Berita Gaib, Antara Kufur dan Iman

Hal-hal gaib dan iman senantiasa berjalan seiring. Sebab, butuh “pupuk” keimanan untuk meyakini perkara gaib. Hal ini memang tidak bisa tidak. Dalam syariat Islam, kita memang dihadapkan pada sejumlah hal gaib yang sulit dicerna oleh akal kita yang terbatas. Perkara yang sukar ditelaah oleh indra kita yang lemah. Perkara yang bahkan sedikit pun tak terbetik dalam benak.

Kewajiban taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah dipahami oleh segenap kaum muslimin. Hal ini bisa diketahui melalui bermacam ibadah yang mereka lakukan, baik yang ada tuntunannya ataupun tidak, dengan alasan taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini juga diketahui dari berbagai shalawat yang mereka kumandangkan, baik yang beliau ajarkan atau yang tidak. Mereka pun mengatakan beriman dan mencintai beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Namun, yang dituntut bukan sekadar ucapan, melainkan aplikasi kecintaan tersebut dalam bentuk amal. Orang yang benar-benar menaati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan berani mendekati amalan-amalan yang tidak beliau syariatkan. Sebab, dia mengetahui bahwa sikap dan cara demikian termasuk kelancangan dalam agama.

Di sisi lain, dia akan berusaha mencari ilmu tentang syariat beliau shallallahu alaihi wa sallam. Dia tahu bahwa melakukan amalan yang tidak dituntunkan oleh beliau shallallahu alaihi wa sallam merupakan sebuah tuduhan bahwa beliau berkhianat dalam menyampaikan risalah Allah subhanahu wa ta’ala. Atau menuduh beliau shallallahu alaihi wa sallam merahasiakan amalan tersebut, tidak beliau sampaikan kepada umat ini.

Orang yang benar-benar taat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan berusaha menyesuaikan segala ucapan, amalan lahiriah, dan amalan batiniah dengan tuntunan beliau.

Baca juga: Menghidupkan Sunnah Nabi yang Kian Terasing

Imam Malik rahimahullah berkata,

“Barang siapa mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama dan dia menganggapnya baik, sungguh dia telah menuduh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ  

‘Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian untuk kalian.’ (al-Maidah: 3)

Jadi, apa yang dahulu bukan sebagai agama, pada hari ini bukan pula sebagai agama.” (al-I’tisham, 1/49)

Jika hal ini—menyesuaikan amalan lahiriah dan batiniah dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam—tidak dilakukan, berarti pengakuan taat hanya di lisan.

Begitu juga cinta yang benar kepada beliau. Ia adalah kecintaan yang akan membuahkan kemurnian taat, pembelaan terhadap Sunnah beliau dari segala yang mengotori dan merusaknya, serta kecintaan kepada orang yang mengamalkan Sunnah beliau, di mana pun mereka berada. Jika tidak demikian, niscaya cinta hanya pengakuan di lisan.

Munculnya pengakuan taat dan cinta kepada beliau tanpa orangnya mengetahui jalan dan cara mewujudkannya, disebabkan oleh beberapa perkara berikut.

Ketaatan kepada Rasulullah adalah Ketaatan kepada Allah

Ketaatan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah ketaatan yang mutlak. Artinya, segala yang beliau perintahkan hendaknya dilakukan dan segala yang beliau larang hendaknya ditinggalkan. Demikian pula, membenarkan segala hal yang beliau beritakan, tanpa memilih dan memilah.

Hal ini telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

وَٱلنَّجۡمِ إِذَا هَوَىٰ ١ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمۡ وَمَا غَوَىٰ ٢ وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٌ يُوحَىٰ ٤

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (an-Najm: 1—4)

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُوْلَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَۚ وَحَسُنَ أُوْلَٰٓئِكَ رَفِيقًا

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisa: 69)

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ

“Dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan takut kepada Allah serta bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (an-Nur: 52)

وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (al-Ahzab: 71)

Baca juga: Mengikuti Sunnah Rasulullah dan Menjauhi Bid’ah

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ

“Dan taatlah kalian kepada Allah dan Rasul agar kalian mendapatkan rahmat.” (Ali Imran: 132)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah taat kepada Allah. Barang siapa bermaksiat terhadapku, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah. Barang siapa bermaksiat kepada amirku, berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari, “Kitabul Ahkam”, “Bab Qaulullah ta’ala: Wa Athi’ullah….”, no. 6603)

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.”

