(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Siapa yang tak berbahagia menanti hari pertemuan dengan calon teman hidup yang telah dipilih. Saat dijalinnya ijab qabul di hari pernikahan nan bahagia. Serasa hati berbunga-bunga ibarat taman yang sarat dengan kembang bermekaran. Tersimpanlah sejuta asa kan merajut hari-hari nan indah, menjalin benang-benang cinta, mewujudkan mahligai yang penuh sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tersembul ikrar dalam kalbu kan membahagiakan pasangan yang terkasih.
Kemudian, dilaluilah hari-hari setelah perjanjian suci di hadapan Allah l dan para hamba-Nya yang menjadi saksi.
Bulan-bulan pascapernikahan lewatlah sudah. Namun kemanakah semua impian itu? Mana kebahagiaan yang didamba?
Seiring dengan berjalannya waktu muncullah perasaan kecewa dan bisa jadi ada sesal. Muncul tanya di dada sang suami, “Kok, istriku seperti ini? Suka bikin kesal. Nggak pandai berperan sebagai istri…”
Si istri pun penuh tanya, “Ternyata suamiku tak seperti yang kubayangkan dan kuimpikan. Ternyata dia cuma seperti ini. Suka marah, emosional, terlalu banyak tuntutan, dan sebagainya, dan sebagainya.”
Atau muncul pernyataan, “Aduh… Ternyata begini ya rasanya berumah tangga, tak seindah dalam bayangan…”
Ya… Selain ada yang menemukan kebahagiaannya dengan menikah dan hidup bersama pasangannya, ada pula yang mengalami kekecewaan. Yang kecewa dalam kehidupan rumah tangganya bisa jadi rumah tangganya tetap bertahan namun dengan impitan rasa tak nyaman. Ada pula yang berujung dengan perceraian.
Lalu, kenapa semua itu bisa terjadi?
Siapakah yang bersalah dalam hal ini, si suami kah atau si istri, ataukah kedua-duanya?
Ya… Kesalahan bisa datang dari pihak mana saja. Namun yang perlu ditinjau ulang sebagai pelajaran bagi yang belum melangkah, bagaimanakah cara si lelaki menjatuhkan pilihan kepada wanita yang hendak diperistrinya? Begitu pula si wanita. Apakah mereka mendahulukan sisi agama pasangan hidupnya? Yakni, wanita yang dipilihnya adalah wanita shalihah, karena seperti kata Rasulullah n:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتاَعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu perhiasan1 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 3638 dari Abdullah ibnu Amr ibnul ‘Ash c)
Rasul n pun telah memberi bimbingan:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya (nasabnya), kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah wanita yang memiliki agama. (Bila tidak,) taribat yadak (celaka kedua tanganmu)2.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah z)
Apakah si wanita juga telah tepat menerima pinangan yang ditujukan kepadanya? Adakah lelaki itu seorang yang shalih, bagus agamanya dan baik akhlaknya? Karena kriteria lelaki seperti inilah yang tak pantas ditolak bila si wanita merasa ada kecocokan. Bila tidak, maka akan terjadi seperti kata Rasulullah n yang ditujukan kepada para wali wanita:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوْا تَكُنْ فِتْنَةٌ فيِ الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيْضٌ
“Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya meminang wanita kalian kepada kalian, maka nikahkanlah dia (dengan wanita kalian). Kalau tidak kalian lakukan niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang merata.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084 dari Abu Hurairah z, dihasankan dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022 dan Al-Misykat no. 2579)
Bila keshalihan pasangan memang merupakan pilihan saat memasuki jenjang pernikahan, artinya si lelaki telah memilih wanita yang menurutnya shalihah sebagai istrinya dan si wanita telah memilih lelaki yang dipandangnya shalih sebagai pasangannya sehingga menikahlah lelaki yang shalih dan wanita yang shalihah tersebut, tapi kok tetap menyisakan kekecewaan dalam menjalani hari-hari setelah lewat masa pengantin baru; dan tetap ada empasan gelombang saat mengayuh bahtera rumah tangga; bagaimanakah dengan kenyataan ini?
