Data dan Fakta LGBT & HIV/AIDS di Indonesia

Data LGBT dan HIV AIDS

Saudaraku kaum muslimin rahimakumullah, apabila kita mencermati geliat dan perkembangan LGBT di negeri kita tercinta ini, sungguh, akan membuat kita tercengang dan terperanjat. Bagaimana tidak? Setiap tahun jumlah pelaku homoseksual terus meningkat. Demikian pula, jumlah pengidap HIV/AIDS dari kalangan homoseksual juga terus bertambah.

Berikut ini kami sajikan sebagian kecil data dan fakta perkembangan homoseksual di Indonesia. Semoga Allah melindungi segenap kaum muslimin di negeri Indonesia ini dari bahaya LGBT.

  1. Laporan Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 (hlm. 6) menyebutkan bahwa jumlah LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) yang terinfeksi HIV/AIDS tahun 2010 sebanyak 506, tahun 2011 sejumlah 1.040, tahun 2012 sebanyak 1.514, dan tahun 2013 sejumlah 3.287 kasus. Adapun tahun 2014, jumlah yang terinfeksi HIV/AIDS pada LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) sebesar 3.858, tahun 2015 sebesar 4.241, dan tahun 2016 sebesar 13.063 kasus.

Data-data di atas memperlihatkan kepada kita bahwa jumlah LSL yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan yang signifikan.

  1. Di Kabupaten Bogor, 10 titik kecamatan dari 44 kecamatan per Juni 2015 ada 6.600 LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) dan bulan Desember ada 8.013.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 6 bulan, jumlah LSL mengalami peningkatan sekitar 1.400. Data tersebut berdasarkan by name by address[1]. Penelitian terhadap LSL menunjukkan bahwa anak-anak usia 11 sampai dengan 13 tahun telah belajar berhubungan seks sesama jenis.[2]

  1. Data pencabulan sesama jenis dari titik-titik data beberapa tahun yang lalu di suatu daerah yang terpencil pun sudah ribuan. Data tersebut mencapai 1.500 kasus.

Penting diketahui, data ini berdasarkan by name by address karena mereka melakukan konseling. Data tersebut belum termasuk yang tidak ikut konseling.[3]

  1. Penularan HIV/AIDS yang tertinggi dan tergampang adalah hubungan seks dari dubur.[4]

  2. Sejumlah 25% kelompok LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) di Indonesia sudah terkena HIV/AIDS. Adapun untuk kalangan waria juga 25% sudah terkena HIV/AIDS.[5]

  3. Pada perilaku seksual LSL (Laki-laki Seks Laki-laki), kemungkinan terkena HIV 60 kali lipat lebih gampang dibandingkan yang lain.[6]

  4. Sebanyak 17.000 pelajar di Jateng terindikasi mengidap HIV/AIDS karena melakukan hubungan seks sejenis atau LSL (Laki-laki Seks Laki-laki). Temuan perlakuan menyimpang dilakukan remaja karena beranggapan hubungan seks sejenis tidak berisiko hamil.

“Perilaku menyimpang ini sudah mewabah di kalangan remaja. Mereka lebih suka hubungan sejenis Laki-laki Seks Laki-laki (LSL) karena bujukan teman. Tanpa sadar akibatnya terkena HIV/AIDS,” kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Tengah, Zainal Arifin, saat diwawancarai oleh merdeka.com, Kamis (29/11).[7]

  1. Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Dezi Sukrawati di Bekasi, Rabu (17/1/2018) mengatakan, “Di tahun 2017, hampir 60% penderita HIV/AIDS merupakan orang-orang gay, alias Laki-laki Seks Laki-laki (LSL) atau homo. Penanganan HIV di Kota Bekasi, cukup sangat sulit. Karena jumlah penderitanya makin banyak, sehingga penanganan lebih diintensifkan lagi.”[8]

  2. HIV/AIDS menghabiskan uang negara dan mengakibatkan kemiskinan negara. Sebab, penderita HIV/AIDS harus meminum obat seumur hidup dan biaya ditanggung oleh negara. Biaya yang dibutuhkan per orang per bulan adalah Rp254.000—Rp550.000.