Para sahabat bertanya, “Siapakah yang enggan itu, wahai Rasulullah?”

Rasulullah bersabda, “Barang siapa taat kepadaku, dialah yang mau masuk surga. Adapun barang siapa bermaksiat terhadapku, dialah yang enggan.” (HR. al-Bukhari, “Kitabul I’tisham bil Kitab was Sunnah”, “Bab al-Iqtida bi Sunani Rasulillah”, no. 6737)

Baca juga: Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar

Imam az-Zuhri rahimahullah berkata,

“Dahulu para ulama kita berkata bahwa berpegang teguh dengan As-Sunnah adalah keselamatan.” (Diriwayatkan oleh Imam ad-Darimi rahimahullah dalam Sunan beliau, 1/44)

Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya (Urwah bin az-Zubair), dia berkata,

“Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah! Berpegang teguhlah dengan As-Sunnah! Sebab, sesungguhnya As-Sunnah adalah tonggak agama.” (Diriwayatkan oleh al-Marwadzi dalam as-Sunnah, hlm. 29)

Al-Auza’i rahimahullah berkata,

“Lima perkara yang para sahabat dan tabiin berada di atasnya:

(1) komitmen dengan al-Jamaah,

(2) berpegang teguh dengan As-Sunnah,

(3) memakmurkan masjid,

(4) membaca Al-Qur’an, dan

(5) berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 6/142)

Abdullah bin ad-Dailami rahimahullah berkata,

“Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ialah karena ditinggalkannya sunnah-sunnah. Agama akan hilang satu sunnah demi satu sunnah, sebagaimana lepasnya tali seikat demi seikat.” (Diriwayatkan al-Baihaqi sebagaimana dalam kitab Miftahul Jannah hlm. 62 dan Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah, 1/310)

Ahmad bin Muhammad bin Sahl bin ‘Atha rahimahullah berkata,

“Barang siapa berpegang teguh dengan adab-adab As-Sunnah, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan melumuri hatinya dengan cahaya makrifat. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi daripada mengikuti perintah, perbuatan, dan akhlak Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, serta menerapkan adab-adab beliau, baik dalam berucap, berbuat, niat, maupun keyakinan.” (Diriwayatkan oleh Abu Nua’im dalam al-Hilyah, 10/302)

Mengimani Semua Berita Rasulullah, Syarat Syahadat Muhammad Rasulullah

Membenarkan segala perkara gaib yang beliau beritakan—yang telah terjadi atau yang belum, yang masuk akal atau yang tidak—hukumnya wajib. Ini merupakan implementasi makna syahadat Muhammad Rasulullah sekaligus syaratnya.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat syahadat Muhammadurrasulullah di dalam kitab-kitab mereka. Di antaranya dalam kitab ‘Aqidah at-Tauhid karya Syaikh Shalih Fauzan (hlm. 57) dan al-Qaulul Mufid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Yamani (hlm. 38—38). Syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:

  1. Meyakini kebenaran risalah beliau.

  2. Mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang diyakininya.

Dalil dua syarat ini, adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ لَمۡ يَرۡتَابُواْ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta dia tidak ragu-ragu.” (al-Hujurat: 15)

  1. Mengikuti beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan segala kebatilan yang beliau larang.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Katakanlah (wahai Nabi), “Jika kalian benar-benar cinta kepada Allah, ikutilah aku; niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31)

  1. Membenarkan segala yang beliau beritakan, baik berbentuk perintah, larangan, maupun urusan gaib yang telah lalu atau yang akan datang, dan lainnya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا تَأْمَنُونِي؟ وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً

“Tidakkah kalian memercayaiku? Padahal aku adalah kepercayaan (Dzat) yang ada di langit. Berita dari langit datang kepadaku, pagi dan petang.” (HR. al-Bukhari no. 4904 dan Muslim no. 1043 dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)

  1. Mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri, harta, kedua orang tua, anak, dan manusia seluruhnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا تَأْمَنُونِي؟ وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِينِي خَبَرُلاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak dikatakan sempurna iman setiap orang dari kalian hingga aku lebih dia cintai daripada bapaknya, anaknya, dan manusia seluruhnya.” (HR. al-Bukhari no. 15 dan Muslim no. 44 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ

“Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, salah seorang di antara kalian tidak dikatakan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada bapak dan anaknya.” (HR. al-Bukhari no. 14)

  1. Mendahulukan segala ucapan beliau daripada ucapan manusia mana pun.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُقَدِّمُواْ بَيۡنَ يَدَيِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Hujurat: 1)

Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak ada seorang pun melainkan ucapannya bisa diterima dan bisa ditolak, kecuali pemilik kuburan ini (yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).”