Pertama, kita ingatkan agar seorang wanita ataupun seorang lelaki yang ingin melangkah memasuki kehidupan baru, agar tidak mengangankan terlalu muluk tentang pasangannya. Membayangkan calon istrinya seperti bidadari surga yang sempurna, atau calon suaminya seperti malaikat yang mulia.
Mengimpikan seluruh perangai kebaikan terkumpul pada sang calon hanya akan berujung kekecewaan. Karena seperti kata pepatah: tak ada gading yang tak retak; tak ada manusia yang sempurna. Rasulullah n pernah bersabda:
إِنَّمَا النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لاَ تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً
“Manusia itu hanyalah seperti seratus ekor unta, hampir-hampir dari seratus ekor tersebut engkau tidak dapatkan satu ekor pun yang bagus untuk ditunggangi.” (HR. Al-Bukhari no. 6498 dan Muslim no. 2547)
Maksud hadits di atas, kata Al-Imam Al-Khaththabi t, “Mayoritas manusia itu memiliki kekurangan. Adapun orang yang punya keutamaan dan kelebihan jumlahnya sedikit sekali. Maka mereka yang sedikit itu seperti keberadaan unta yang bagus untuk ditunggangi dari sekian unta pengangkut beban.” (Fathul Bari, 11/343)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan, “Orang yang diridhai keadaannya dari kalangan manusia, yang sempurna sifat-sifatnya, indah dipandang mata, kuat menanggung beban (itu sedikit jumlahnya).” (Syarhu Shahih Muslim, 16/101)
Ibnu Baththal t juga menyatakan yang serupa tentang makna hadits di atas, “Manusia itu jumlahnya banyak, namun yang disenangi dari mereka jumlahnya sedikit.” (Fathul Bari, 11/343)
Oleh karena itu, hendaknya seorang suami atau seorang istri menyadari bahwa ia menikah dengan anak manusia. Sebagaimana ia manusia yang punya banyak kekurangan maka demikian pula teman hidupnya. Selama masalahnya bukan sesuatu yang prinsip, maka hendaknya masing-masingnya bersabar dengan apa yang dijumpai dari kekurangan pasangannya.
Kedua, jangan membayangkan rumah tangga itu tanpa problema, karena rumah tangga tanpa problema hanya ada di surga kelak. Adapun rumah tangga di dunia pasti ada kisah suka dukanya, kisah lapang dan sempitnya, cerita penuh tawa dan sekaligus derai air mata. Maka persiapkan diri untuk menghadapi kehidupan orang dewasa. Senang susah sama ditanggung, suka duka jadikan ibarat bumbu dalam pernikahan.
Ketiga, kurangnya bekal ilmu dalam menghadapi pernikahan juga menjadi sebab munculnya berbagai masalah rumah tangga dan tumpukan kekecewaan di belakang hari. Seorang istri tidak tahu apa saja hak suami yang harus ditunaikannya. Dia tidak paham bagaimana kadar dan tingginya kedudukan suami atas dirinya. Sebaliknya, seorang suami tidak mengerti kewajibannya sebagai seorang qawwam (pemimpin) dalam rumah tangga. Tidak menaruh perhatian terhadap hak-hak istri. Singkat kata, mereka tidak paham tuntutan Islam dan bimbingan Rasul n dalam hidup berkeluarga. Sehingga hasungan berilmu sebelum beramal perlu menjadi perhatian. Semangat mencari dan belajar ilmu syar’i perlu ditumbuhsuburkan di tengah keluarga. Suami harus cinta kepada ilmu dan mengupayakan agar istrinya pun cinta kepada ilmu. Suami istri perlu membaca bagaimana kehidupan rumah tangga Rasul n yang termaktub dalam kitab-kitab ilmu. Bagaimana sosok Rasul n sebagai suami teladan dan indahnya pergaulan dalam rumah tangga beliau. Termasuk yang perlu diketahui oleh pasangan suami istri adalah hadits-hadits nabawiyyah yang harum semerbak tentang pergaulan suami istri. Sebagiannya telah kami bawakan dalam lembar ini pada edisi yang lalu, dan kami janjikan untuk membawakan yang tersisa dalam edisi ini. Semoga mutiara hikmah Nabawiyyah ini bisa menjadi pelajaran berharga dalam menjalani hari-hari hidup berkeluarga.