Misalkan seorang penderita HIV/AIDS tutup usia pada umur 50 tahun, berarti satu tahun menghabiskan 6 juta rupiah. Dengan demikian, total biaya yang dihabiskan per orang adalah 300 juta rupiah. [9]

  1. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI, dr. H. Muhammad Subuh, MPPM mengatakan bahwa tahun 2017 negara sudah mengeluarkan satu triliun rupiah untuk membayar biaya pengobatan penderita HIV/AIDS.[10]

  2. Satu dari empat LSL di Indonesia sudah terinfeksi HIV/AIDS.[11]

  3. Laporan Direktorat Jendral Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI tahun 2017 (hlm. 3—4 dan hlm. 10—11) menyebutkan bahwa rentang usia terbanyak penderita HIV/AIDS adalah 20—49 tahun.

Penderita laki-laki dua kali lebih banyak dari penderita perempuan. Artinya, usia yang terkena adalah usia produktif.

13. Data-data di atas adalah puncak fenomena gunung es (iceberg phenomenon). Artinya, jumlah penderita HIV/AIDS yang tidak terdata dan belum diketahui, jauh lebih banyak.[12]

 

Saudaraku, kaum muslimin rahimakumullah.

Setelah kita menyimak sekelumit data-data di atas, apakah hati kita masih merasa aman dari bahaya LGBT? Apakah kita tidak khawatir terhadap masa depan anak-anak kita? Mudarat dan kerusakan apa lagi yang lebih kita takutkan menimpa bangsa kita dibandingkan dengan merebaknya LGBT?

Ya Allah, wahai Rabb kami, selamatkan anak dan keturunan kami dari bahaya LGBT….

Grafik 1. Jumlah Infeksi HIV/AIDS pada LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko Tahun 2010—2016[13]

Jika kita memperhatikan Grafik 1 (Jumlah Infeksi HIV/AIDS pada LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko 2010—2016), peningkatan dari tahun ke tahun sangat signifikan.

Misalkan dari 2015 sampai 2016, persentase infeksi HIV/AIDS pada LSL (Laki-laki Seks Laki-laki) meningkat sampai 208% lebih! Bahkan, kalangan pelajar juga termasuk berpotensi mengidap HIV/AIDS dengan sebab LSL.

 

Demikian pula, jika kita memperhatikan Grafik 2 dan 3, serta data nomor 12; kita dapat menyimpulkan bahwa mayoritas penderita HIV/AIDS adalah dari kalangan lelaki usia produktif.

Jika penderita HIV/AIDS tersebut adalah seorang kepala rumah tangga yang memiliki istri dan anak-anak yang harus dinafkahi, lalu bagaimana dia bisa bekerja untuk menghidupi keluarganya? Jangankan meningkatkan taraf hidup dan ekonomi keluarga, untuk berobat saja biayanya ditanggung oleh negara. Biayanya pun tidak murah.

Lebih jauh lagi, bagaimana dia bisa ikut andil dalam membangun bangsa dan negara? Padahal pada uraian data-data di atas, kita belum membahas tentang bagaimana penularan HIV dari suami kepada istri atau dari ibu kepada anak. Benar-benar mengerikan!

Sekali lagi, data-data di atas hanyalah puncak fenomena gunung es. Artinya, jumlah yang tidak terdata dan belum diketahui jauh lebih banyak. Pemerintah pun harus berusaha keras untuk mendata para pengidap HIV/AIDS. Semoga hal ini bisa menjadi renungan kita bersama. Sudah saatnya kita peduli. Kita tidak boleh diam.

Ya Allah, wahai Rabb kami, hanya kepada-Mu kami mengadu….

Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, kasihanilah kami, selamatkan negeri kami dari bahaya LGBT.

 


[1] Hal ini menunjukkan data tersebut sangat valid dan tidak sembarangan. Sebab, nama dan alamat serta data diri LSL tercatat dengan terperinci.

[2] Prof. Euis Sunarti: Data Proves, Adultery Numbers in Indonesia Already Need High Urgency (menit 2:29)

[3] Prof. Euis Sunarti: Data Proves, Adultery Numbers in Indonesia Already Need High Urgency (menit 2:14)

[4] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 2:37 dan 9:49)

[5] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 9:58)

[6] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 10:27)

[7] https://m.merdeka.com/peristiwa/17000-pelajar-jateng-terindikasi-mengidap-hivaids-karena-seks-sejenis.html

[8] https://metro.sindonews.com/read/1274427/170/didominasi-kaum-gay-penderita-hiv-di-bekasimeningkat-1516182526

[9] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 4:31)

[10] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 5:07)

[11] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 10:49)

[12] dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK: LGBT Sexual Behavior is at Highest Risk of Contracting HIV/AIDS (menit 14:48)

[13] Lihat Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS & PIMS di Indonesia Januari—Desember 2017, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2017

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Arif