Hukum Mengucapkan Salam kepada Lawan Jenis

Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberitakan, “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ‘Perangai Islam yang manakah yang paling baik?’ Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِفْ

“Engkau memberi makan (kepada orang yang membutuhkan, pent.) serta mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. al-Bukhari no. 6236 dan Muslim no. 159) Pada kesempatan lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan terhadap satu amalan yang apabila kalian mengerjakannya, kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 192)

Dalam dua hadits di atas terdapat anjuran yang besar untuk menyebarkan salam kepada kaum muslimin seluruhnya, yang dikenal ataupun yang tidak. Salam merupakan syiar kaum muslimin yang membedakan mereka dengan nonmuslim. Salam merupakan sebab awal tumbuhnya kedekatan hati dan kunci yang mengundang rasa cinta. Menyebarkannya berarti menumbuhkan kedekatan hati di antara kaum muslimin, selain untuk menampakkan syiar mereka yang berbeda dengan orang-orang selain mereka. (al-Minhaj 2/224—225, Syarhu Riyadhish Shalihin karya Ibnu Utsaimin rahimahullah, 3/6)

Mengucapkan Salam kepada yang Bukan Mahram

Apabila salam terucap dari seorang lelaki kepada lelaki lain atau sesama wanita, atau lelaki kepada wanita yang merupakan mahramnya dan sebaliknya, wanita mengucapkan salam kepada lelaki dari kalangan mahramnya, tidaklah menjadi masalah. Bahkan, mereka dianjurkan untuk mengamalkan dua hadits di atas. Yang menjadi pertanyaan, bolehkah laki-laki mengucapkan salam kepada lawan jenis, yakni wanita ajnabi (bukan mahram), dan sebaliknya? Untuk menjawabnya, mari kita baca hadits-hadits berikut ini.

  1. Hadits Sahl radhiallahu anhu

Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari bapaknya, dari Sahl radhiallahu anhu. Sahl radhiallahu anhu berkata,

كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. قُلْتُ لِسَهْلٍ: وَلِمَ؟ قَالَ: كَانَتْ لَنَا عَجُوْزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ -نَخْلِ بِالْمَدِيْنَةِ– فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلْقِ فَتَطْرُحُهُ فِي قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ, فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا, فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا, فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ, وَمَا كُنَّا نَقِيْلُ وَلاَ نَتَغَدَّى إِلاَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami merasa senang pada hari Jumat.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada Sahl, “Mengapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua. Ia mengirim orang ke Budha’ah—sebuah kebun di Madinah—lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, -pent.) dan dia masukkan ke dalam bejana (yang berisi air, pent.) lalu memasaknya sampai matang. Kemudian, ia mengadon biji-bijian dari gandum. Setelah kami selesai dari shalat Jumat, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan salam kepadanya. Ia lalu menghidangkan masakan tersebut kepada kami. Kami pun bergembira karenanya[1]. Kami tidak tidur siang dan tidak makan siang kecuali setelah Jumatan.” (HR. al-Bukhari no. 6248)

  1. Hadits Aisyah radhiallahu anha

Aisyah radhiallahu anha berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا عَائِشَةَ، هَذا جِبْرِيْلُ يَقْرَأُ عَلَيْكِ السَّلاَمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: وَعَلَيْهِ السَّلاَمَ وَرَحْمَةُ اللهِ, تَرَى مَا لاَ نَرَى

“Wahai Aisyah, ini Jibril. Ia mengirim salam untukmu[2].” Aisyah menjawab, “Wa alaihis salam wa rahmatullah.[3] Engkau (wahai Rasulullah) dapat melihat apa yang tidak kami lihat[4].” (HR. al-Bukhari no. 6249 dan Muslim no. 6251) Imam al-Bukhari rahimahullah memberikan judul terhadap dua hadits di atas: “Bab Taslimur Rijal ‘alan Nisa` wan Nisa` ‘alar Rijal”. Artinya, laki-laki mengucapkan salam kepada wanita dan wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.

