Kisah-kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar rumah beliau, sebagai pengajar dan pembimbing umat, pemimpin kaum muslimin dan panglima tertinggi dalam jihad fi sabilillah, sangat sering dibicarakan. Sementara itu, ada sisi lain kehidupan manusia paling mulia tersebut yang tidak kalah pentingnya. Apakah sisi lain tersebut?
Selain sebagai nabi dan rasul, pemimpin kaum muslimin dan pimpinan negeri Islam, tidak bisa dilupakan sisi lain dari diri beliau yang mulia, yaitu sebagai suami dari istri-istri beliau yang suci.
Sebagai seorang suami, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kebahagiaan kepada seluruh istrinya, karena beliau tahu bagaimana bergaul dengan mereka dan bagaimana menyusupkan cinta ke dalam relung kalbu mereka.
Di samping itu, istri-istri beliau adalah para wanita salihah, shawwamah (ahli puasa), qawwamah (ahli shalat), wanita-wanita yang merasakan kelezatan saat taqarrub dengan Rabb mereka. Mereka menikmati munajat kepada-Nya di malam-malam yang lengang tatkala mata banyak manusia sedang terpejam, sedangkan mata mereka dibasuhi air mata.
Karena itu, mereka berhak beroleh kemuliaan yang teramat agung. Mereka pantas menjadi ibunda orang-orang beriman. Istri-istri kecintaan sang Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan di akhirat. Mereka memperbaiki dan membaguskan hubungan mereka dengan Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala pun memperbaiki dan membaguskan urusan dunia dan akhirat mereka.
Lantas bagaimana halnya dengan kita?
Kita mendamba kembalinya ‘cinta’ dalam kehidupan rumah tangga kita. Satu caranya, tempuhlah jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan jalan Rasul-Nya. Telisiklah kisahkisah kehidupan rumah tangga manusia termulia untuk kita teladani dan kita aplikasikan dalam kehidupan kita.
Kelembutan dan Kemesraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang terbaik akhlaknya, paling lembut, dan penyayang terhadap keluarga dan istri-istrinya. Di antara bentuk kelembutan dan kemesraan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tunjukkan adalah saat memanggil istrinya.
Aisyah radhiallahu ‘anha, sang istri terkasih, menceritakannya untuk kita. Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil namanya dengan meringkasnya,
يَا عَائِشُ، هَذَا جِبْرِيْلُ يُقْرِئُكِ السَّلاَمَ. فَقُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ؛ تَرَى مَا لاَ أَرَى
“Wahai Aisy, ini Jibril menyampaikan salam untukmu.”
Aku menjawab, “Untuknya salam kesejahteraan, rahmat Allah subhanahu wa ta’ala, dan keberkahan-Nya. Anda bisa melihat apa yang tidak bisa saya lihat.” (HR. al-Bukhari no. 3768 dan Muslim no. 6254)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah memanggil Aisyah radhiallahu ‘anha dengan julukan Humaira. Humaira artinya wanita yang berkulit putih, menurut Ibnul Atsir rahimahullah dalam an-Nihayah (hlm. 232—233).
Aisyah radhiallahu ‘anha dijuluki demikian karena kulitnya yang putih kemerah-merahan. Dia menyenangi sebutan yang diberikan oleh suaminya tersebut.
Memanggil istri dengan panggilan pemuliaan atau sebutan yang dia senangi bisa menjadi sebab tersemainya cinta yang akan membiaskan bahagia dalam rumah tangga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya untuk kita.
Kemesraan lain yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan untuk kita adalah seperti yang diberitakan Aisyah radhiallahu ‘anha berikut ini,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُقَبِّلُ إِحْدَى نِسَائِهِ وَهُوَصَائِمٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium salah seorang istrinya saat beliau sedang berpuasa.” (HR. Muslim no. 2568)
Apabila ibadah puasa tidak menghalangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjukkan kasih sayang dan kemesraan kepada istri beliau, lantas bagaimana halnya ketika sedang tidak berpuasa?
