Manusia, Malaikat, dan Jin Tidak Mengetahui yang Gaib

Istilah “penampakan” kian akrab di telinga masyarakat kita akhir-akhir ini. Bagaimana pandangan syariat menyoroti hal ini? Bagaimana pula dengan keyakinan bahwa sebagian manusia bisa mengetahui hal-hal gaib? Simak bahasan berikut!

Memercayai hal-hal yang gaib merupakan salah satu syarat dari benarnya keimanan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدًى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢ ٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡغَيۡبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣ وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ٤ أُوْلَٰٓئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّبِّهِمۡۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٥

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum-mu. Serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Baqarah: 1—5)

Gaib adalah segala sesuatu yang tersembunyi dan tidak terlihat oleh manusia, seperti surga, neraka, dan apa yang ada di dalamnya, alam malaikat, hari akhir, alam langit, dan hal lainnya yang tidak bisa diketahui oleh manusia kecuali apabila ada pemberitaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. (Lihat Tafsir al-Qur’anul ‘Azhim, 1/53)

Alam jin dan wujud jin dalam bentuk asli seperti yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan adalah gaib bagi kita. Namun, golongan jin dapat berubah-ubah bentuk—dengan kekuasaan Allahdan amat mungkin bagi mereka melakukan penampakan sehingga kita dapat melihatnya dalam wujud yang bukan aslinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمۡ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنۡ حَيۡثُ لَا تَرَوۡنَهُمۡۗ

“Sesungguhnya ia (setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (al-A’raf: 27)

Baca juga: Perbedaan Antara Jin, Setan, dan Iblis

Dari Abu as-Saib, maula Hisyam bin Zuhrah, beliau bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung ke rumah Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu. Kata beliau,

“Aku mendapati beliau sedang mengerjakan shalat. Aku pun duduk menunggunya hingga beliau selesai. Tiba-tiba, aku mendengar adanya gerakan pada bejana tempat minum yang ada di pojok rumah. Aku menoleh ke arahnya, ternyata ada seekor ular. Aku segera meloncat untuk membunuhnya. Namun, Abu Said memberi isyarat kepadaku agar aku duduk.

Ketika ia selesai dari shalatnya, ia menunjuk ke sebuah rumah yang ada di kampung itu sambil berkata, ‘Apakah engkau lihat rumah itu?’

‘Ya,’ jawabku.

Ia kemudian menuturkan, ‘Dahulu yang tinggal di rumah itu adalah seorang pemuda yang baru saja menjadi pengantin. Kala itu kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke Khandaq. Pemuda itu ikut bersama kami. Saat tengah hari, pemuda itu meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk pulang menemui istrinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkannya sambil berpesan, ‘Bawalah senjatamu. Aku khawatir engkau bertemu dengan orang-orang dari Bani Quraizhah.’

Pemuda itu mengambil senjatanya, kemudian pulang menemui istrinya. Setibanya di rumah, ternyata istrinya sedang berdiri di antara dua daun pintu. Ia mengarahkan tombaknya kepada istrinya untuk melukainya karena merasa cemburu karena istrinya berada di luar rumah.

Baca juga: Padamnya Rasa Cemburu

Istrinya berkata kepadanya, ‘Tahan dulu tombakmu. Masuklah ke dalam rumah hingga engkau akan tahu apa yang menyebabkan aku sampai keluar rumah!’

Pemuda itu masuk. Ternyata terdapat seekor ular besar yang melingkar di atas tempat tidur. Pemuda itu lantas menghunuskan tombaknya dan menusukkannya pada ular tersebut. Setelah itu, ia keluar dan menancapkan tombaknya di dinding rumah. Ular itu (yang belum mati, -red.) menyerangnya dan terjadilah pergumulan dengan ular tersebut. Tidak diketahui secara pasti, mana di antara keduanya yang lebih dahulu mati, ular atau pemuda itu.’

Abu Said radhiallahu anhu melanjutkan ceritanya, ‘Kami menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan melaporkan kejadian itu kepada beliau. Kami sampaikan kepada beliau, ‘Mohonlah kepada Allah agar menghidupkannya demi kebahagiaan kami.’

Beliau menjawab, ‘Mohonlah ampun untuk teman kalian itu!’