  1. Memuliakan beliau, menghormati, mengagungkan segala apa yang beliau bawa dari sisi Allah—yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah—dengan cara mengaplikasikannya dalam kehidupan, dan mencintai keduanya lebih daripada kecintaan terhadap diri sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَٰكَ شَٰهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ٨ لِّتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُۚ وَتُسَبِّحُوهُ بُكۡرَةً وَأَصِيلًا

“Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, memuliakan serta menghormatinya, dan agar kalian bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (al-Fath: 8—9)

Berita Gaib dalam Kehidupan Salafus Shalih

Terkadang, orang melihat sebuah tuntunan agama dengan kacamata duniawi. Artinya, apakah syariat ini menguntungkan bagi dirinya atau tidak. Apabila menguntungkan, syariat itu akan dianggap besar dan harus diperjuangkan dengan penuh semangat. Namun, apabila tidak menguntungkan bagi kehidupan dunianya, syariat itu akan dianggap ringan dan enteng sehingga dikesampingkan. Bahkan, tidak segan-segan dilemparkan ke belakang punggung mereka padahal perkaranya besar.

Berbeda halnya dengan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan generasi yang mengikuti mereka. Mereka menganggap bahwa seluruh perkara yang dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam—besar ataupun kecil—adalah bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Sebab, mereka mengetahui bahwa besar atau kecil syariat yang dilakukan, tetap akan mendatangkan cinta, kasih sayang, dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada mereka,

لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

“Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apa pun. Sekalipun (hanya dalam bentuk) engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah yang ceria.” (HR. Muslim no. 4760 dari sahabat Abu Dzar radhiallahu anhu)

Seluruh kaum muslimin mengimani perkara gaib. Bahkan, mereka meyakininya sebagai bagian rukun-rukun iman yang enam. Akan tetapi, buah keimanan kepada hal-hal gaib tidak begitu tampak dalam kehidupan sebagian kaum muslimin.

Baca juga: Sebab Terjaganya Keimanan

Berbeda halnya dengan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka beriman kepadanya dan tampak buahnya dalam kehidupan mereka. Di antara buah yang telah mereka petik adalah:

  1. Memberikan semangat dan dorongan untuk melakukan ketaatan dengan berharap pahala dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
  2. Takut berbuat maksiat dan takut meridhai kemaksiatan tersebut, karena takut terhadap azab Allah subhanahu wa ta’ala.
  3. Sebagai penghibur bagi mereka atas sesuatu yang tidak mereka dapati di kehidupan dunia karena berharap kenikmatan yang abadi di akhirat kelak.
  4. Menjadikan mereka memiliki keistimewaan dalam hidup sehingga mereka istiqamah, lapang dada, kuat iman, kokoh dalam malapetaka yang menimpa mereka, bersabar atas semua musibah, mengharapkan pahala dan ganjaran. Mereka mengetahui bahwa apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih baik dan kekal. (Lihat Syarh Ushul al-Iman hlm. 33 dan Asyrathus Sa’ah, hlm. 29)

Karena sedemikian tinggi nilai buah keimanan mereka terhadap hari kiamat, sampai-sampai Umar radhiallahu anhu (semasa menjabat khalifah) mengatakan ucapan beliau yang masyhur,

“Kalau di Irak terdapat keledai terjatuh (karena jalannya yang jelek), aku menyangka Allah akan meminta pertanggungjawaban kepadaku, ‘Wahai Umar, mengapa engkau tidak membuatkan jalan untuknya?’.”

Dalam riwayat Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (1/53) disebutkan,

“Kalau ada seekor kambing mati di pinggir Sungai Efrat karena hilang, niscaya aku menyangka Allah akan meminta tanggung jawabku tentangnya pada hari kiamat.”

