Sihir dan segala bentuknya adalah amalan yang sangat berbahaya bagi keutuhan akidah seorang muslim. Bahkan, pada keadaan tertentu, ia bisa menyebabkan pelakunya keluar dari Islam (kafir). Ironisnya, sangat sedikit yang menyadari bahaya perbuatan ini. Bahkan akhir-akhir ini, dengan dukungan berbagai media massa, makin banyak orang yang menyukai perbuatan ini. Laa haula walaa quwwata illa billah.
Di dalam kitab-kitab akidah, para ulama telah banyak membahas tentang bahaya sihir terhadap akidah. Mereka menyebutkan, sihir bahkan bisa membatalkan keislaman seseorang sehingga menjadikan dia tidak berakidah Islam lagi. Kalau hal ini sampai terjadi maka tidak ada lagi harapan bahagia bagi dirinya.
Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan,
وَلَا يُفۡلِحُ ٱلسَّاحِرُ حَيۡثُ أَتَىٰ ٦٩
“Dan tidak akan beruntung tukang sihir dari mana pun dia datang.” (Thaha:69)
Menurut asy-Syinqithi dalam kitab Adhwa al-Bayan (4/442), “Makna ayat ini adalah meniadakan seluruh jenis keberuntungan bagi tukang sihir, dan Allah subhanahu wa ta’ala menguatkan hal yang demikian itu dengan firman-Nya, “Dari mana pun dia datang.”
Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan dalam Tafsir-nya (4/444), “Tidak akan beruntung dan selamat dari mana pun dia datang di muka bumi ini.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir beliau (hlm. 458) mengatakan, “Tipu daya mereka tidak mendatangkan hasil sedikit pun bagi mereka dan mereka tidak akan menang.”
Kalau demikian kedudukan tukang sihir, yang ditiadakan pada dirinya segala bentuk kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus diliputi ancaman dan murka Allah subhanahu wa ta’ala, maka jelas sihir ini memiliki kaitan dengan agama. Kerusakan agama seseorang bisa demikian parah akibat perbuatan sihir tersebut. Pantas bila Allah subhanahu wa ta’ala melarang dengan keras agar manusia tidak mengerjakan perbuatan sihir ini.
Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melarang suatu perkara atau memurkainya melainkan hal tersebut akan membahayakan, baik bagi diri sendiri, agama maupun bagi orang lain.
Sihir dan Akidah
Sedikit dari kaum muslimin yang mengetahui bahwa mengerjakan sihir hukumnya adalah haram, termasuk bagian dari perbuatan syirik. Karena persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan mempelajari sihir merupakan perbuatan kufur dan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Persyaratan-persyaratan itu pun sayangnya tidak diketahui oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang haram dan sebagai wujud kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Syaikh Shalih Fauzan dalam kitab at-Tauhid (hlm. 27) mengatakan, “Dinamakan sihir karena terjadi dengan perkara-perkara yang tersembunyi yang tidak bisa dijangkau oleh penglihatan. Sihir itu berbentuk jimat, jampi, mantra, obat, atau kepulan asap. Sihir itu hakiki. Di antara hakikatnya adalah pengaruhnya terhadap hati dan badan yang menyebabkan sakit, terbunuh, atau memisahkan antara seorang istri dan suaminya. Pengaruh ini terjadi dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.”
Sihir itu adalah perbuatan setan. Kebanyakan sihir tersebut tidak bisa dicapai oleh seseorang kecuali ia harus melakukan kesyirikan dan mendekatkan diri kepada ruh-ruh jahat yang persyaratannya adalah syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menggandengkan sihir dengan kesyirikan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: وَمَا هِيَ؟ قَالَ: الإِشْرَاكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ…
“Jauhilah tujuh penghancur!” (Para sahabat) berkata, “Apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan sihir….” (HR. al-Bukhari, 5/294, Muslim no. 89 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Sihir termasuk dalam kesyirikan dipandang dari dua sisi:
Pertama, sihir mempergunakan setan, menggantungkan diri kepadanya, mendekatkan diri dengan segala apa yang mereka persyaratkan demi berkhidmat kepada tukang sihir.
