Apakah praktik khotbah Id sama dengan praktik khotbah Jumat atau tidak?
Zalmi
085223xxxxxx
Dijawab oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari
Permasalahan ini diperselisihkan oleh ulama. Pendapat yang benar adalah pendapat yang mengatakan bahwa khotbah Id hanya satu khotbah. Ini adalah pendapat Syaikh al-Utsaimin dan guru besar kami, Syaikh Muqbil rahimahumallah.
Hal ini berdasarkan zahir (yang terpahami secara langsung) dari hadits yang sahih dalam permasalahan ini, seperti hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يُصَلُّوْنَ الْعِيْدَيْنِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiallahu anhum melaksanakan shalat Id sebelum khotbah.” (Muttafaqun alaihi)
Yang lebih jelas lagi adalah hadits Jabir radhiallahu anhu, dia berkata,
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيْدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلىَ بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلىَ طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ – الْحَدِيثَ
“Aku menyaksikan shalat Id pada hari Id bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khotbah, tanpa azan dan iqamat. Kemudian (seusai shalat) beliau berdiri bersandar pada Bilal radhiallahu anhu (berkhotbah) memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan menganjurkan pada ketaatan, menasihati para sahabat, dan memberi peringatan kepada mereka. Kemudian beliau mendatangi saf para wanita, menasihati, dan memberi mereka peringatan.” (HR. Muslim)
Baca juga:
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah berkata,
“Barang siapa mengamati hadits-hadits muttafaq alaihi dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim serta yang lainnya, akan jelas baginya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan khotbah Id kecuali hanya satu khotbah. Hanya saja, setelah beliau menyampaikan khotbah pertama, beliau mendatangi saf para wanita dan menasihati mereka. Jika ini hendak kita jadikan sebagai dalil disyariatkannya dua khotbah, ada kemungkinan.
Akan tetapi, tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab, beliau mendatangi saf wanita dan berkhotbah di hadapan mereka disebabkan salah satu dari dua kemungkinan:
- Karena khotbah yang beliau sampaikan tidak terdengar oleh mereka, atau
- Khotbah tersebut terdengar sampai ke tempat mereka, tetapi beliau ingin memberikan nasihat-nasihat khusus kepada mereka.” (asy-Syarhul Mumti’, 5/191—192, cet. Muassasah Asam)
Beliau juga berkata dalam Majmu’ Rasa‘il (16/248),
“Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada khotbah Id adalah satu khotbah. Jika seorang (khatib) berkhotbah melalui mikrofon (pengeras suara), hendaklah dia mengkhususkan kaum wanita di akhir khotbahnya dengan nasihat tentang mereka. Apabila dia berkhotbah tanpa pengeras suara dan para wanita yang hadir tidak mendengar khotbahnya, hendaklah dia mendatangi saf mereka untuk memberi nasihat khusus, didampingi oleh satu atau dua orang.”
Baca juga:
Apa yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah bahwa hendaklah dia mendatangi saf para wanita untuk memberi nasihat khusus… dst., tentu jika tidak dikhawatirkan adanya mafsadah dan fitnah terhadap diri sang khatib, para wanita yang hadir, atau yang lainnya. Hal ini ditegaskan oleh an-Nawawi dalam Syarh Muslim (6/144) dan asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/305).
Kekhawatiran tersebut sangat besar pada kondisi dan keadaan kaum muslimah di negeri ini. Kaum wanita menghadiri Id tanpa memakai hijab yang sesuai syariat. Mereka mengenakan “busana-busana muslimah”[1] yang menarik perhatian lelaki. Ditambah lagi aroma parfum-parfum mereka yang membangkitkan syahwat. Wajah-wajah mereka penuh polesan make up yang memesona. Wa ilallahil musytaka (hanya Allah-lah tempat mengadu).
Sesungguhnya ada beberapa hadits yang menunjukkan dua khotbah, tetapi semuanya dha’if (lemah).
-
Hadits Jabir radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhotbah Id dengan berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri kembali (untuk khotbah kedua).
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (1289). Namun, pendalilan ini tertolak karena haditsnya lemah. Dalam sanadnya terdapat perawi yang dha’if bernama Ismail bin Muslim al-Makki. Bahkan, hadits ini dihukumi mungkar oleh al-Albani dalam Dha’if Ibnu Majah. Sebab, riwayat yang benar dari hadits tersebut adalah bahwa itu pada khotbah Jumat.
-
Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar. Akan tetapi, hadits ini sangat dha’if. Sebab, dalam sanadnya terdapat perawi yang sangat dha’if yang bernama Abdullah bin Syabib, syaikh (guru) al-Bazzar. Lihat Tamamul Minnah (348).
-
Hadits Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah radhiallahu anhuma.
Hadits ini diriwayatkan oleh asy-Syafi’i dalam al-Umm (1/272). Hadits ini juga sangat lemah karena syaikh (guru) asy-Syafi’i yang bernama Ibrahim bin Muhammad bin Abi Yahya al-Aslami matruk (ditinggalkan haditsnya karena tertuduh sebagai pendusta).
Selain itu, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah adalah seorang tabiin sehingga sanadnya terputus antara dia dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Berarti hadits ini mursal dha’if.
Baca juga:
Jadi, hadits-hadits di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengatakan bahwa khotbah Id adalah dua khotbah. Demikian pula, tidak benar berdalil mengkiyaskan (menyamakan) dengan khotbah Jumat karena bertentangan dengan zahir hadits-hadits yang sahih sebagaimana telah diterangkan di awal pembahasan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Menurut istilah mereka, sebagai hasil bisikan setan untuk memerdaya putri-putri Adam alaihis salam.