Seorang suami dituntut untuk dapat bersikap lembut terhadap istrinya. Sebab, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri (wanita) diibaratkan seperti tulang rusuk. Jika diluruskan dengan paksa, tulang itu akan patah. Sebaliknya, jika dibiarkan akan tetap bengkok.
Suami adalah nakhoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita….” (an-Nisa: 34)
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap masa bodoh, keras, kaku, dan kasar terhadap keluarganya. Sebaliknya, ia justru harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh kelembutan, dan kasih sayang.
Meski pada dasarnya ia adalah seorang yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang lain, lebih-lebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa bersikap lembut agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Sikap lemah lembut ini adalah rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia,
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ
“Karena rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang yang kaku, keras, lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Dalam tanzil-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (an-Nisa: 19)
Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Maksudnya, perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri), perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai apabila ia (istri) berbuat demikian, engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hal ini,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”
Termasuk akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseriseri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut dan melapangkan mereka dalam hal nafkah, serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Masih menurut al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “(Di antara cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan para istrinya secara baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke rumah masing-masing.
Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/ sarung. Setelah shalat isya, biasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Demikian yang diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus suami dan pemimpin dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara itu, kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh, telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir, dan dia banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah berkata, “Ayat Allah subhanahu wa ta’ala ‘(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma‘ruf)’ meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu, sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang ma‘ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik, menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakiti), mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan.” (Taisir al-Karimir Rahman, hal. 172)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjadikan ukuran kebaikan seseorang ketika ia dapat bersikap baik terhadap istrinya. Beliau pernah bersabda,
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Ahmad, 2/527, at-Tirmidzi no. 1172, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad, 2/336—337)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
‘Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya’
karena para istri adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Di sisi lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istri, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
“Hendaklah engkau bersikap lembut[1].” (Sahih, HR. Muslim no. 2594)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Tidaklah dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2594)
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6024)
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Dan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak Dia berikan kepada sikap kaku/kasar dan dengan apa yang tidak Dia berikan kepada selainnya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2593)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang telah disebutkan, -red.) dan penekanan untuk berakhlak dengannya, serta celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan adalah sebab setiap kebaikan.
Yang dimaksud dengan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada sikap lembut ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala memberikan pahala atasnya dengan pahala yang tidak diberikan kepada selainnya. Al-Qadhi rahimahullah berkata, ‘Maknanya, kebaikan tersebut akan memudahkan tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan memudahkan segala tuntutan, maksud, dan tujuan, yang hal ini tidak dimudahkan dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/145)
Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang suami ialah ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau dengan istrinya. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan kekasihnya yang mulia.
Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Majulah kalian (berjalanlah dahulu).”
Mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing), “Ayo, kita berlomba lari.”
Kata Aisyah, “Aku pun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau.”
Waktu pun berlalu. Ketika Aisyah radhiallahu ‘anha telah gemuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Majulah kalian.”
Mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku, “Ayo, kita berlomba lari.”
Kata ‘Aisyah, “Aku berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku.”
Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata, “Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, –red.).” (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan sanad hadits ini sahih dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286)
Allah subhanahu wa ta’ala Yang Mahaadil menciptakan wanita dengan segala kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena ia diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun, untuk meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar tidak patah.
الْمرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti tulang rusuk, apabila engkau meluruskannya engkau akan mematahkannya. Apabila engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada kebengkokan.”
Demikian yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 5184) dan al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1468). Hadits ini diberi judul bab oleh al-Imam al-Bukhari dengan bab “al-Mudarah ma’an Nisa” (Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia juga bersabda,
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) dengan kebaikan karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas. Apabila engkau paksakan untuk meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Namun, apabila engkau biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan), dia akan terus menerus bengkok. Karena itu, berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَ قَالُهَا
“Apabila engkau paksakan untuk meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Patahnya adalah dengan menceraikannya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Berwasiatlah kalian’ maksudnya adalah aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri). Maka dari itu, terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan amalkanlah.”
Beliau melanjutkan, “Dalam sabda Nabi, ‘kepada para wanita (istri) dengan kebaikan’ seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut dan tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Tidak pula ia membiarkannya hingga istri terus-menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul Bari, 9/306)
Dalam hadits ini juga ada beberapa pelajaran. Di antaranya, disukai untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan hatinya. Hadits ini juga menunjukkan cara mendidik wanita dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan bisa mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan membantu dalam kehidupannya. Jadi, seakan-akan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan bersabar terhadapnya.”
Satu faedah yang tidak boleh diabaikan adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas. (Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih Muslim, 10/57)
Dengan tuntunan beliau di atas, seyogianya seorang suami menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih sayang kepada istri dan anggota keluarganya yang lain. Sang istri pun diperintah untuk taat kepadanya dalam hal yang baik. Dengan demikian, akan terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan kasih sayang.
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang[2] di antara kalian.” (ar-Rum: 21)
هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa tenang bersamanya.” (al-A’raf: 189)
Demikianlah kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Makna ar-rifq sendiri adalah bersikap lunak terhadap orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatan, dan mengambil yang paling mudah dari perkara yang ada. Ar-Rifq adalah lawan dari sikap kasar, keras, bengis, dan kejam. (Fathul Bari, 10/464)
[2] Ibnu ‘Abbas dan Mujahid berkata, “Al-Mawaddah adalah jima’ (senggama) dan ar-rahmah adalah anak.”
Demikian pula yang dikatakan oleh al-Hasan.
Ada pula yang mengatakan bahwa al-mawaddah war rahmah adalah hati mereka condong dan dipenuhi kelembutan terhadap pasangan hidupnya. As-Suddi mengatakan, “Al-Mawaddah adalah cinta, sedangkan arrahmah adalah kasih sayang.” Diriwayatkan pula yang semakna dengan ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia menyatakan, “Al-Mawaddah adalah kecintaan seorang lelaki terhadap istrinya, dan ar-rahmah adalah kasih sayangnya terhadap istrinya, ia tidak ingin istrinya ditimpa kejelekan.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 13/13)
Comments are closed.