Hukum Sutera

Sebagaimana telah disinggung di atas, sutra dihalalkan untuk dipakai oleh wanita. Karena itulah, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah melihat Ummu Kultsum, putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenakan pakaian sutra yang bergaris-garis. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5842)

‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberiku pakaian dari sutra bergaris, aku pun keluar mengenakannya. Ketika Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, tampaklah kemarahan di wajah beliau. Aku pun membagi-bagikan pakaian sutra tersebut di antara wanita-wanitaku.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5840 dan Muslim)

Ali radhiallahu ‘anhu memotong sutra tersebut hingga dapat digunakan sebagai kerudung lalu membagi-bagikannya kepada Fathimah radhiallahu ‘anha, istrinya, Fathimah bintu Asad bin Hasyim, ibunya, dan Fathimah bintu Hamzah bin Abdil Muththalib, sepupunya. (Fathul Bari, 10/310)

Dua hadits di atas ditempatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam bab yang beliau beri judul “Sutra untuk Wanita”. Sementara itu, laki-laki dilarang memakai sutra terkecuali apabila ada uzur, sebagaimana yang diberitakan Anas bin Malik, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada az-Zubair dan Abdurrahman untuk memakai sutra karena penyakit kudis yang diderita oleh keduanya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5839)

Ath-Thabari rahimahullah berkata, sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari (10/308), “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan memakai sutra (bagi laki-laki) dikecualikan pada orang yang memiliki penyakit yang dapat diringankan dengan memakai sutra.”