Berikut ini hadits-haditsnya:
• Mu’awiyah bin Haidah z berkata: Aku pernah bertanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Rasulullah n menjawab, “Engkau beri makan istrimu jika engkau makan dan engkau beri pakaian jika engkau berpakaian. Jangan engkau pukul wajahnya, jangan engkau menjelekkannya3, dan jangan menghajr/memboikotnya kecuali dalam rumah4.” (HR. Abu Dawud no. 2142, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
• Abu Hurairah z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya5.” (HR. At-Tirmidzi no. 1172, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad 2/336-337, dan Asy-Syaikh Albani t dalam Ash-Shahihah no. 284)
• Aisyah x berkata:
قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ n مِنْ غَزْوَةِ تَبُوْكٍ أَوْ خَيْبَرٍ، وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَتِ الرِّيْحُ، فَكَشَفَتْ نَاحِيَةُ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ، فَقَالَ: مَا هذَا يَا عَائِشَةُ؟ قَالَتْ: بَناَتِي. وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسٌ لَهُ جَنَاحاَنِ مِنْ رِقَاعٍ، فَقَالَ: مَا هذَا الَّذِي وَسَطَهُنَّ؟ قَالَتْ: فَرَسٌ. قَالَ: وَمَا هذَا الَّذِي عَلَيْهِ؟ قَالَتْ: جَنَاحاَنِ. قَالَ: فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ؟ قَالَتْ: أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلاً لهَاَ أَجْنِحَةٌ؟ قَالَتْ: فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَه.
Rasulullah n datang dari perang Tabuk atau Khaibar. Ketika itu rak milik Aisyah ditutupi tirai, lalu berembuslah angin hingga tersingkap satu sisi dari tirai penutup tersebut menampakkan anak-anakan (boneka mainan) milik Aisyah. Rasulullah n pun bertanya, “Apa ini, ya Aisyah?” “Anak-anakan milikku,” jawab Aisyah. Di antara mainan tersebut, Rasulullah melihat ada seekor kuda dengan dua sayapnya dari kain perca, beliau bertanya, “Boneka apa yang ada di tengah-tengah boneka yang lain ini?” “Kuda”, jawab Aisyah. “Lalu apa yang menempel pada dua sisi tubuhnya,” tanya Rasulullah. “Dua sayap,” jawab Aisyah. “Seekor kuda memiliki dua sayap?” tanya Rasulullah. “Tidakkah anda pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman memiliki kuda yang bersayap?” jawab Aisyah. Rasulullah tertawa sampai aku melihat geraham beliau. (HR. Abu Dawud no. 4932, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Adabuz Zafaf hal. 275)
• Rasulullah n bersabda kepada Umar ibnul Khaththab z:
أَلَا أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki? Yaitu, istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya6, bila diperintah7 akan menaatinya8, dan bila ia pergi si istri akan menjaga dirinya untuk suaminya.” (HR. Abu Dawud no. 1417, dishahihkan menurut syarat Muslim dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57)
• Rasulullah n bersabda:
أََلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَاءِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anaknya, dan selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata, ‘Aku tak dapat memejamkan mata sampai engkau ridha’.” (HR. An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’ no. 257, lihat Ash-Shahihah no. 287)
• Umar ibnul Khaththab z bertanya kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau menjawab:
لِيَتَّخِذَ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir dan istri mukminah yang membantunya dalam perkara akhiratnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah)
• Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهاَ وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لهَاَ: ادْخُلِي الْجَنَّّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, “Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang engkau inginkan.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Al-Albani t dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)
• Iyas bin Abdillah ibnu Abi Dzubab z mengabarkan Rasulullah n bersabda:
لاَ تَضْرِبُوْا إِمَاءَ اللهِ. فَجَاءَ عُمَرُ z إِلَى رَسُوْلِ اللهِ n فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ. فَرَخَصَ فيِ ضَرْبِهِنَّ فَطَافَ بِآلِ رَسُوْلِ اللهِ n نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: وَلَقَدْ طَافَ بِآلِ رَسُوْلِ اللهِ n نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ، لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.” Datanglah Umar z menemui Rasulullah n seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh para istri telah berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.”