  1. Hadits Ummu Hani radhiallahu anha

Ummu Hani Fakhitah bintu Abi Thalib radhiallahu anha, saudara kandung Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu, mengabarkan, “Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah. Ketika itu, beliau sedang mandi. Sementara itu, putri beliau, Fathimah radhiallahu anha menutupi beliau dengan kain[5]. Aku mengucapkan salam kepada beliau[6]. Beliau pun bertanya, “Siapa yang datang ini?” “Saya Ummu Hani bintu Abi Thalib,” jawabku. “Marhaban Ummu Hani,” sambut beliau. (HR. al-Bukhari no. 357 dan Muslim no. 1666)

  1. Hadits Asma bintu Yazid radhiallahu anha

Asma bintu Yazid radhiallahu anha menyampaikan,

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمًا وَعُصْبَةٌ مِنَ النِّسَاءِ قُعُوْدٌ، فَأَلْوَى بِيَدِهِ بِالتَّسْلِيْمِ

“Suatu hari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lewat di masjid dan sekumpulan wanita sedang duduk. Beliau pun melambaikan tangan sebagai pengucapan salam.”[7] (HR. at-Tirmidzi no. 2697, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi)

  1. Kisah Abdullah ibnu az-Zubair radhiallahu anhuma dengan Aisyah radhiallahu anha

Abdullah ibnu az-Zubair berkata mengomentari jual beli atau pemberian yang diberikan oleh bibinya, Aisyah bintu Abi Bakr radhiallahu anha[8], “Demi Allah! Aisyah harus berhenti dari apa yang dia lakukan[9] atau aku sungguh akan memboikotnya.” Ucapan Abdullah ibnu az-Zubair ini disampaikan kepada Aisyah. Aisyah berkata berkata, “Apa benar Ibnu az-Zubair (Abdullah) berkata demikian?” “Ya,” jawab mereka. “Kalau begitu, demi Allah! Aku bernazar tidak akan mengajak bicara Ibnu az-Zubair selama-lamanya,” kata Aisyah dengan kesal. Ketika sudah lama Aisyah mendiamkannya, Ibnu az-Zubair meminta bantuan kepada orang lain untuk menjadi perantara agar mengislah antara dia dan bibinya. Namun, Aisyah menolaknya, “Tidak, demi Allah! Aku tidak akan menerima seorang pun yang menjadi perantaranya agar aku kembali mengajaknya bicara. Aku tidak akan melanggar nazarku.” Tatkala panjang lagi keadaan seperti itu bagi Ibnu az-Zubair, ia pun mengajak bicara al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin Abdi Yaghuts, keduanya dari Bani Zuhrah.[10] Ibnu az-Zubair berkata kepada keduanya, “Aku meminta kepada kalian berdua dengan nama Allah agar kalian berdua memasukkan aku ke tempat Aisyah (hingga dapat bertemu muka dengannya). Sebab, tidak halal baginya bernazar memutuskan hubungan denganku.”

Baca juga: Makna Menyambung Silaturahim akan Memanjangkan Umur

Al-Miswar dan Abdurrahman pun datang ke rumah Aisyah dalam keadaan menyelubungi tubuh mereka dengan rida. Bersama mereka berdua ada Ibnu az-Zubair. Mereka meminta izin masuk ke rumah Aisyah. Keduanya mengucapkan salam kepada Aisyah, “Assalamu alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh. Bolehkah kami masuk?” tanya mereka. (Setelah menjawab salam mereka) Aisyah berkata mempersilakan mereka (dari balik hijab), “Masuklah kalian.” “Kami semuanya?” tanya mereka. “Ya, kalian semua silakan masuk,” sahut Aisyah. Aisyah tidak tahu kalau di antara keduanya ada Ibnu az-Zubair. Ketika mereka sudah masuk ke kediaman Aisyah, Ibnu az-Zubair masuk ke balik hijab untuk bertemu muka dengan bibinya (Al-Miswar dan Abdurrahman tetap di balik hijab karena mereka bukanlah mahram Aisyah). Lalu ia merangkul Aisyah dan mulai meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau berbicara lagi dengannya dan ia menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman juga mulai angkat suara meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau mengajak bicara keponakannya dan menerima maafnya. Keduanya berkata, “Sebagaimana yang telah Anda ketahui, Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang hajr seperti yang Anda lakukan ini. Beliau bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga malam’.” Tatkala mereka terus-menerus mengingatkan Aisyah akan keutamaan menyambung silaturahim, memaafkan, dan menahan marah, serta dosa memutuskan silaturahim, mulailah Aisyah berbicara kepada keduanya dalam keadaan menangis. Aisyah berkata, “Aku telah bernazar. Nazar itu perkaranya berat.” Namun, terus-menerus keduanya memohon kepada Aisyah hingga akhirnya Aisyah mau berbicara dengan Ibnu az-Zubair. Untuk menebus nazarnya, ia membebaskan empat puluh orang budak. Apabila ia mengingat nazarnya setelah itu, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.” (HR. al-Bukhari no. 6073, 6074, 6075)

