(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin)
Nubuwwah (kenabian) adalah pilihan dari Allah l. Bukan hasil karya cipta manusia. Bukan pula sekadar diperoleh karena olah jiwa, perenungan (kontemplasi), atau apapun namanya.
Banyak ayat yang mendorong seseorang untuk senantiasa ittiba’ (berada di atas sunnah), iltizam (konsisten), i’tisham (berpegang teguh), dan istiqamah (tetap lurus). Juga, banyak hadits yang mengarahkan semuanya ke satu tujuan, yaitu tsabat (kokoh) di atas Islam.
Kokoh di atas As-Sunnah yang dimaksud bukan seperti pemahaman banyak orang yang mengartikan lafadz As-Sunnah (pada definisi yang sempit, pen.) saja. Karena sesungguhnya As-Sunnah di sini memiliki pengertian yang terkait masalah akidah dan manhaj. Yaitu, Islam itu sendiri. Maka, pengertian “kokoh di atas As-Sunnah” dimaknai sebagai bentuk “kokoh di atas Islam”.
Seseorang yang memiliki kekokohan dalam berislam adalah lantaran taufiq dari Allah l. At-Taufiq, hidayah dan kesesatan berada di tangan-Nya. Allah l yang memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki. Menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya pula. Allah l yang mengokohkan seseorang yang dikehendaki-Nya, menyimpangkan hati seseorang yang dikehendaki-Nya pula.
Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada-Nya agar hati tidak condong pada kesesatan:
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Ali ‘Imran: 8)
Rasulullah n mengajarkan pula doa agar kekokohan pada Islam terpatri kuat. Sebagaimana hadits dari An-Nawwas bin Sam’an z:
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قُلُوبَنَا عَلَى دِيْنِكَ
“Wahai Dzat yang membalik-balikkan hati, kokohkanlah hati-hati kami di atas agama-Mu (Islam).” (Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyadah, Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani t, hadits no. 7988)
Apabila Allah l telah mengokohkan seseorang pada agamanya yang haq, meneguhkan pada manhaj Allah l yang haq dan pada akidah yang benar, maka inilah kenikmatan dari Allah l. Maka, janganlah kemudian teperdaya, tumbuh sikap bangga dan sombong. Hendaklah dirinya bersikap tawadhu’ (rendah hati) kepada Allah l, Rabb semesta alam. Mensyukuri atas keadaan yang demikian, tunduk kepada Allah k, menjaga agama yang ada padanya, dan
menjauhi hal-hal yang bisa menggelincirkan serta menyimpangkan dari (agama) Allah l. (Ats-Tsabat ‘ala As-Sunnah, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, hal. 6-8)
Sementara itu, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Alfauzan dalam Aqidatu At-Tauhid, menjelaskan beberapa sebab ketergelinciran seseorang dari akidah yang lurus. Beberapa penyebab tersebut di antaranya:
1. Jahil (tidak memahami) akidah yang benar karena berpaling dari kajian dan telaah tentang akidah yang lurus. Selain itu, sedikit perhatian terhadap permasalahan akidah hingga menumbuhkan generasi yang tidak mengetahui masalah akidah tersebut.
2. Ta’ashub (sikap fanatik buta) terhadap nilai-nilai peninggalan nenek moyang. Nilai-nilai tersebut dipegang teguh meskipun menyelisihi agama, dan meninggalkan apa yang menyelisihi tradisi nenek moyang meskipun hal tersebut benar.
Allah l berfirman:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah) mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)
3. Taklid buta, yaitu dengan mengambil perkataan-perkataan seseorang dalam masalah akidah tanpa didasari dalil dan petunjuk yang sahih. Ini sebagaimana terjadi pada kelompok-kelompok sempalan, seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Asya’irah, Sufi, dan sejenisnya.
