Karamah

Karamah

Karamah adalah sesuatu yang keluar dari adat kebiasaan, tidak diiringi dengan pengakuan kenabian, dan bukan mukadimah kenabian. Allah subhanahu wa ta’ala memunculkan pada diri seorang hamba yang memiliki kebaikan, selalu mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berakidah dan beramal secara benar, baik orang tersebut mengetahui maupun tidak. (Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah, 2/392)

 

Keterangan

“Keluar dari adat kebiasaan.”

Maksudnya, menyelisihi yang biasa terjadi dan biasa dialami oleh manusia.

 

“Tidak diiringi dengan pengakuan kenabian.”

Ini untuk membedakan antara karamah dan mukjizat.

 

“Bukan mukadimah kenabian.”

Maksudnya, karamah bukanlah hal-hal luar biasa yang terjadi menjelang diutusnya seorang nabi.

 

“Pada seorang hamba…, dst.”

Ini untuk membedakan antara karamah dan sihir, sulap, dan yang sejenisnya, yang terjadi pada orang-orang yang menyeleweng karena kerja sama dengan setan. Ini disebut oleh sebagian ulama sebagai ahwal syaithaniyah.

 

“Baik orang itu tahu maupun tidak.”

Ini menunjukkan bahwa karamah ini terkadang disadari oleh yang mendapatkannya dan terkadang tidak. Ini sekaligus menunjukkan bahwa karamah bukan sesuatu yang direkayasa atau diupayakan.

Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahullah dalam bukunya, Fathul Majid, mengatakan,

“Karamah adalah sesuatu yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala yang dengannya Dia memuliakan wali-wali-Nya, tanpa kesengajaan dari mereka, tanpa unsur tantangan, serta tanpa kemampuan dan pengetahuan dari mereka.” (“Bab al-Istighatsah”, hlm. 198, tahqiq al-Furayyan)

 

Tujuan Karamah

Karamah bertujuan sebagai bantuan, dukungan, dan pertolongan kepada hamba tersebut, atau untuk mengokohkannya dalam keimanan.

 

Dalam Hal Apa Karamah Terjadi?

Karamah bisa terjadi dalam urusan agama atau duniawi.

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah adalah mempercayai adanya karamah para wali dan hal-hal luar biasa yang Allah munculkan pada mereka berupa beraneka ragam ilmu, mukasyafah/kemampuan memandang, dan berbagai kemampuan serta pengaruh lainnya.” (al-’Aqidah al-Wasithiyah syarah al-Harras, hlm. 119)

Contoh dalam hal ilmu dan pengetahuan seperti yang saat itu terjadi pada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Allah subhanahu wa ta’ala memperlihatkan apa yang ada dalam kandungan istrinya bahwa bayinya tersebut adalah wanita.

Contoh mukasyafah/kemampuan memandang seperti yang terjadi pada ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu dalam khutbah Jumatnya di Madinah, beliau dapat melihat pasukan perangnya yang dikirim ke Irak dan saat itu sedang terdesak oleh musuh. Kemudian Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Wahai pasukan, ke gunung, ke gunung!”

Pasukan itu pun mendengar ucapan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu kemudian menuju ke gunung sehingga selamat.

Contoh kemampuan dan pengaruh, yaitu yang terjadi pada Maryam. Hanya dengan menggoyang batang pohon kurma, buah kurma pun berjatuhan. Padahal secara akal dan kewajaran, hal tidak mungkin terjadi karena kuatnya pohon dan lemahnya wanita yang sedang hamil tua. Contoh lainnya adalah ada di antara anak buah Nabi Sulaiman alaihis salam yang dapat memindahkan singgasana ratu dalam waktu kurang dari sekejap mata. (Syarh al-Wasithiyah, Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 631—632)

 

Faedah Penting

Karamah seorang wali tidak mungkin mencapai derajat seperti mukjizat nabi. (Ibnu Taimiyah, Kitabun Nubuwwat dinukil dari mukadimah kitab Syarh Ushul I’tiqad, 9/16)

 

Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi

Comments are closed.