Penjelasan Ulama tentang Mengucapkan Salam kepada Lawan Jenis

  1. Imam al-Qurthubi rahimahullah

“Mengucapkan salam kepada para wanita hukumnya dibolehkan. Namun, tidak dibolehkan apabila wanita itu masih muda karena dikhawatirkan timbul fitnah ketika berbicara dengan mereka dengan adanya bujuk rayu setan atau pandangan mata yang khianat (lirikan mata yang diharamkan). Apabila wanita itu sudah lanjut usia, adalah bagus mengucapkan salam kepada mereka karena aman dari fitnah. Ini merupakan pendapat Atha dan Qatadah dan dipegangi oleh Imam Malik serta sekelompok ulama rahimahumullah.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 5/195)

  1. Imam an-Nawawi rahimahullah

“Seorang lelaki ajnabi boleh mengucapkan salam kepada wanita ajnabiah (nonmahram) apabila jumlah wanita tersebut lebih dari satu (sekelompok wanita). Apabila wanita tersebut hanya seorang diri, yang boleh mengucapkan salam kepadanya adalah sesama wanita, suaminya, tuannya (apabila si wanita berstatus budak), dan mahramnya, apakah si wanita itu cantik ataupun tidak cantik. Adapun lelaki ajnabi memberikan salam, ada perincian.

  • Apabila si wanita sudah tua dan tidak mendatangkan selera lelaki terhadapnya, disenangi bagi lelaki ajnabi untuk mengucapkan salam kepadanya. Demikian pula sebaliknya, disenangi bagi si wanita untuk mengucapkan salam kepada lelaki tersebut. Siapa di antara keduanya yang mengucapkan salam terlebih dahulu, yang satunya wajib menjawabnya.
  • Apabila wanita itu masih muda atau sudah tua tetapi masih mengundang hasrat, lelaki ajnabi tidak boleh mengucapkan salam kepadanya. Sebaliknya, si wanita pun demikian. Siapa di antara keduanya mengucapkan salam kepada yang lain (baik si lelaki atau si wanita), ia tidak berhak mendapatkan jawaban dan dibenci membalas salam tersebut. Ini merupakan mazhab kami dan mazhab jumhur.

Rabi’ah berkata bahwa laki-laki tidak boleh mengucapkan salam kepada wanita (ajnabiah) dan sebaliknya, wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki (ajnabi). Namun, ini adalah pendapat yang keliru. Ulama Kufah berkata bahwa tidak boleh laki-laki mengucapkan salam kepada wanita apabila tidak ada mahram si wanita di situ. Wallahu a’lam.” (al-Minhaj, 14/374)

  1. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah

“Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita atau sebaliknya[11] apabila aman dari fitnah. Al-Halimi berkata, ‘Nabi shallallahu alaihi wa sallam aman dari fitnah karena beliau maksum (terjaga dari berbuat dosa). Maka dari itu, siapa yang meyakini bahwa dirinya dapat selamat dari fitnah, silakan ia mengucapkan salam (kepada lawan jenisnya, -pent.). Jika tidak demikian, diam lebih selamat.’ Ibnu Baththal berkata menukil dari al-Muhallab, ‘Salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, hukumnya dibolehkan apabila aman dari fitnah. Pengikut mazhab Maliki membedakan wanita yang masih muda dan yang sudah tua dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan[12]. Adapun Rabi’ah melarang secara mutlak. Ulama Kufah mengatakan bahwa tidak disyariatkan bagi wanita untuk memulai mengucapkan salam kepada laki-laki karena mereka dilarang mengumandangkan azan, iqamat, dan mengeraskan bacaan dalam shalat. Dikecualikan dalam hal ini apabila laki-laki tersebut adalah mahram si wanita, dia boleh mengucapkan salam kepada mahramnya’.”