4. Bersikap berlebihan terhadap para wali dan orang-orang shalih. Mereka meninggikannya melebihi kedudukan yang semestinya. Diyakininya bahwa para wali dan orang-orang shalih tersebut memiliki kemampuan sebagaimana kemampuan yang Allah l miliki, yaitu bisa mendatangkan manfaat dan menolak kemudaratan (bahaya). Para wali dan orang-orang shalih tersebut dijadikan perantara antara Allah l dan hamba-Nya dalam menyampaikan kebutuhan-kebutuhan dan pengabulan suatu doa. Mereka mendekatkan diri ke kuburan-kuburan para wali dan orang-orang shalih tersebut dengan melakukan penyembelihan hewan, nadzar, berdoa, ber-istighatsah (mohon pertolongan). Ini seperti yang pernah dilakukan kaum Nabi Nuh q dalam menyikapi orang-orang shalih pada masa itu. Firman Allah l:
“Mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr1’.” (Nuh: 23)
5. Lalai dari tadabbur (merenungi, memikirkan) ayat-ayat Allah l yang bersifat kauniyah dan ayat-ayat Allah k yang bersifat Qur’aniyah. Mereka silau dengan keberhasilan menyumbangkan bagi peradaban hal yang bersifat materi. Hingga mereka menyangka, bahwa semua itu karena hasil upaya manusia semata. Mereka agungkan manusia. Menyandarkan segala sumbangan (bagi) peradaban materi tersebut kepada kesungguhan dan daya cipta manusia semata. Persis sebagaimana yang telah diungkapkan Qarun:
“Qarun berkata,’Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Mereka tidak melihat dan berpikir guna mengagungkan Dzat yang menjadikan berbagai kauniyah tersebut, yang menetapkan kekhususan-kekhususan padanya, yang menciptakan manusia dan memberinya kemampuan untuk mengeluarkan kekhususan-kekhususan tersebut. Lalu memanfaatkannya.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaffat: 96)
“Apakah mereka tidak memerhatikan kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang diciptakan Allah…” (Al-A’raf: 185)
“Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi serta menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan tersebut berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di atas lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan pula bagimu sungai-sungai. Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 32-34)
6. Keadaan rumah yang senantiasa kosong dari arahan yang baik. Nabi n bersabda:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (Hadits dari Abu Hurairah z, Shahih Al-Bukhari no. 1384 dan Shahih Muslim no. 2658)
Maka kedua orangtuanyalah yang memegang peranan besar dalam menegakkan pengarahan kepada anak.
Fenomena ketersesatan sebagian kaum muslimin untuk mengikuti ajakan dan ajaran seseorang yang mengaku Nabi, tak lepas dari apa yang disebutkan di atas. Bisa jadi ketersesatan itu disebabkan sikap taklid buta. Bisa juga lantaran jahil, tak paham agama sebagaimana dituntunkan para salafu ash-shalih. Pun bisa karena ta’ashub, fanatik buta. Sebagai misal, sebut saja kelompok sempalan Ahmadiyah. Pendirinya, yang menderita kelainan jiwa, Mirza Ghulam Ahmad yang diyakini para pengikutnya sebagai nabi, pernah mendakwakan ayahnya sebagai manusia yang lebih utama dari para nabi Allah l. Apa kata ibnul Ghulam ini? Begini: “Ayahku telah berkata, sungguh dirinya lebih utama dari Adam, Nuh, dan Isa. Karena, (bila dibanding Adam) setan telah mengeluarkannya dari surga. Sedang dirinya memasukkan anak keturunan Adam ke surga. Bila dengan Isa, maka Isa disalib Yahudi. Adapun dia, justru menghancurkan salib. Dirinya lebih utama dari Nuh, karena anaknya Nuh yang paling besar diharamkan peroleh hidayah. Adapun dirinya, anaknya termasuk yang mendapat hidayah.” (Khasha`ishu Al-Mushthafa n Baina Al-Ghuluw wa Al-Jafa, Ash-Shadiq bin Muhammad bin Ibrahim, hal. 238)
Ini merupakan bentuk arogansi sekaligus melecehkan para Nabi Allah l. Karenanya, bila ada seseorang yang terjerat paham
sesat Ahmadiyah, tak ada kemungkinan lain bahwa ia seorang yang jahil, ta’ashub, dan taklid buta. Wal ‘iyadzubillah. Tak berbeda dengan mereka yang terpasung paham yang menyimpang lainnya seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Salamullah (komunitas Lia Aminudin), Syi’ah, Sufi, Khawarij, Mu’tazilah, Jahmiyah, dan lainnya.
Beriman kepada para rasul Allah l merupakan salah satu prinsip dari berbagai prinsip keimanan. Keimanan ini harus ditanamkan, karena para Rasul Allah l adalah perantara antara Allah l dan makhluk-Nya dalam penyampaian risalah-risalah-Nya serta dalam penegakan hujjah pada makhluk-Nya.