Sihir termasuk pengajaran setan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢
“Akan tetapi setan-setan itu yang kafir yang mengajarkan manusia sihir.” (al-Baqarah: 102)
Kedua, di dalam sihir terdapat pengakuan mengetahui perkara gaib sebagai wujud serikat dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini termasuk dari kekufuran dan kesesatan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia tidak memiliki bagian di akhirat.” (al-Baqarah: 102)
Jika demikian kedudukan sihir, sungguh tidak ada keraguan lagi bahwa sihir adalah perbuatan kekafiran dan kesyirikan yang akan membatalkan akidah, dan (pemerintah) wajib menghukum mati pelakunya sebagaimana para pembesar sahabat telah melakukannya.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Masail al-Jahiliah bagian kedua puluh mengatakan, “(Salah satu dari keyakinan jahiliah) adalah meyakini bahwa keluarbiasaan yang terjadi melalui tangan tukang sihir dan sejenis mereka sebagai karamah orang-orang saleh, dan (termasuk keyakinan jahiliah juga) mengaitkan ilmu sihir itu dengan pengajaran para nabi sebagaimana mereka katakan tentang Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.”
Di dalam Kitab at-Tauhid, beliau menulis sebuah bab berjudul Perkara-Perkara yang Terkait dengan Sihir lalu mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ
“Dan sungguh mereka telah mengetahui bahwa bagi orang yang mempelajari (membeli) ilmu sihir tersebut maka dia di akhirat tidak memiliki bagian.” (al-Baqarah: 102)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡجِبۡتِ وَٱلطَّٰغُوتِ
“Mereka beriman kepada al-jibti dan thagut?” (an-Nisa: 51)
Umar radhiallahu ‘anhu berkata, “Al-Jibti adalah sihir dan thagut adalah setan.”
Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu berkata, “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada mereka di suatu daerah.”
Kemudian dalam faedah yang diambil dari bab tersebut, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan, “Faedah keenam: tukang sihir adalah kafir. Ketujuh: dia dibunuh tanpa dimintai taubat. Kedelapan: kalaulah di masa ‘Umar terjadi hal yang demikian maka apalagi setelahnya.”
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di di dalam kitab al-Qaul as-Sadid (hlm. 93) mengatakan, “Sisi dimasukkannya sihir dalam bab tauhid adalah karena kebanyakan dari pembagian (macam-macam) sihir tidak akan bisa terjadi melainkan dengan kesyirikan, dengan perantara ruh-ruh setan kepada tujuan-tujuan tukang sihir tersebut. Maka tidak sempurna tauhid seseorang hamba sehingga dia meninggalkan sihir secara menyeluruh.”
Macam-Macam Sihir
Kalau kita coba menggali bentuk-bentuk sihir atau lebih cocok dikatakan macam dan jenisnya maka jumlahnya terlalu banyak, lebih-lebih kalau kita melihat praktiknya di masyarakat Islam. Ilmu sihir adalah ilmu yang sangat digandrungi dan dicari oleh banyak orang kecuali mereka yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala.
Asy-Syinqithi rahimahullah dalam kitab Adhwa al-Bayan (4/452) mengatakan, “Para ahli ilmu telah membagi jenis-jenis sihir, namun pembagian tersebut semuanya bermuara pada delapan macam (yang telah disebutkan oleh Fakhrurrazi dalam tafsirnya).”
Di halaman lain (4/457), beliau mengatakan, “Ilmu-ilmu kejahatan itu banyak sekali, dan kita menyebutkan (macam-macam sihir) bertujuan untuk mengingatkan tentang jelek dan jahatnya (sihir) menurut pandangan syariat. Karena di antara jenisnya ada yang jelas-jelas kufur, dan di antaranya ada yang akan mengantar menuju kekufuran dan yang paling ringan hukumnya adalah haram (dengan keharaman) yang keras.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau al-Qaul al-Mufid mengatakan, “Macam-macam sihir secara global dibagi menjadi dua, di antaranya ada yang merupakan wujud kekufuran dan ada pula yang merupakan wujud kefasikan.”
1. Al-‘Iyafah
Al-‘Iyafah adalah seseorang mengurungkan niat untuk melakukan sesuatu karena ada perilaku tertentu dari burung atau seseorang merasa pesimis atau optimis disebabkan oleh (perilaku) burung.
Akidah orang Arab di masa jahiliah yang terkait dengan al-‘iyafah ini bermacam-macam:
Pertama, membantu mereka untuk berburu yaitu dengan cara mengajari burung sehingga apabila diperintahkan untuk terbang, dia terbang. Hal ini tidak termasuk sihir.
Kedua, menghalau seekor burung sehingga apabila terbang ke arah sebelah kiri maka dia pesimis (lalu mengurungkan aktivitas/rencananya itu, –red.) dan apabila terbang ke sebelah kanan maka dia optimis (sehingga dia lanjutkan niatnya untuk mengerjakan perbuatan itu –red). Bila sang burung terbang ke arah depan, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Saya tidak mengetahui apakah dia berhenti atau mengulangi menghalau burung lagi.” Hal yang seperti ini termasuk dari bentuk sihir.
Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam kitabnya Fathul Majid (hlm. 346) mengatakan, “Al-‘Iyafah adalah rasa pesimis dan optimis (yang muncul dalam diri seseorang, –red.) karena seekor burung, baik dengan nama burung tersebut, suaranya, atau arah terbangnya. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab, bahkan banyak (penyebutan tentang hal ini, –red.) di dalam syair-syair mereka.”
2. Ath-Tharqu
‘Auf menafsirkan ath-tharqu sebagai suatu garis yang dibuat di tanah. Abu as-Sa’adat mengatakan, “Menggaris dengan kerikil yang dilakukan oleh kaum wanita.” (an-Nihayah, 2/121).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin mengatakan, “Garis yang dimaksud adalah sesuatu yang sudah masyhur di kalangan orang Arab, yang digaris dengan kerikil untuk menyihir dan melakukan praktik perdukunan (atau ramalan, -red.), dan hal ini banyak dilakukan oleh kaum wanita.” Hal ini termasuk perbuatan sihir.
3. Ash-Sharf dan Al-‘Athaf
Ash-Sharf yaitu sihir yang dipergunakan untuk memisahkan antara dua orang yang saling mencintai supaya salah satu dari keduanya atau kedua-duanya menjadi membenci satu sama lain (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hlm. 156).
Di Indonesia sihir jenis ini terkenal dengan istilah ilmu pelet. Hal ini adalah perbuatan haram dan syirik kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-‘Athaf adalah jenis sihir untuk menjadikan seseorang cinta kepada yang lain, yang sering terjadi antara suami istri. Hukumnya sama dengan ash-sharfu.
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memasukkan sihir sebagai salah satu pembatal keislaman. Masih banyak lagi jenis-jenis sihir yang sekarang berkembang di tengah-tengah kaum muslimin baik di negeri Arab maupun selainnya, seperti memakan api, masuk ke dalam api, ilmu kebal, jimat-jimat, memakan pecahan kaca, menggambarkan sesuatu yang bukan aslinya, dan selainnya. (Lihat pembahasan macam-macam sihir dalam Adhwa al-Bayan, 4/444—455, Tath-hir al-I’tiqad karya Imam ash-Shan’ani, Fathul Majid hlm. 345 dan seterusnya, al-Qaul al-Mufid karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/36—57, al-Qaul al-Mufid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab al-Wushshabi, hlm .137—148, dan al-Qaul as-Sadid, hlm. 93—95)
Ilmu Nujum Termasuk Ilmu Sihir
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam kitab at-Tauhid mengatakan, “Ilmu nujum termasuk dari ilmu sihir.”
Hal ini berdasar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ مِنَ السِّحْرِ
“Barangsiapa mencari (mempelajari) sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari bagian dari sihir.” (HR. Ahmad, 1/227, 311, Abu Dawud, 2/226, Ibnu Majah, 2/1228, ath-Thabarani, no. 11278, al-Baihaqi, 8/138, dari hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma)
Ilmu nujum yang merupakan bagian dari sihir adalah ilmu yang dipakai untuk mengetahui kejadian-kejadian yang ada di bumi dengan bantuan benda-benda langit seperti bintang. Contohnya, bila muncul bintang ini dan itu maka akan terjadi begini dan begitu. Bila muncul bintang ini dan itu, maka akan lahir seseorang yang bahagia di dalam hidupnya atau lahir anak yang akan celaka.
Tentang hal ini Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ النُّجُوْمِ فَقَدِ اقْتَبَسَ مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ
“Barang siapa mencari sebagian ilmu nujum maka dia telah mencari sebagian ilmu sihir, bertambah dengan bertambahnya.” (Hadits ini dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abi Dawud, 2/739 no. 3305 dan di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, 2/305 no. 3002 dan di dalam ash-Shahihah no. 793)
Ilmu nujum dengan makna ini adalah jelas-jelas bertentangan dengan akidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul Allah subhanahu wa ta’ala, juga bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Seorang sahabat, Zaid bin Khalid radhiallahu ‘anhu, berkata,
صَلىَّ بِنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَّةِ فِيْ إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلىَ النَّاسِ فَقَالَ: هَلْ تَدْرُوْنَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِيْ مُؤْمِنٌ بِيْ وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْناَ بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ؛ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوَاكِبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ: مُطِرْنَا بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا؛ فَذَلِكَ كَافِرٌ بِيْ مُؤْمِنٌ بِالْكَوَاكِبِ
Kami shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah selesai hujan di suatu malam. Setelah selesai shalat, beliau menghadap manusia dan berkata, “Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Rabb kalian?”