Hadits Ahad[1] adalah Hujah dalam Masalah Akidah

Pembahasan ini sangat terkait dengan keimanan terhadap berita-berita gaib yang datang melalui lisan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebab, kebanyakan perkara gaib dijelaskan oleh hadits-hadits ahad, terlebih yang terkait dengan tanda hari kiamat.

Pembahasan ini terkait pula dengan munculnya kelompok dari kaum muslimin yang menentang kebolehan berhujah dengan hadits-hadits ahad dalam permasalahan akidah. Di antaranya yang dilakukan oleh ahli kalam dari kalangan Mu’tazilah dan yang sepemahaman dengan mereka dari kalangan orang-orang sekarang ini, seperti Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Ahmad Salabi, Abdul Karim Utsman, dan lainnya. Demikian pula dari kalangan ulama ahli ushul, seperti yang disebutkan oleh pengarang kitab Syarh al-Kaukab al-Munir fi Ushul al-Fiqh, yaitu Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz al-Hambali.

Mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits ahad tidak bisa dijadikan sebagai hujah dalam masalah akidah. Yang menjadi hujah adalah dalil-dali yang qath’i, baik dari ayat maupun dari hadits. Tentu saja pendapat ini tertolak. Sebab, apabila sebuah hadits itu sahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui jalur orang-orang tepercaya yang menyampaikannya kepada kita, kita wajib mengimani dan membenarkannya, baik hadits tersebut mutawatir atau ahad, yang menghasilkan ilmu yakin. Ini merupakan mazhab ulama salafush shalih.

Baca juga: Mu’tazilah, Kelompok Sesat Pemuja Akal

Kaidah kelompok yang menolak hadits ahad sebagai hujah dalam masalah akidah bertentangan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٍ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)

قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ

Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya!” (Ali Imran: 32)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Amalan para sahabat dan tabiin terhadap hadits ahad telah tersebar, tanpa ada pengingkaran sedikit pun. Hal ini menunjukkan kesepakatan mereka untuk menerima hadits ahad.” (Fathul Bari, 13/234)

Ibnu Abil Izzi rahimahullah berkata,

“Karena umat telah bersepakat menerima hadits ahad, mengamalkannya, dan membenarkannya, ia akan memberikan manfaat ilmu yang yakin, menurut mayoritas ulama. Ini merupakan salah satu jenis mutawatir dan tidak ada perselisihan di kalangan ulama salaf.” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 355)

Baca juga: Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah

Seseorang bertanya kepada Imam asy-Syafi’i rahimahullah tentang sebuah masalah. Beliau lalu menjawab, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memutuskan demikian dan demikian.”

Ada yang berkata kepada Imam asy-Syafi’i, “Apakah engkau akan memutuskan dengannya (hadits itu)?”

Beliau berkata, “Apakah kamu melihat aku di gereja? Apakah kamu melihat pada pinggangku ada pengikat (yang biasa dipakai oleh pendeta)? Aku katakan kepadamu, ‘Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memutuskan demikian’, lalu kamu mengatakan, ‘Apakah kamu akan memutuskannya dengannya?’.” (Mukhtashar ash-Shawa’iq al-Mursalah, 2/350)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah berkata, “Kapan saja aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sahih, tetapi aku tidak mengambilnya, aku persaksikan kepada kalian bahwa akalku telah hilang.” (Mukhtashar ash-Shawa’iq, 2/350)

Dalam ucapan ini, Imam asy-Syafi’i rahimahullah tidak membedakan antara hadits ahad dan mutawatir. Beliau juga tidak membedakan hadits dalam masalah akidah atau amalan lahiriah. Sebab, yang menjadi patokan adalah hadits tersebut sahih atau tidak.

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

“Segala yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan sanad yang baik maka kita terima. Jika kita tidak menetapkan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kita menolaknya, niscaya kita telah menolak perintah Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah ia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr: 7) (Ithaful Jama’ah, 1/4)

Baca juga: Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “As-Sunnah, apabila sahih, kaum muslimin bersepakat untuk wajib mengikutinya.” (Majmu’ Fatawa, 19/85)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata membantah orang-orang yang menolak berhujah dengan hadits ahad,

“Termasuk dalam masalah ini adalah berita sebagian sahabat kepada sebagian yang lain. Mereka menerima apa yang disampaikan oleh seorang sahabat yang diterima dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka tidak mengatakan kepada para pembawa berita tersebut,

‘Kepada siapa Rasulullah menyampaikannya?’