Wujud keimanan terhadap para rasul, yaitu membenarkan risalah mereka, meyakini dan menetapkan kenabiannya, memercayai bahwa mereka adalah orang-orang yang benar dalam mengabarkan apa yang berasal dari Allah l. Meyakini bahwa mereka telah menyampaikan seluruh risalah, mereka pun telah menjelaskannya pula kepada umat manusia, serta tidak membiarkan seorang pun terkungkung dalam kejahilannya. (Al-Irsyadu ila Shahihi Al-I’tiqad wa Al-Raddu ‘ala Ahli Asy-Syirki wa Ilhad, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 181)
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…” (Al-Baqarah: 177)
“Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’.” (Al-Baqarah: 285)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain)’, serta bermaksud (dengan perbuatan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (An-Nisa`: 150-151)
Terkait ayat di atas, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t mengungkapkan, “Maka, sesungguhnya mereka menghendaki pembedaan antara Allah l dan para rasul-Nya. Barangsiapa yang menyerahkan wala’ (loyalitas) kepada Allah l, hakikatnya ber-wala’ kepada para rasul-Nya. Sebab, yang demikian itu merupakan bentuk kesempurnaan ber-wala’. Barangsiapa yang mengambil sikap permusuhan kepada salah satu dari rasul-rasul-Nya, maka dia telah mengambil sikap permusuhan kepada Allah l, juga memusuhi seluruh rasul Allah l. Begitu pula, siapa yang mengkufuri seorang rasul, maka dia telah kufur kepada seluruh rasul-Nya. Termasuk (kufur) terhadap seorang rasul yang dia yakini dengan keimanannya. Demikian ini sebagaimana Allah k nyatakan:
“Mereka itu orang-orang kafir yang sebenar-benarnya.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 206)
Melalui ayat-ayat tersebut, Allah l telah mengaitkan keimanan terhadap para rasul-Nya dengan keimanan terhadap malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya. Pun telah menghukumi sebagai sebuah kekafiran bagi siapa yang membedakan antara Allah l dan para rasul-Nya, beriman pada sebagian dan kufur pada sebagian lainnya. (Al-Irsyadu ila Shahihi Al-I’tiqad, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, hal. 181)
Ahlus Sunnah wal Jamaah berpandangan, bahwa seutama-utama para rasul adalah ulul ‘azmi. Mereka terdiri dari Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad ‘alaihim ash-shalatu wa as-salam. Penyebutan nama-nama tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu (sendiri, yaitu Rasulullah Muhammad n), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (Al-Ahzab: 7)
Adapun yang paling utama dari ulul ‘azmi adalah al-khalilan (dua kekasih Allah k) Ibrahim dan Muhammad ‘alaihima ash-shalatu wa as-salam, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Jundub bin Abdillah z yang dikeluarkan Al-Imam Muslim t dalam Shahihnya, hadits no. 532. Dari keduanya, yang utama adalah Muhammad n.
Maka, masalah nubuwwah (kenabian) adalah bentuk keutamaan dan merupakan hasil pilihan dari Allah l. Sebagaimana firman-Nya:
“Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia…” (Al-Hajj: 75)
Masalah nubuwwah bukan merupakan hasil upaya rekayasa seorang hamba yang lantaran kesungguhan dan kerja kerasnya, ia peroleh nubuwwah tersebut. Bukan karena itu. Bukan pula karena berlebihnya beragam ibadah yang ditunaikan. Bukan pula karena keseriusannya menjalani ketaatan, melakukan pendidikan jiwa, menghindari bahaya, menjaga kesucian akhlak dan olah jiwa. Bukan karena itu semua. Namun, nubuwwah merupakan sesuatu yang khusus yang terkait keutamaan dan anugerah. Tidak sebagaimana dilansir kalangan filosof, yang menyatakan bahwa nubuwwah bisa diupayakan dengan rekayasa. Allah l berfirman:
“Apabila datang suatu ayat kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Setelah Nabi Muhammad n, maka nubuwwah sudah tidak ada lagi. Muhammad n adalah sebagai khatamu an-nubuwwah (penutup kenabian). Allah l berfirman:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab: 40)
Karenanya, sangatlah pantas apabila dinyatakan Ibnu Katsir t saat memberi tafsir ayat di atas, bahwa siapa saja yang mengaku berkedudukan sebagai nabi setelah Muhammad n, maka dia itu pendusta, pembohong, dajjal, sesat menyesatkan (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 3/599)2
Dinyatakan oleh Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah bahwa pengutusan para rasul adalah nikmat dari Allah l untuk segenap manusia. Mengingat, kebutuhan manusia terhadap para rasul sangat urgen sekali. Tidak ada yang bisa
menata keadaan mereka, tidak ada pula yang mampu meluruskan agama mereka, kecuali para rasul. Karenanya, manusia teramat sangat membutuhkan para rasul melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum. Karenanya pula, sungguh Allah l telah menjadikan para rasul sebagai perantara antara Allah k dan makhluk-Nya (yaitu) dalam menjelaskan pengetahuan manusia tentang Allah l, serta apa yang memberi manfaat dan mudarat pada mereka. Juga dalam hal memerinci ketentuan-ketentuan syariat, perintah, larangan, dan hal yang dibolehkan. Memberi penjelasan pula perihal apa yang Allah l cintai dan benci. Maka, tidak ada jalan untuk mengetahui semua itu kecuali melalui perantaraan para rasul. Bagaimanapun akal tak akan bisa memberi petunjuk secara rinci terhadap masalah-masalah tersebut.
ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ
“Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213) (Lihat Al-Irsyadu ila Shahihi Al-I’tiqad, hal. 181)
Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, “Kebutuhan seorang hamba terhadap ar-risalah lebih besar dari kebutuhan seorang yang sakit terhadap pengobatan. Sesungguhnya akhir takdir ketiadaan dokter adalah kematian pada badan. Adapun kalau seorang hamba tidak ada padanya cahaya dan hidupnya ar-risalah, (maka akan mengakibatkan) hatinya mati dengan kematian yang tidak bisa diharapkan hidup lagi untuk selama-lamanya. Atau, dia celaka dan tidak menemukan kebahagiaan selama-lamanya. Maka, tidak ada kemenangan, kesuksesan kecuali dengan ittiba’ ar-rasul (mengikuti ar-Rasul). Sesungguhnya Allah l mengkhususkan kemenangan orang-orang yang beriman dengan mengikuti dan menolong rasul. Sebagaimana Allah l firmankan:
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (keberuntungan, sukses).” (Al-A’raf: 157)
Artinya, tidak ada orang yang peroleh kemenangan kecuali hanya mereka.” (Majmu’ Fatawa, 19/97)
Termasuk dasar keimanan terhadap para rasul dan nabi Allah l adalah tidak bersikap ghuluw (melampaui batas) kepada mereka. Allah l berfirman:
“Janganlah kalian melampaui batas dalam agamamu.” (An-Nisa: 171)
Rasulullah n bersabda:
لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian menyanjungku sebagaimana menyanjung orang-orang Nasrani menyanjung (Isa) ibnu Maryam, karena aku hanyalah hamba-Nya. Ucapkanlah: Abdullah dan rasul-Nya.” (Shahih Al-Bukhari, no. 3445)
Karena sikap ghuluw ini akan menimbulkan dampak kepada perbuatan syirik. Ini sebagaimana diperbuat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat beribadah. Rasulullah n bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah telah melaknat orang-orang
ibadah.” (Shahih Muslim, no. 529 hadits dari ‘Aisyah x)
Di antara sikap ghuluw adalah beranggapan bahwa Nabi n dicipta dari cahaya. Sikap ini menumbuhkan keyakinan untuk menafikan sifat basyariyah (kemanusiaan) Rasulullah n. Padahal Allah l berfirman:
ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ
“Katakanlah: Maha Suci Rabbku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul.” (Al-Isra`: 93)
Anggapan bahwa Nabi n diciptakan dari cahaya, dan cahaya ini diciptakan dari cahaya Allah l merupakan i’tiqad sesat yang diyakini dan disebarkan Ibnu Arabi Al-Hatimi dan lainnya.
Karena sikap ghuluw ini menumbuhkan khurafat dan keyakinan batil, sesat menyesatkan. Sebagaimana diyakini aliran Sufi tarekat Rifa’iyah (pendirinya Ahmad bin Abil Hasan Ar-Rifa’i) yang memunculkan khurafat bahwa Nabi n mengeluarkan tangannya yang mulia guna berjabat tangan dengan Ahmad Ar-Rifa’i.
Ini merupakan bentuk-bentuk kedustaan yang dikaitkan kepada Rasulullah n. Mereka memanfaatkan masalah kenabian untuk kepentingan kelompoknya. Mereka menabur kesesatan dan menyesatkan umat dengan isu kenabian.
Wallahu a’lam.
Catatan kaki:
1 Wadd, Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr adalah nama-nama berhala terbesar pada kabilah (suku) kaum Nuh q yang semula mereka merupakan nama-nama orang shalih.
2 Pembahasan tentang tidak adanya nabi atau rasul setelah Rasulullah Muhammad n bisa dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah edisi Turunnya Nabi Isa q Vol. III/no. 35 1428 H/2007 M pada rubrik Kajian Khusus.