Selanjutnya, beliau bersabda,

إِنَّ بِالْمَدِينَةِ جِنًّا قَدْ أَسْلَمُوا، فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهُمْ شَيْئًا، فَآذِنُوهُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنْ بَدَا لَكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ، فَاقْتُلُوهُ، فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ

‘Sesungguhnya, di Madinah terdapat golongan jin yang telah masuk Islam. Jika kalian melihat sebagian mereka—dalam wujud ular, berilah peringatan tiga hari. Apabila masih terlihat olehmu setelah itu, bunuhlah ia karena sebenarnya ia adalah setan’.” (HR. Muslim no. 2236 dan 139 dari Abu as-Saib, maula Hisyam bin Zuhrah)[1]

Para Rasul Tidak Mengetahui yang Gaib

Telah disebutkan sebelumnya bahwa sekumpulan jin datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Ketika itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui kehadiran mereka kecuali setelah sebuah pohon memberitahunya. Allah subhanahu wa ta’ala Mahakuasa untuk menjadikan pohon dapat berbicara. Demikian yang disebutkan oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui perkara gaib kecuali yang telah Allah kabarkan. (Nashihati li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لَّآ أَقُولُ لَكُمۡ عِندِي خَزَآئِنُ ٱللَّهِ وَلَآ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ وَلَآ أَقُولُ لَكُمۡ إِنِّي مَلَكٌۖ إِنۡ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰٓ إِلَيَّۚ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي ٱلۡأَعۡمَىٰ وَٱلۡبَصِيرُۚ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ

Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang gaib, dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (al-An’am: 50)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوۡمٍ يُؤۡمِنُونَ

Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raf: 188)

Para Malaikat Tidak Mengetahui yang Gaib

Kendatipun para malaikat adalah mahluk yang dekat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, ternyata mereka tidak mengetahui urusan gaib. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman saat pertama kali hendak menciptakan manusia,

وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةًۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠ وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبِ‍ُٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢

Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” Dan Dia mengajari Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman, “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!” Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya, Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (al-Baqarah: 30—32)

Kaum Jin Tidak Mengetahui yang Gaib

Banyak sekali orang yang tertipu dan keliru kemudian mengira bahwa bangsa jin mengetahui yang gaib, terutama mereka yang terjun dalam kancah sihir dan perdukunan. Akibatnya, kepercayaan dan ketergantungan mereka terhadap jin sangatlah besar sehingga menggiring mereka kepada kekufuran.

Padahal Allah subhanahu wa ta’ala dengan tegas telah mementahkan anggapan ini dalam firman-Nya,

فَلَمَّا قَضَيۡنَا عَلَيۡهِ ٱلۡمَوۡتَ مَا دَلَّهُمۡ عَلَىٰ مَوۡتِهِۦٓ إِلَّا دَآبَّةُ ٱلۡأَرۡضِ تَأۡكُلُ مِنسَأَتَهُۥۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلۡجِنُّ أَن لَّوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ٱلۡغَيۡبَ مَا لَبِثُواْ فِي ٱلۡعَذَابِ ٱلۡمُهِينِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (Saba: 14)

Manusia Tidak Dapat Mengetahui Alam Gaib

Jika para rasul yang merupakan utusan Allah subhanahu wa ta’ala dalam menyampaikan syariat-Nya kepada manusia tidak mengetahui hal yang gaib sedikit pun, sudah tentu manusia lain secara umum tidak ada yang dapat mengetahui alam gaib atau menjangkau batasan-batasannya. Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan agar mengimani perkara yang gaib dengan keimanan yang benar.

Keyakinan seperti ini agaknya sudah mulai membias. Apalagi, saat ini banyak sekali orang yang menampilkan dirinya sebagai narasumber untuk urusan-urusan yang gaib, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait dengan masa depan seseorang, mulai jodoh, karir, bisnis, atau yang lainnya.

Kata ‘dukun’ barangkali sekarang ini jarang didengar. Bahkan, serta-merta mereka akan menolak apabila dikatakan dukun. Dalihnya, apalagi kalau bukan seputar,

“Kami tidak meminta syarat apa pun kepada Anda.”

“Kami tidak menyuruh memotong ayam putih,” dan sebagainya.

Padahal yang dia lakukan itu adalah praktik dukun juga. Bedanya, dukun sekarang ini berpendidikan sehingga mereka menggunakan bahasa dan istilah ilmiah. Karena itu, mereka jelas enggan disebut ‘dukun’.