Mereka berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Di pagi hari di antara hambaku ada yang beriman dan kafir kepada-Ku. Barang siapa yang mengatakan bahwa kami diberikan hujan dengan fadhilah (keutamaan) dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala maka dia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun orang yang mengatakan bahwa kita diberikan hujan karena waktu (nau’) ini dan itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.’” (HR. al-Bukhari, 2/433—434 dan Muslim, no. 71)
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al-Umm mengatakan, “Barang siapa mengatakan kita diberi hujan oleh waktu (nau’1) ini dan itu sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian musyrikin dengan menyandarkan hujan kepada nau’ (waktu), maka hal yang demikian itu adalah kafir sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akidah yang benar adalah bahwa terjadinya hujan karena izin Allah subhanahu wa ta’ala dan takdir-Nya yang telah ditulis 50.000 tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi, dan (bahwa hujan) merupakan rahmat dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada suatu kaum. Turunnya hujan tidak dipengaruhi munculnya bintang ini dan itu.”
Hukum Mempelajari Ilmu Nujum
Ilmu nujum oleh para ulama dibagi menjadi dua:
Pertama, apa yang telah disebutkan di atas yaitu ilmu yang dipergunakan untuk menentukan kejadian-kejadian di bumi karena munculnya bintang ini dan itu. Mempelajari ilmu ini adalah haram. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas.
Kedua, mengetahui peredaran bintang untuk menentukan arah kiblat atau waktu. Hal ini diperbolehkan bahkan terkadang hukumnya wajib. Ulama fikih mengatakan bahwa apabila masuk waktu shalat maka wajib setiap orang untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bintang-bintang, matahari, maupun bulan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَلۡقَىٰ فِي ٱلۡأَرۡضِ رَوَٰسِيَ أَن تَمِيدَ بِكُمۡ وَأَنۡهَٰرٗا وَسُبُلٗا لَّعَلَّكُمۡ تَهۡتَدُونَ ١٥ وَعَلَٰمَٰتٖۚ وَبِٱلنَّجۡمِ هُمۡ يَهۡتَدُونَ ١٦
“Dan dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itutidak goncang bersama kamu dan dia menciptakan sungai-sungai dan jalanjalan agar kamu mendapat petunjuk. Dia menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk….” (an Nahl: 15—16) [ al-Qaulul-Mufid, 2/45]
Tanya Jawab Seputar Sihir
Tanya:
Bila belajar ilmu sihir itu adalah haram, bagaimana dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَعَلَّمُوا السِّحْرَ وَلاَ تَعْمَلُوْا بِهِ
“Belajarlah kalian ilmu sihir dan jangan kalian mengamalkannya.”
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Kita tidak mengenali hadits ini sahih atau lemah, bahkan hadits ini adalah maudhu’ (palsu).” (1/367—368 no. 6289 dan 6970)
Tanya:
Apabila tukang sihir itu hukumnya harus dibunuh, bolehkah individu yang melakukan hal demikian?
Jawab:
Al-Lajnah ad-Daimah mengatakan, “Yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk menetapkan bahwa ini adalah sihir berikut hukuman bagi pelakunya, adalah pemerintah yang mengurusi urusan kaum muslimin. Hal ini untuk menutup pintu-pintu meluasnya kerusakan dan agar tidak terjadi kekacauan dan tindak anarkis.” (1/369 no. 4804)
Tanya:
Apa yang dimaksud oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ مِنَ الْبَيَانِ لَسِحْرًا
“Sesungguhnya sebagian dari albayan (kefasihan) itu adalah sihir.” (HR. al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dan Muslim dari sahabat ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma)
Jawab:
Al-Bayan dari sisi tinjauan bahasa memiliki dua makna:
Pertama, menjelaskan sesuatu yang harus dijelaskan, maka hal ini boleh dilakukan oleh setiap orang.
Kedua, kefasihan dalam berbicara sehingga memukau akal bahkan mengubahnya. Makna yang kedua inilah yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kefasihan pembicaraan, yang menyebabkan kebenaran dalam pandangan pendengarnya menjadi sesuatu yang batil dan kebatilan menjadi sesuatu yang benar.” (al-Qaulul Mufid, 2/54)
Tanya:
Bolehkah menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir?
Jawab:
Menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir disebut dengan an-nusyrah. Apabila menghilangkan sihir tersebut dengan sihir yang lain maka ini adalah perbuatan setan dan hukumnya haram. Dan apabila menghilangkannya dengan bacaan-bacaan yang disyariatkan, doa, atau ayat-ayat al-Qur’an, maka hal yang demikian disyariatkan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ
“Dan janganlah kalian tolong-menolong di dalam dosa dan permusuhan.” (al-Maidah: 2)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, lakukanlah.” (A’lam as-Sunnah al-Mansyurah, hlm. 155)
Wallahu a’lam bish-shawab.
Comments are closed.