Maka beliau memberi rukhshah/keringanan bolehnya memukul para istri. Kemudian berkelilinglah banyak wanita di sekitar keluarga Rasulullah n mengadukan (kekerasan) suami-suami mereka. Bersabdalah Rasulullah n, “Sungguh banyak wanita yang berkeliling di keluarga Rasulullah n guna mengadukan suami-suami mereka. Suami-suami yang diadukan itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian9.” (HR. Abu Dawud no. 2145, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
• Abu Hurairah z berkata: Rasulullah n bersabda:
رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قاَمَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْماَءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Semoga Allah merahmati seorang suami yang bangun di waktu malam lalu ia mengerjakan shalat dan membangunkan istrinya (agar turut mengerjakan shalat). Bila istrinya enggan untuk bangun, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Dan semoga Allah merahmati seorang istri. yang bangun di waktu malam, lalu ia mengerjakan shalat dan membangunkan suaminya (agar turut mengerjakan shalat). Bila suaminya enggan untuk bangun, ia memercikkan air ke wajah suaminya10.” (HR. Abu Dawud no. 1308, dihasankan pula dalam Ash-Shahihul Musnad, 2/303)
• Asma’ bintu Yazid Al-Anshariyyah x mengabarkan bahwa Rasulullah n pernah bersabda kepada sekumpulan wanita:
إِيَّاكُنَّ وَكُفْرَ الْمُنْعِمِيْنَ. وَكُنْتُ مِنْ أَجْرَئِهِنَّ عَلَى مَسْأَلَتِهِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا كُفْرُ الْمُنْعِمِيْنَ؟ قاَلَ: لَعَلَّ إِحْدَاكُنَّ تَطُوْلُ أَيْمَتُهَا مِنْ أَبَوَيْهِ ثُمَّ يَرْزُقُهَا اللهُ زَوْجًا وَيَرْزُقُهَا مِنْهُ وَلَدًا. فَتَغْضَبُ الْغَضْبَةَ فَتَكْفُرُ فَتَقُوْلُ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Hati-hati kalian dari mengkufuri orang yang memberi kenikmatan/kebaikan kepada kalian (yaitu suami)11.” Dan aku (Asma’) adalah orang yang paling berani bertanya kepada Rasulullah di antara para wanita yang ada di situ. Aku tanyakan, “Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan mengkufuri orang yang memberikan nikmat?” Beliau menjawab, “Mungkin salah seorang dari kalian melewati masa kesendiriannya12 yang panjang di sisi kedua orangtuanya. Kemudian Allah memberikan rezeki kepadanya berupa seorang suami, lalu dari suami tersebut Allah anugerahkan kepadanya seorang anak. Suatu ketika ia marah kepada suaminya lalu ia mengingkari kebaikan suaminya dengan menyatakan, ‘Aku sama sekali tidak pernah melihat kebaikan darimu13’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 1047, dishahihkan dalam Shahih Al-Adabil Mufrad karya Asy-Syaikh Al-Albani t dan dalam Ash-Shahihah no. 823)
• Rasulullah n bersabda:
لاَ يْنُظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasa’i dalam Isyratun Nisa’. Lihat Ash-Shahihah no. 289)
• Mu’adz bin Jabal z berkata: Rasulullah n bersabda:
لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجُهَا مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ: لاَ تُؤْذِيْهِ، قَتَلَكِ اللهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istri suaminya dari kalangan hurun ‘in14 akan mengatakan, ‘Jangan engkau sakiti dirinya, qatalakillah!15 Karena dia cuma tamu di sisimu dan sekadar singgah, hampir-hampir ia akan berpisah denganmu untuk bertemu kami’.” (HR. At-Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 204, dishahihkan dalam Shahih At-Tirmidzi)
• Tatkala Mu’adz bin Jabal z datang dari Syam, ia bersujud kepada Nabi n, maka beliau n bertanya mengingkari:
مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَيْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقَفَتِهِمْ وَبَطَارقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: فَلاَ تَفْعَلُوْا، فَلَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحُمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ يَمْنَعْهُ
“Apa yang kau lakukan ini, wahai Muadz?” Muadz menjawab, “Aku mendatangi negeri Syam, aku dapati mereka sujud kepada uskup dan panglima mereka. Maka aku berkeinginan dalam jiwaku untuk melakukan hal tersebut kepadamu.” Rasulullah pun berkata, “Jangan kalian lakukan yang seperti itu. Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat memenuhi hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Sampai-sampai seandainya suami meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) ia tidak boleh menolaknya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad 4/381, dishahihkan dalam Ash-Shahihul Jami’ 5295, Al-Irwa’ no. 1998, dan dalam Ash-Shahihah no. 3366)
• Anas bin Malik z menyampaikan bahwa Rasulullah n bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشٍر أَنْ يَسْجُدَ لِبَشٍر وَلَوْ صَلَحَ لِبَشٍر أَنْ يَسْجُدَ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحِسَتْهُ، مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Tidak pantas seorang manusia sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas seorang manusia sujud kepada yang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya haknya suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada telapak kaki suaminya sampai ke belahan rambutnya ada luka yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadapi luka-luka tersebut lalu mengelapnya (dengan tangan atau dengan lidah), niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad 3/159, dishahihkan Al-Haitsami 4/9, Al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il 137. Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad 10/513, cet. Darul Hadits, Al-Qahirah)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Tempat untuk bersenang-senang. (Syarh Sunan An-Nasa’i, Al-Imam As-Sindi, 6/69)
2 Pendapat yang paling tepat dan paling kuat yang dipegangi para muhaqqiq tentang maknanya adalah kalimat ini asal maknanya: Engkau menjadi fakir. Orang Arab terbiasa menggunakannya namun tidak memaksudkan hakikat maknanya yang asli. Mereka menyatakan taribat yadak, qatalahullahu, laa umma lahu, laa aba laka, tsakilathu ummuh, wailun ummuhu dan lafadz-lafadz sejenis, mereka ucapkan ketika mengingkari sesuatu, mencerca, mencaci, atau membesarkannya, atau menekankan pada sesuatu tersebut atau untuk menyatakan keheranan/kekaguman. Wallahu a’lam. (Al-Minhaj, 2/212)
3 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan kepadanya, “Semoga Allah menjelekkanmu,” atau ucapan semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar’ah ‘ala Zaujiha)
4 Memboikot istri dilakukan ketika istri tidak mempan dinasihati atas kemaksiatan yang dilakukannya sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
“Dan istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya maka berilah mau’izhah kepada mereka, hajr/boikotlah mereka di tempat tidur…..” (An-Nisa’: 34)
Pemboikotan ini bisa dilakukan di dalam atau di luar rumah, seperti yang ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik ztentang Rasulullah n yang meng-ila’ istrinya (bersumpah untuk tidak mendatangi istri-istrinya) selama sebulan. Selama itu, beliau tinggal di masyrabahnya (kamar tinggi yang untuk menaikinya perlu tangga). (HR. Al-Bukhari)
Hal ini tentunya melihat keadaan. Bila memang diperlukan boikot di luar rumah maka dilakukan, namun bila tidak maka cukup di dalam rumah. Bisa jadi boikot dalam rumah lebih mengena dan lebih menyiksa perasaan si istri daripada boikot di luar rumah. Namun bisa juga sebaliknya. Akan tetapi yang dominan boikot di luar rumah lebih menyiksa jiwa, khususnya bila yang menghadapinya kaum wanita, karena lemahnya jiwa mereka. (Fathul Bari, 9/374)
