(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Ketika melihat seorang anak yang berperangai buruk, tak jarang orang berkata: Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini menggambarkan bahwa keadaan seorang anak (utamanya dalam hal watak) biasanya tak beda jauh dengan keadaan orang tuanya. Barangkali memang ada benarnya. Di dalam syariat Islam juga diterangkan bahwa amalan yang biasa dikerjakan orang tua, entah baik atau buruk, sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anaknya. Karenanya, orang tua dianjurkan untuk banyak melakukan amal shalih agar bisa menular kepada anak-anaknya.
Setiap orang tua yang mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang shalih selayaknya tak hanya memfokuskan perhatian pada tingkah laku anak-anaknya semata. Semestinya dia juga tidak melalaikan dirinya. Dia akan membiasakan dan menyibukkan dirinya dengan amalan-amalan yang baik, karena kebaikan yang dia lakukan akan membuahkan kebaikan bagi sang anak di dunia dan di akhirat kelak. Sebaliknya, dia akan berupaya menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, karena hal itu akan menimbulkan pengaruh buruk dalam perja-lanan mendidik anak-anaknya.
Terkadang bentuk balasan amalan orang tua terwujud pada diri anak-anaknya, baik dalam bentuk kebaikan si anak, penjagaan, kelapangan rizki serta kesehatan mereka, ataupun dalam bentuk penyimpangan mereka, musibah, penyakit dan segala problem yang menimpa mereka. Oleh karena itulah orang tua harus memperbanyak amalan shalihah hingga dampaknya pun mengalir pada diri anak-anaknya.
Perbuatan baik yang dilakukan orang tua akan berbuah barakah dan balasan yang baik dari sisi Allah I. Hal ini tercermin dalam kisah yang terabadikan dalam Al-Qur`an, tatkala Nabiyullah Musa u bersama Nabiyullah Khidhir u mendatangi suatu daerah dan meminta penduduknya agar menjamu mereka. Namun penduduk di daerah itu menolak. Lalu mereka berdua mendapati di situ ada sebuah dinding yang miring hampir roboh. Nabi Khidhir u pun memperbaikinya hingga membuat Nabi Musa u keheranan dan mengatakan, “Seandainya engkau mau, engkau bisa meminta upah dari mereka.”
Ternyata inilah jawaban dari peristiwa yang mengherankan itu:
“Adapun dinding itu milik dua orang anak yatim di kota ini dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sementara ayah mereka adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki mereka berdua mencapai usia dewasa dan mengeluarkan harta simpanan itu sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)
Keadaan kedua anak yatim itu menimbulkan perasaan iba dan kasih sayang terhadap mereka, karena mereka adalah dua orang anak kecil yang tak memiliki ayah. Maka Allah I menjaga mereka berdua karena kebaikan ayah mereka. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 483)
Kalam Allah I ini menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan terjaga keturunannya dan barakah ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat nanti dengan adanya syafaat orang yang shalih itu bagi keturunannya, serta diangkat derajat anak keturunannya itu hingga mencapai derajat paling tinggi di dalam surga, agar menyenangkan hati orang shalih tersebut, sebagaimana hal ini pun dijelaskan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Sa’id bin Jubair t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c, “Mereka berdua dijaga dengan sebab keshalihan ayah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/141)
Di samping itu, orang tua harus menjaga makanan, minuman dan pakaian yang dikena-kannya. Hal ini jelas memiliki pengaruh pada ke-shalihan anak, karena orang tua tak lepas dari doa kebaikan bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, dia mena-dahkan tangan untuk memohon kebaikan anak-anak mereka kepada Allah I dengan tangan yang bersih dan jiwa yang suci, hingga terkabul permohonan-nya.
“Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan orang-orang yang bertakwa.” (Al-Ma`idah: 27)
Tentang hal ini, Abu Hurairah z menyampaikan bahwa Nabi n bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang Dia perintahkan terhadap para rasul. Allah berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik dan berbuatlah amalan shalih, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala yang kalian perbuat.’ Dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang Kami rizkikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan tentang seseorang yang menem-puh perjalanan panjang dalam keadaan kusut masai rambutnya dan berdebu, menadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku!’, sementara minumannya haram, makanannya haram, pakaiannya haram, dan disuapi dengan sesuatu yang haram. Bagaimana bisa dikabulkan doanya?” (HR. Muslim no. 1015)
Diriwayatkan, salah seorang dari kalangan Salaf berkata kepada anaknya:
“Wahai anakku, sungguh aku akan memperbanyak shalatku karenamu.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya: Aku akan shalat sebanyak mungkin dan berdoa sebanyak mungkin dalam shalatku. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 22)
Sisi lain pentingnya amalan shalih orang tua bagi anak, anak yang senantiasa melihat orang tuanya melaksanakan ketaatan dan kebaikan akan mendapati teladan yang baik. Anak akan mencontoh perbuatan baik yang dilakukan orang tuanya, hingga dia pun akan terbiasa melakukannya. Sebaliknya, anak yang biasa menyaksikan perbuatan-perbuatan mungkar yang dilakukan orang tuanya akan terbiasa dengan hal itu dan dia pun akan mencontoh perbuatan mungkar itu pula. Wal ‘iyadzu billah!
Selain itu pula, amalan shalih orang tua akan membuahkan pujian orang terhadap si anak. Apabila orang memuji dan menyebut-nyebut kebaikan yang dilakukan orang tua di hadapan si anak, anak pun akan besar jiwanya dan termotivasi untuk turut melakukan per-buatan-perbuatan yang baik. Sementara amalan buruk akan menggiring celaan dan hinaan orang terhadapnya. Apabila seorang anak mendengar orang-orang menjulukinya dengan julukan jelek maupun mencelanya karena perbuatan ayahnya, hal ini pun nantinya akan mempengaruhi dan merusak jiwa anak.
Tak hanya di dunia buah kebaikan itu dapat diraih, bahkan di akhirat pun anak akan menuai kebaikan karena keshalihan orang tuanya. Demikian yang difirmankan Allah I:
“Dan orang-orang yang beriman dan yang anak keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, akan Kami pertemukan anak keturunan mereka itu dengan mereka dan Kami tidak mengurangi pahala amalan mereka sedikit pun. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya.” (Ath-Thur: 21)
Dalam firman-Nya ini Allah I menga-barkan tentang keutamaan-Nya, kederma-wanan-Nya, anugerah-Nya, kelembutan-Nya terhadap makhluk-makhluk-Nya serta kebaikan-Nya, bahwa orang-orang yang beriman apabila anak keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Allah I akan mempertemukan anak keturunan itu dengan ayah mereka yang shalih, walaupun amalan anak keturunan itu tidak bisa menyamai amalan ayah mereka, untuk menyenangkan hati ayah mereka dengan adanya anak keturunan itu di sisinya. Maka Allah I menghimpun mereka dalam bentuk yang paling baik, dengan mengangkat derajat orang yang kurang sempurna amalannya di sisi orang yang sempurna amalannya, tanpa mengurangi pahala amalan dan derajat orang yang sempurna amalannya tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/332)
Demikian pulalah doa para malaikat yang memikul ‘Arsy dan para malaikat yang di sekeliling ‘Arsy bagi orang-orang yang beriman:
“Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga `Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang shalih dari kalangan ayah-ayah mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka.” (Ghafir: 8)
Para malaikat itu memohon, kumpulkan-lah di antara mereka untuk menyenangkan hati mereka dengan mempertemukan mereka pada tempat-tempat yang berdampingan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/98)
Dengan begitu, layaklah kiranya setiap orang tua mempersiapkan segala amalan shalih yang tak hanya membawa kebaikan bagi dirinya. Namun lebih dari itu, kebaikan itu pun akan merambah pada anak keturunannya di dunia dan di akhirat.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.