Bisa jadi, ada yang berkomentar bahwa hal tersebut dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat masih muda dan masih pengantin baru. Seakan-akan, menurutnya, kemesraan berumah tangga hanya milik mereka yang masih muda dan baru menikah.
Kita balik bertanya, berapa usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menikah dengan Aisyah radhiallahu ‘anha? Jelas tidak muda lagi. Coba dihitung-hitung. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu, usia beliau sudah 40 tahun. Ketika itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menikah dengan Aisyah radhiallahu ‘anha, bahkan Aisyah radhiallahu ‘anha belum lahir, baru Ibunda Khadijah radhiallahu ‘anha yang sendirian mendampingi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baru menikah dengan Aisyah radhiallahu ‘anha di tahun-tahun terakhir beliau bermukim di Makkah. Padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di Makkah selama 13 tahun sebelum berhijrah ke Madinah. Setelah menetap di Madinah, barulah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul sebagai suami istri dengan Aisyah radhiallahu ‘anha.
Jadi, berapa usia beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat berdampingan dengan Aisyah radhiallahu ‘anha? Sekitar 53 tahun lebih. Tentu tidak muda lagi, bukan? Akan tetapi, lihatlah kemesraan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suami tidaklah berkurang karena usia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajari para suami untuk tidak segan-segan menyuapi istri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan bahwa amalan tersebut adalah sebuah bentuk sedekah yang berpahala di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini diisyaratkan dalam hadits di bawah ini.
Sahabat yang mulia, Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu, berkisah,
عَادَنِي النَّبِيُّ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ أَشْفَيْتُ مِنْهُ عَلَى الْمَوْتِ. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، بَلَغَ بِي مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرى وَأَنَا ذُوْ مَالٍ، وَلاَ يَرِثُنْي إِلاَّ ابْنَةٌ لِي وَاحِدَةٌ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلَثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لاَ. قُلْتُ: أَفَأَتَصَدَّقُ بِشَطْرِهَا؟ قَالَ: لاَ. قُلْتُ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: وَالثُّلُتُ كَثِيْرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى اللُّقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku saat haji Wada’ karena sakit parah yang aku merasa akan meninggal karenanya. Aku katakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sakitku demikian parah sebagaimana yang Anda saksikan. Aku seorang yang berharta dan tidak ada yang mewarisi hartaku kecuali seorang putriku. Apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga hartaku?”
“Tidak boleh,” jawab beliau
“Kalau begitu,bolehkah separuhnya?” kataku.
“Juga tidak boleh,” jawab beliau.
“Bagaimana kalau sepertiganya?” tanyaku lagi.
“Sepertiga itu sudah banyak. Sungguh, engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin papa sehingga terpaksa meminta-minta kepada orang. Tidaklah engkau menginfakkan suatu nafkah yang engkau harapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala dengannya terkecuali engkau akan diberi pahala. Sampai-sampai suapan yang engkau letakkan ke mulut istrimu (itu berpahala)….” (HR. al- Bukhari no. 4409)
Jadi, perbuatan menyuapi istri tidak hanya menggugah suatu rasa dalam kalbu sang istri. Menyuapi istri tidak pula hanya menunjukkan baiknya pergaulan sang suami terhadap istrinya. Akan tetapi, hal itu teranggap sedekah yang diharapkan pahalanya dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kalimat yang Membahagiakan Istri
Ibnu Asakir rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada istrinya, Aisyah radhiallahu ‘anha,
أَمَا تَرْضِيْنَ أَنْ تَكُوْنِي زَوْجَتِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ؟ قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: فَأَنْتِ زَوْجَتِي فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ؟
“Apakah engkau tidak senang menjadi istriku di dunia dan di akhirat?”
Aisyah menjawab, “Tentu aku senang.”
Kata beliau, “Engkau adalah istriku di dunia dan di akhirat.” (Dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 2255)
Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Aisyah radhiallahu ‘anha mendengar kalimat seperti di atas. Tentu dia sangat bahagia dengan jaminan kelanggengan cinta di dunia dan di akhirat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan bagaimana semestinya seorang suami menyusupkan kebahagiaan di hati istri dengan kalimat yang menyenangkan. Kalimat yang memberikan rasa tenteram kepada si istri untuk terus beroleh cinta.