Baca juga: Dukun dan Ciri-Cirinya

Tak ada seorang pun yang dapat melihat dan mengetahui perkara gaib, menentukan ini dan itu terhadap sesuatu yang belum dan akan terjadi pada masa mendatang. Jika toh bisa, itu semata-mata bantuan dan tipuan dari setan. Jadi, adalah dusta apabila itu dihasilkan dari latihan dan olah jiwa.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَقَدۡ صَدَّقَ عَلَيۡهِمۡ إِبۡلِيسُ ظَنَّهُۥ فَٱتَّبَعُوهُ إِلَّا فَرِيقًا مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٢٠ وَمَا كَانَ لَهُۥ عَلَيۡهِم مِّن سُلۡطَٰنٍ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يُؤۡمِنُ بِٱلۡأٓخِرَةِ مِمَّنۡ هُوَ مِنۡهَا فِي شَكٍّۗ وَرَبُّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٍ حَفِيظٌ ٢١

“Sesungguhnya Iblis telah dapat membuktikan kebenaran sangkaannya terhadap mereka lalu mereka mengikutinya, kecuali sebagian orang-orang yang beriman. Dan tidak adalah kekuasaan Iblis terhadap mereka, melainkan hanyalah agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat dari siapa yang ragu-ragu tentang hal itu. Dan Rabbmu Maha Memelihara segala sesuatu.” (Saba: 20—21)

Ada pula sebagian manusia yang memiliki akidah yang rusak. Mereka meyakini adanya sebagian orang yang keberadaannya gaib dari pandangan manusia, dan biasanya identik dengan orang-orang yang dianggap telah suci jiwanya. Mereka mengistilahkannya dengan roh suci atau rijalul ghaib.

Ketahuilah bahwa tidak ada istilah manusia gaib. Tidak ada pula istilah rijalul ghaib di tengah-tengah manusia. Rijalul ghaib itu tiada lain adalah jin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَنَّهُۥ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ ٱلۡإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ ٱلۡجِنِّ فَزَادُوهُمۡ رَهَقًا

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jin: 6) (Lihat Qa’idah ‘Azhimah, hlm. 152)

Baca juga: Berita Gaib, Antara Kufur dan Iman

Alam gaib tetaplah gaib, tidak bisa diketahui dan dilihat oleh manusia kecuali apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala beritakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدًا ٢٧

“(Dia adalah) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)

Kunci-Kunci Perkara Gaib Adalah Milik Allah Semata

Sesungguhnya, tak ada seorang pun yang mengetahui perkara gaib dan hal-hal yang berhubungan dengannya, kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak menegaskan hal ini dalam Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُل لَّا يَعۡلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ ٱلۡغَيۡبَ إِلَّا ٱللَّهُۚ وَمَا يَشۡعُرُونَ أَيَّانَ يُبۡعَثُونَ

Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah,” dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan. (an-Naml: 65)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلۡمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلۡغَيۡثَ وَيَعۡلَمُ مَا فِي ٱلۡأَرۡحَامِۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسٌ مَّاذَا تَكۡسِبُ غَدًاۖ وَمَا تَدۡرِي نَفۡسُۢ بِأَيِّ أَرۡضٍ تَمُوتُۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرُۢ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat, dan Dialah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Baca juga: Tidak Ada Hamba yang Tahu Tempat Kematiannya

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

ذَٰلِكَ عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ٱلۡعَزِيزُ ٱلرَّحِيمُ

“Yang demikian itu ialah Rabb Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (as-Sajdah: 6)

Dalam ayat lainnya,

قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ

Allah berfirman, “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (al-Baqarah: 33)

Baca juga: Menyoal Urusan Gaib

Banyak sekali dalil yang berhubungan dengan masalah ini. Namun, mungkin yang disebutkan di sini sudah dapat mewakili bahwa Allah subhanahu wa ta’ala-lah yang mengetahui hal ihwal alam gaib. Adapun manusia, tak ada yang bisa mengetahui dan melihatnya kecuali apa-apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala kuasakan.

Mudah-mudahan semua uraian-uraian di atas bermanfaat bagi kita semua.

Wal ’ilmu ‘indallah.


Catatan Kaki

[1] Ada perbedaan pendapat dalam hal membunuh ular yang berada di rumah.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu itu hanya berlaku di Madinah. Adapun di tempat selainnya bisa langsung dibunuh. Ini adalah pendapat Imam Malik dan yang dinilai kuat oleh al-Maziri.

Ulama yang lain berpendapat bahwa pemberian peringatan terlebih dahulu bersifat umum, bukan hanya di Madinah. Kecuali ular al-Abtar yakni yang berekor pendek dan Dzu Thufyatain, yang mempunyai dua garis lurus berwarna putih di punggungnya, boleh langsung dibunuh walaupun di rumah. (-ed.)

(Ustadz Abu Hamzah Yusuf)