilupakan pandangan syariat tentang jenis-jenis permainan yang boleh digunakan oleh anak. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan,
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا دَخَلَ يَنْقَمِعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبْهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي.
“Dahulu aku biasa bermain boneka-boneka perempuan di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku memiliki beberapa teman yang biasa bermain denganku. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, mereka bersembunyi dari beliau. Kemudian beliau menggiring mereka kembali padaku hingga bermain lagi bersamaku.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6130 dan Muslim no. 2440)
Kisah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ini membuahkan faedah tentang bolehnya anak-anak perempuan bermain boneka untuk mengajari dan melatih mereka tentang urusan yang berkaitan dengan diri mereka, rumah tangga, dan anak-anak. Hal ini termasuk pengkhususan dari keumuman gambar yang dilarang. Demikian yang diterangkan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah. (Syarh Shahih Muslim, 15/204)[1]
Permainan ini pula yang diberikan oleh para ibu di kalangan sahabat ketika melatih anak-anak mereka berpuasa sehingga perhatian mereka beralih dari makanan. Hal ini diceritakan oleh ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha,
أَرْسَلَ النَّبِيُّ غَدَاةَ عَاشُوْرَاءَ إِلَى قُرَى اْلأَنْصَارِ: مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ. قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعَبَ مِنَ الْعِهْنِ. فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada penduduk Anshar pada pagi hari ‘Asyura untuk mengumumkan, barang siapa pada pagi harinya dalam keadaan tidak berpuasa, hendaknya ia menyempurnakan sisa harinya dengan berpuasa. Barang siapa pada pagi harinya dalam keadaan berpuasa, hendaknya dia terus berpuasa pada hari itu. Kami pun berpuasa setelah itu dan menyuruh anak-anak kami turut berpuasa. Kami membuat mainan dari wol untuk mereka. Jika mereka menangis karena minta makan, kami berikan mainan itu hingga tiba waktu berbuka.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1960 dan Muslim no. 1136)
Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah membawakan hadits ‘Aisyah dan hadits ar-Rubayyi’ ini dalam kitabnya, Hukmu Tashwir Dzawatil Arwah pada bab “Bolehnya menggunakan mainan dari wol dan kain untuk anak-anak”. (hlm. 59)
Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah menjelaskan, anak-anak perempuan boleh bermain dengan mainan berbentuk anak kecil yang dibuat dari perca, yang dapat dia beri pakaian, dia mandikan, dan dia tidurkan. Ini bermanfaat dalam rangka mengajari mereka tentang pendidikan anak ketika kelak mereka menjadi ibu. Akan tetapi, tidak boleh membeli mainan (boneka) asing untuk mereka, terutama boneka-boneka yang berbentuk wanita asing yang membuka aurat, sehingga anak-anak akan belajar dan mengikuti mereka. (Kaifa Nurabbi Auladana, hlm. 53)
Begitu pula masalah permainan ini dijumpai di kalangan para pendahulu kita yang saleh. Di antara mereka ada Ibrahim bin Yazid an-Nakha’i rahimahullah yang menyatakan,
كَانَ أَصْحَابُنَا يُرَخِّصُوْنَ لَنَا فِي اللُّعَبِ كُلِّهَا غَيْرَ الْكِلاَبِ. قَالَ أَبُوْ عَبْدِ اللهِ: يَعْنِي لِلصِّبْيَانِ.
“Para sahabat kami memberikan keringanan bagi kami pada seluruh jenis permainan kecuali anjing.” Abu Abdillah (al-Imam al-Bukhari) mengatakan, “Yang dimaksud adalah permainan untuk anak-anak.” (asy-Syaikh al-Albani mengatakan dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 976: shahihul isnad maqthu’)
Namun, ada hal yang tidak boleh dilalaikan oleh ayah bunda. Hendaknya mereka melarang anak melakukan permainan yang dilarang oleh syariat, seperti permainan dadu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberikan ancaman kepada orang-orang yang bermain dadu. Ini disampaikan oleh Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدِ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang siapa bermain dengan dadu, dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 957: hasan)
Dijelaskan pula oleh Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang mengatakan,
إِيَّاكُمْ وَهاَتَيْنِ الْكَعْبَتَيْنِ الْمَوْسُوْمَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تُزْجَرَانِ زَجْرًا فَإِنَّهُمَا مِنَ الْمَيْسِرِ
“Hati-hatilah kalian terhadap dua dadu ini, karena keduanya termasuk perjudian.” (Dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 958, sahih)
Bahkan, para sahabat tidak segan bersikap keras ketika melihat salah seorang dari keluarganya bermain dadu. Hal ini pernah dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, sebagaimana dikisahkan oleh Nafi’,
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا
“Apabila Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang anggota keluarganya bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (Dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)
Inilah dunia anak. Dunia bermain dan canda tawa. Sebagai cerminan rasa kasih dari sanubari, tak inginkah ayah dan ibu turut bersama mereka menikmati kegembiraan dalam naungan pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
[1] Namun, sebagian ulama, seperti asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, berpendapat bahwa boneka-boneka mainan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bentuknya sederhana sekali dan tidak begitu persis menyerupai makhluk aslinya. Adapun boneka-boneka sekarang yang bentuknya begitu persis dengan aslinya bahkan bisa bergerak dan bersuara, lebih baik (utama) dihindari. Apabila hendak berhati-hati, kepalanya dicopot atau dipanaskan sampai lembek lantas disederhanakan sehingga tidak persis dengan aslinya, atau yang semacamnya. Lihat Majmu’ah As’ilatin Tuhimmu al-Usrah al-Muslimah, hlm. 135—136. (ed)