 Baca juga: Arti Salam bagi Seorang Muslim

Al-Hafizh rahimahullah berkata lagi menukil ucapan al-Mutawalli, “Apabila seorang lelaki mengucapkan salam kepada istrinya, wanita dari kalangan mahramnya, atau budak perempuannya, hukumnya sama dengan seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lain. Namun, apabila si wanita adalah ajnabiah (nonmahram), ini perlu ditinjau dahulu. Kalau si wanita berparas cantik dan dikhawatirkan laki-laki akan terfitnah dengannya, tidak disyariatkan memulai mengucapkan salam kepadanya ataupun menjawab salamnya. Apabila salah seorang dari mereka (si laki-laki atau si wanita) mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yang lain, makruh menjawabnya. Namun, kalau si wanita sudah tua sehingga laki-laki tidak akan terfitnah dengannya, boleh mengucapkan salam kepadanya.” Apabila berkumpul dalam satu majelis sejumlah laki-laki dan sejumlah wanita, boleh bagi kedua belah pihak mengucapkan salam apabila memang aman dari fitnah. (Fathul Bari, 11/41, 42—43) Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah memberikan keterangan, “Mengucapkan salam kepada wanita yang merupakan mahram adalah sunnah. Sama saja, baik itu istri, saudara perempuan, bibi, maupun keponakan perempuan. Adapun wanita ajnabiah, tidak boleh mengucapkan salam kepadanya kecuali apabila wanita tersebut sudah tua dan aman dari fitnah. Apabila tidak aman, tidak boleh mengucapkan salam kepadanya. Namun, apabila seseorang mendatangi rumahnya dan mendapatkan di rumahnya ada wanita yang dikenali lalu ia mengucapkan salam, ini tidak apa-apa asalkan aman dari fitnah. Demikian pula, wanita boleh mengucapkan salam kepada laki-laki ajnabi dengan syarat aman dari fitnah.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/29)

Baca juga: Hukum Menjawab Salam ketika Sedang Membaca Al-Qur’an

Ketika ditanyakan kepada Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullah tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita ajnabiah, beliau rahimahullah menyatakan tidak apa-apa mengucapkannya dari kejauhan, tanpa berjabat tangan. Si wanita juga menjawabnya karena suara wanita bukanlah aurat. Kecuali apabila si lelaki menikmati suaranya (senang mendengar suara tersebut, merasa lezat karenanya dan menikmatinya), dalam keadaan seperti ini hukumnya haram. Sebab, si lelaki berarti terfitnah dengan wanita ajnabiah tersebut.” (Dari siaran radio acara Nurun ‘ala ad-Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/965—966)

Apakah Harus Menjawab Titipan Salam?

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Apabila ada seseorang menukilkan salam dari orang lain untukmu, engkau menjawabnya dengan ucapan, ‘Alaihis salam’. Namun, apakah engkau wajib menyampaikan pesan bila ada yang berkata, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan,’ ataukah tidak wajib? Ulama memberikan perincian dalam masalah ini. Jika engkau diharuskan menyampaikannya, engkau wajib menyampaikan salam tersebut. Sebab, Allah azza wa jalla berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا

“Sesungguhnya Allah memerintah kalian untuk menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (an-Nisa: 58) Artinya, engkau sekarang memikul kewajiban tersebut. Adapun apabila orang itu berpesan kepadamu, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan’, lalu ia diam tanpa mengucapkan sesuatu yang mengharuskanmu menyampaikan salamnya tersebut. Atau, ketika dipesani demikian, engkau berkata, ‘Ya, kalau aku ingat,’ atau ucapan yang semisal ini, engkau tidak wajib menyampaikannya kecuali bila engkau ingat. Namun, yang paling bagus, janganlah seseorang membebani orang lain dengan titipan salam ini karena terkadang menyusahkan orang yang diamanahi. Hendaknya ia berkata, ‘Sampaikan salamku kepada orang yang menanyakanku.’ Ini ungkapan yang bagus. Adapun apabila seseorang dibebani, ini tidak bermanfaat. Sebab, terkadang ia malu terhadapmu sehingga mengatakan, ‘Ya, aku akan menyampaikannya.’ Namun, setelah itu dia lupa, berlalu waktu yang panjang, atau semisalnya (sehingga salam itu tidak tersampaikan).” (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu Utsaimin rahimahullah, 3/19) Wallahu alam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Para sahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena mereka bukanlah orang-orang yang berpunya. Berbeda halnya setelah Allah azza wa jalla membukakan rezeki untuk mereka dengan kemenangan-kemenangan dalam peperangan sehingga mereka beroleh ganimah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأۡخُذُونَهَاۗ

“Dan ganimah-ganimah yang banyak yang mereka ambil.” (al-Fath: 19) Dengan kemenangan-kemenangan tersebut, harta menjadi banyak, padahal sebelumnya mayoritas sahabat adalah orang-orang fakir. (Syarah Riyadhis Shalihin, 3/29—30) [2] Malaikat tidak dikatakan berjenis laki-laki ataupun perempuan. Mereka adalah makhluk yang berbeda dengan manusia walaupun Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan mereka dengan lafaz tadzkir (jenis laki-laki). Lantas, mengapa Imam al-Bukhari rahimahullah memasukkan hadits ini sebagai dalil tentang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita? Jawabannya, Jibril alaihis salam mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam wujud seorang laki-laki.” (Fathul Bari, 11/42) [3] Hadits ini menunjukkan bolehnya laki-laki ajnabi mengirimkan salam untuk wanita ajnabiah yang salihah apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan mafsadat (fitnah). (al-Minhaj, 15/207) [4] Ketika itu Aisyah radhiallahu anha tidak melihat keberadaan Jibril alaihis salam. [5] Hal ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi dalam keadaan di situ ada wanita dari kalangan mahramnya, asalkan auratnya tertutup dari si wanita. Selain itu, ini juga menunjukkan bolehnya anak perempuan menutupi ayahnya ketika si ayah sedang mandi, baik menutupinya dengan kain maupun selainnya. (al-Minhaj, 5/239) [6] Ini menjadi dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat dan bolehnya wanita mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahramnya dalam keadaan mahram si lelaki ada di tempat tersebut. (al-Minhaj, 5/238) [7] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Lafaz ini dipahami bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumpulkan lafaz salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan (mengucapkan salam disertai lambaian tangan sebagai isyarat, -pent.). Yang memperkuat pengertian ini adalah riwayat Abu Dawud yang menyebutkan, فَسَلَّمَ عَلَيْنَا Lalu beliau mengucapkan salam kepada kami’.” (Riyadhush Shalihin, hlm. 275)

Baca juga: Mengucapkan Salam dengan Melambaikan Tangan

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan, “Salam dengan tangan saja (sekadar memberi isyarat dengan tangan, tanpa mengucapkan lafaznya dengan lisan, -pent.) adalah terlarang. Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarangnya. Adapun mengumpulkan keduanya tidak apa-apa, terkhusus apabila yang disalami berada pada posisi yang jauh. Ia perlu melihat isyarat tangan hingga ia tahu bahwa saudaranya telah mengucapkan salam kepadanya. Demikian pula apabila yang disalami adalah orang yang tuli, tidak bisa mendengar, dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini, orang yang mengucapkan salam boleh menggabungkan ucapan salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan.” Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menyatakan, “Tidak diragukan bahwa hal-hal yang dijadikan sebagai pengganti salam adalah menyelisihi As-Sunnah. Sebab, As-Sunnah mengajarkan agar seseorang mengucapkan salam dengan lisannya. Apabila suaranya (ucapan salamnya, -pent.) tidak terdengar, ia boleh menyertainya dengan isyarat tangan sehingga diperhatikan oleh orang yang posisinya jauh atau orang yang tuli.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/20—21) [8] Ibu Abdullah adalah Asma bintu Abi Bakr radhiallahu anhuma, saudara perempuan Aisyah radhiallahu anha. [9] Aisyah radhiallahu anha memiliki kebiasaan tidak pernah menahan suatu rezeki dari Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi beliau menyedekahkannya. Suatu kali, beliau menjual barang miliknya lalu harganya disedekahkan. Keponakannya mengkritik apa yang dia lakukan. [10] Bani Zuhrah adalah dari kalangan suku Quraisy. Mereka merupakan akhwal (paman dari pihak ibu) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. [11] Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas. [12] Argumen mereka adalah hadits Sahl radhiallahu anhu di atas. Sahl berkata, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua ….” Sementara itu, laki-laki yang mengunjungi si wanita tua ini dan para lelaki yang dijamunya bukan mahramnya.

(Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)