5 Nabi n menyatakan: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya”, karena para wanita/istri adalah makhluk Allah l yang lemah sehingga sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/273)
Al-Imam An-Nawawi t berkata berkenaan dengan kisah Rasulullah n meng-ila’ istri-istrinya, “Suami berhak meng-hajr istrinya dan memisahkan dirinya dari istrinya ke rumah lain, apabila ada sebab yang bersumber dari si istri.” (Al-Minhaj, 10/334)
6 Karena keindahan dan kecantikannya secara zhahir, atau karena akhlaknya yang bagus secara batin, atau karena si istri senantiasa menyibukkan dirinya untuk taat dan bertakwa kepada Allah l. (Ta’liq Sunan Ibnu Majah, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kitabun Nikah, bab Afdhalun Nisa’, 1/596, ‘Aunul Ma’bud 5/56)
7 Untuk melakukan urusan yang syar’i atau yang biasa. (Aunul Ma’bud 5/56)
8 Mengerjakan apa yang diperintahkan dan melayaninya. (Aunul Ma’bud 5/56)
9 Mereka bukanlah orang yang terbaik, karena suami yang terbaik tidak akan memukul istrinya. Bahkan ia bersabar dengan kekurangan yang ada pada istrinya. Kalaupun ia ingin memberi pukulan ‘pendidikan’ kepada istrinya, ia tidak akan memukulnya dengan keras yang akan membuat si istri mengadu/mengeluh. (Aunul Ma’bud, kitab An-Nikah, bab fi Dharbin Nisa’)
10 Al-Allamah Al-‘Azhim Abadi t menyatakan bahwa Allah l merahmati seorang lelaki yang shalat tahajjud pada sebagian malam dan ia membangunkan istrinya, baik dengan peringatan ataupun nasihat hingga si istri pun mengerjakan shalat walau hanya satu rakaat. Bila istrinya enggan bangun karena kantuk yang sangat atau perasaan malas yang lebih dominan, ia memercikkan air ke wajah istrinya. Sekadar memercikkan sebagai isyarat ia berlaku lembut kepada istrinya dan berusaha membangunkannya untuk mengerjakan amalan ketaatan kepada Rabbnya selama memungkinkan karena Allah l berfirman:
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (Al-Maidah: 2)
Hadits ini menunjukkan bolehnya, bahkan disenangi, memaksa seseorang untuk beramal kebaikan. Sebagaimana hadits ini menerangkan tentang pergaulan yang baik antara suami dengan istrinya, kelembutan yang sempurna, kesesuaian, kecocokan, dan kesepakatan di antara keduanya. (Aunul Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab Al-Hatstsu ‘ala Qiyamil Lail)
11 Suami disebut mun’im karena banyaknya kenikmatan yang diberikannya kepada istrinya. (Syarh Shahih Al-Adabil Mufrad, 3/175)
12 Sendiri tanpa ada suami, baik dalam status sebagai gadis ataupun janda.
13 Si istri ini mengingkari kenikmatan yang telah diberikan suaminya kepadanya padahal dengan suami tersebut ia terjaga kehormatannya, terpelihara dirinya dan mendapatkan berbagai kenikmatan lainnya.
Hadits ini menunjukkan keutamaan seorang suami dan wajibnya mensyukuri kenikmatan yang Allah berikan, termasuk anugerahnya berupa suami sebagai teman hidup. Sebagaimana hadits ini menunjukkan keadaan wanita/istri dan perilakunya ketika marah. Hadits ini juga mengandung peringatan agar tidak mengkufuri nikmat Allah l. (Syarh Shahih Al-Adabil Mufrad, 3/176)
14 Al-hur adalah jamak dari al-haur, yaitu wanita-wanita penduduk surga yang lebar matanya, bagian yang putih dari matanya sangat putih dan bola matanya sangat hitam. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283-284)
15 Artinya: Semoga Allah l membunuhmu, melaknat atau memusuhimu. Namun maknanya untuk menyatakan keheranan, dan bukan dimaksudkan agar perkara tersebut terjadi.