Menghargai Istri
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan bagaimana seharusnya seorang suami menghargai perasaan istri dan menghormatinya.
Istri beliau, Shafiyyah radhiallahu ‘anha, pernah mengunjungi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat i’tikaf di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Shafiyah radhiallahu ‘anha berbincang sejenak dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum bangkit untuk pulang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersama sang istri untuk mengantarnya sampai ke pintu rumah.
Dalam satu riwayat disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada istrinya, “Jangan buru-buru kembali, saya akan mengantarmu.”
Ketika beliau berjalan berdua dengan istrinya, tiba-tiba keduanya berpapasan dengan dua orang lelaki dari kalangan Anshar. Kedua lelaki tersebut melihat ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berlalu dengan terburu-buru.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil keduanya seraya menjelaskan, “Mari ke sini. Wanita yang bersama saya ini Shafiyah bintu Huyai (istri saya, bukan wanita ajnabiyah -pen.).”
Kedua orang tersebut berkata, “Subhanallah, wahai Rasulullah!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setan berjalan di tubuh anak Adam sebagaimana mengalirnya darah. Aku khawatir dia melemparkan sesuatu prasangka (buruk) pada kalbu kalian berdua.” (HR. al-Bukhari no. 2038)
Berhias dan Memakai Wewangian untuk Istri
Aisyah radhiallahu ‘anha pernah ditanya,
إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ؟ بِأَيِّ شَيْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِيُ قَالَتْ: باِلسِّوَاكِ
“Apa yang pertama kali dilakukanoleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak masuk rumah?”
Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Bersiwak.” (HR. Muslim no. 589)
Lihatlah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikan kebersihan mulutnya ketika hendak masuk rumah untuk bertemu dengan keluarga/istri beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengabaikan kebersihan dan keindahan diri, sampai pun di hadapan istri sendiri.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi wewangian. Istri beliau pun biasa membantu memakaikan wewangian tersebut ke pakaian, tubuh, jenggot, dan rambut beliau. Aisyah radhiallahu ‘anha memberitakan,
كُنْتُ أُطَيِّبُ النَّبِيَّ بِأَطْيَبِ مَا أَجِدُ حَتَّى أَجِدَ وَبِيصَ الطِّيْبِ فِي رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ
“Aku pernah memakaikan minyak wangi terharum yang aku dapatkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sampai-sampai aku dapati mengilapnya wewangian tersebut di kepala/rambut dan jenggot beliau.” (HR. al-Bukhari no. 5923)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerhatikan rambut beliau dengan mencuci dan menyisirnya. Aisyah radhiallahu ‘anha pernah membantu beliau melakukannya, sebagaimana yang masyhur dinukilkan dalam ash-Shahihain.
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerhatikan keindahan dan kebersihan sesuai dengan bimbingan syariat.
Bandingkan dengan keadaan banyak lelaki (baca: suami) yang tidak peduli dengan penampilan diri di hadapan istri. Tercium darinya bau keringat, bau mulut yang tidak sedap, rambut acak-acakan, dan sebagainya, saat bersama istrinya. Padahal bimbingan nabawi mengajarkan tajammul dan tazayyun (berhias dan membaguskan penampilan) di hadapan pasangan hidup, karena hal itu termasuk hak istri dan sebab yang kuat untuk mengikat cintanya. Bukankah jiwa itu menyenangi sesuatu yang bagus, indah, dan bersih?
Sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, berkata, “Sungguh, aku berhias untuk istriku sebagaimana halnya dia berhias untukku. Aku tidak suka menuntut semua hakku yang menjadi kewajibannya terhadapku hingga dia beroleh semua haknya yang merupakan kewajibanku terhadapnya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Untuk mereka (para istri) hak yang sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228) (Tafsir al-Qurthubi, 3/82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Suami yang Indah Pergaulannya terhadap Istri
Kala menafsirkan ayat,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (an-Nisa: 19)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, “Maksudnya, perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri), dan perbagus perbuatan serta penampilan kalian sesuai dengan kemampuan. Sebagaimana halnya Anda suka bila dia (istri) berbuat demikian, semestinya Anda berbuat hal yang sama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hal ini,
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”[1] Termasuk akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau sangat baik hubungannya dengan para istrinya. Wajah beliau senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau, dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lembut terhadap mereka, dan melapangkan mereka dalam hal nafkah, serta tertawa bersama mereka.
Sampai-sampai dalam satu perjalanan safar, beliau pernah mengajak ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berlomba lari, untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.
Aisyah radhiallahu ‘anha bercerita, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajakku berlomba lari, maka aku berhasil mendahului beliau. Beberapa lama waktu berlalu saat tubuhku telah gemuk, beliau kembali mengajakku berlomba, maka beliau berhasil mengalahkanku. Beliau bersabda, ‘Kemenangan ini sebagai penebus kekalahan yang dulu’.”[2]
Masih keterangan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap malam biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Terkadang, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, para istri beliau kembali ke rumah masing-masing. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu kain atau selimut. Beliau melepaskan rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan kain/sarung. Biasanya setelah shalat Isya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kebaikan seorang lelaki terhadap keluarganya sebagai tolok ukur kebaikan. Hal ini sebagaimana sabda beliau yang telah dibawakan di atas.
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku (istriku).”
Mengapa demikian tolok ukurnya?
Sebab, berperilaku dan menampakkan kemuliaan akhlak bisa melemah manakala dia merasa bahwa dia memiliki kekuasaan dan perintah yang pasti terlaksana. Hal itu bertambah lemah lagi manakala telah panjang masa pergaulan dengan pihak yang dikuasainya tersebut.
Nah, bila seseorang bisa terus menjaga kesempurnaan akhlak dalam lingkungan yang berada di bawah kekuasaannya, bersama orang yang dia senantiasa bergaul dengannya, hal itu menunjukkan bahwa dia adalah orang yang terbaik akhlaknya.
Dalam sebuah hadits,
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِم
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, at-Tirmidzi no. 1172; dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad, 2/336—337)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya” karena para istri adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Perangai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Terhadap Istri
Banyak hadits yang menceritakan tentang perangai dan pergaulan sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap istri-istri beliau. Di antaranya kita sebutkan di bawah ini.
- Cinta beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istri beliau.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhuma menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
“Istri-istri dan minyak wangi dijadikan sebagai kecintaanku dari dunia kalian; dan shalat dijadikan sebagai penyejuk mata bagiku.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya, dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih no. 3124)
Amr ibnul Ash radhiallahu ‘anhuma pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah orang yang paling Anda cintai?”
“Aisyah,” jawab beliau.
“Kalau dari kalangan lelaki?” tanyaku lagi.
“Ayah Aisyah,” jawab beliau. (HR. al-Bukhari no. 4358)
- Main-main, senda gurau, dan kelapangan yang diberikan oleh Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istrinya.
Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan,
كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِيْ، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا دَخَلَ يَنْقَمِعْنَ مِنْهُ، فَيُسَرِّبُهٌنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي
“Aku bermain anak-anakan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku memiliki teman-teman yang biasa bermain bersamaku. Bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumahku, temantemanku bersembunyi dari beliau karena malu dan segan. Beliau pun mengeluarkan mereka dari tempat persembunyian mereka sehingga bisa bermain bersamaku.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dinyatakan sahih dalam Shahih al-Adab al-Mufrad, oleh al-Imam al-Albani rahimahullah, no. 283)
Masih cerita Aisyah radhiallahu ‘anha,
رَأَيْتُ النَّبِيَّ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُوْنَ فِي الْمَسْجِدِ حَتَّى أَكُوْنَ أَنَا أَسْأَمُ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menutupiku dengan rida’nya saat aku melihat orangorang Habasyah bermain (perang-perangan) dalam masjid. (Beliau terus menutupiku dan membiarkan aku menyaksikan permainan tersebut) hingga aku sendiri yang bosan (berpaling dari melihat permainan mereka).” (HR. al-Bukhari no. 5236)
Dalam satu lafadz, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di pintu kamarku ketika orang-orang Habasyah bermain dengan tombak-tombak mereka di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau menutupiku dengan selendangnya agar aku bisa melihat permainan mereka. Aku letakkan kepalaku di atas pundak beliau. Pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau terus berdiri karena aku hingga aku sendiri yang berpaling dari melihat permainan mereka (karena bosan).” (HR. Muslim no. 2061, 2063)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berlomba lari dengan Aisyah radhiallahu ‘anha
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermain bersama istrinya dalam rangka menunjukkan kelembutan dan menyenangkan mereka. Ini adalah bentuk bagusnya pergaulan dan sayang beliau terhadap mereka. Dalam satu safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya,
“Majulah kalian (jalan dahulu)!” Mereka pun berjalan mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia dan langsing), “Ayo, kita berlomba lari!”
Kata Aisyah, “Aku pun berlomba bersama beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau.”
Waktu pun berlalu. Ketika Aisyah telah gemuk, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengajaknya berlomba dalam satu safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Berjalanlah dahulu!”
Mereka pun mendahului beliau. Lalu beliau berkata kepadaku, “Ayo, kita berlomba lari.”
Kata ‘Aisyah, “Aku berusaha mendahului beliau, namun beliau dapat mengalahkanku”.
Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata, “Ini sebagai balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri –red).” (HR. Abu Dawud no. 2214. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah menyatakan sahih sanad hadits ini dalam takhrij beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286)
- Kemesraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Aisyah radhiallahu ‘anha kembali bertutur,
كُنْتُ أَشْرَبُ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ فَيَشْرَبُ، وَأَتَعَرَّقُ الْعَرْقَ وَأَنَا حَائِضٌ ثُمَّ أُنَاوِلُهُ النَّبِيَّ فَيَضَعُ فَاهُ عَلَى مَوْضِعِ فِيَّ
“Aku minum saat haid, kemudian aku memberikannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meletakkan bibir beliau di bekas tempat bibirku (saat minum dari gelas tersebut), lalu meneguk airnya (meminumnya). Aku (juga) pernah menghirup kuah masakan saat sedang haid, lalu kuberikan wadahnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau meletakkan bibir beliau di bekas tempat aku meletakkan bibirku.” (HR. Muslim no. 690)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَتَّكِئُ فِي حِجْرِيْ وَأَنَا حَائِضٌ، فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertelekan (bersandar) di pangkuanku sambil membaca al-Qur’an, padahal aku sedang haid.” (HR. al-Bukhari no. 297 dan Muslim no. 691)
Tidur satu selimut dengan istri yang sedang haid.
Maimunah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , memberitakan,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَنْضَجِعُ مَعِي وَأَنَا حَائِضٌ وَبَيْنِي وَبَيْنَهُ ثَوْبٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbaring bersamaku dalam keadaan aku sedang haid, antara aku dan beliau ada kain.” (HR. Muslim no. 680)
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menceritakan,
بَيْنَمَا أَنَا مُضْطَجِعَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فِي الْخَمِيْلَةِ إِذْ حِضْتُ، فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضَتِي. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : أَنُفِسْتِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ فَدَعَانِي فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِي الْخَمِيْلَةِ
Ketika sedang berbaring bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu selimut, tiba-tiba aku tertimpa haid. Diam-diam aku keluar dari selimut lalu memakai pakaian haidku.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apakah kamu sedang haid?”
“Ya,” jawabku.
Beliau lalu memanggilku, maka aku kembali berbaring bersama beliau dalam satu selimut. (HR. Muslim no. 681)
Demikian yang diperbuat oleh seorang Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin rumah tangga.
Kita dapati petikan kisah beliau dengan keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara itu, kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.
لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab:21)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] HR. at-Tirmidzi no. 3895, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 285
[2] Dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Ghayatul Maram no. 377