‘Beritamu seorang diri tidak memberikan ilmu yang yakin, sampai beritamu mutawatir.’

Apabila salah seorang sahabat meriwayatkan hadits kepada sahabat yang lain dari Rasulullah dalam masalah sifat (Allah subhanahu wa ta’ala), mereka menerimanya dan meyakini sifat tersebut dengan penuh keyakinan, sebagaimana mereka meyakini bahwa

  • (manusia akan) melihat Allah (di akhirat),
  • Allah mengajak hamba-Nya berbicara dan memanggil hamba-Nya dengan suara yang bisa didengar dengan orang yang paling jauh sebagaimana didengar orang yang dekat,
  • Allah turun ke langit dunia setiap malam,
  • Allah tertawa,
  • Allah gembira,
  • Allah memegang langit di atas jari jemarinya, dan
  • menetapkan sifat kaki bagi Allah subhanahu wa ta’ala.

Apabila salah seorang sahabat mendengar hadits tersebut yang diterima dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, atau dari teman yang benar keyakinannya dengan hanya mendengarnya dari orang yang jujur, sungguh dia tidak akan meragukan beritanya.

Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah

Dalil-dalil yang menetapkan keyakinan salafush shalih (pendahulu yang saleh) dari umat ini adalah:

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةًۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوٓاْ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, periksalah dengan teliti.” (al-Hujurat: 6)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًاْ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa:59)

Baca juga: Wajib Menerima Sunnah Nabi dalam Hal Akidah, Ibadah, dan Muamalah

Adapun dalil dari As-Sunnah;

  • Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus para utusannya kepada raja-raja di berbagai negeri, satu demi satu.
  • Gubernur (suatu daerah) yang beliau angkat juga satu orang. Orang-orang mengembalikan semua urusan mereka kepadanya, baik dalam hukum-hukum maupun akidah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengutus Abu Ubaidah Amir ibnul Jarrah radhiallahu anhu ke negeri Najran sebagaimana dalam riwayat Imam al-Bukhari rahimahullah dalam “Kitab Akhbar Ahad”, “Bab Bolehnya berita seorang yang jujur menjadi hujah”.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu anhu ke negeri Yaman seorang diri, sebagaimana dalam riwayat Imam al-Bukhari.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus pula Dihyah al-Kalbi radhiallahu anhu membawa surat beliau kepada pemimpin Romawi.

Bahaya Menolak Hadits Ahad sebagai Hujah dalam Akidah

Tidak ada keraguan bagi orang yang berakal bahwa menolak kebolehan hadits ahad menjadi hujah dalam masalah akidah termasuk penentangan terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini tentu akan berdampak negatif.

Di antara bahaya yang akan timbul dalam penolakan tersebut adalah:

  1. Menolak segala hadits yang menjelaskan tentang keutamaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas seluruh nabi.
  2. Menolak adanya syafaat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang agung (syafa’atul ‘uzhma) pada hari kiamat.
  3. Menolak adanya syafaat beliau shallallahu alaihi wa sallam terhadap para pelaku dosa besar.
Baca juga: Syafaat Rasulullah yang Agung
  1. Menolak adanya seluruh mukjizat beliau selain Al-Qur’an.
  2. Menolak awal mula penciptaan dan sifat para malaikat, jin, sifat surga dan neraka yang tidak tersebutkan di dalam Al-Qur’an.
  3. Menolak adanya pertanyaan Munkar dan Nakir di dalam kubur.
  4. Menolak berita disempitkannya kuburan bagi mayit.
  5. Menolak adanya ash-Shirath (jembatan), al-Haudh (telaga Rasulullah), dan mizan (timbangan) yang memiliki dua daun timbangan.
  6. Menolak beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menuliskan catatan setiap manusia: bahagia, celaka, rezeki, dan ajalnya, ketika dia masih dalam kandungan ibunya.
  7. Menolak berbagai kekhususan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah dihimpun oleh Imam as-Suyuthi rahimahullah dalam kitab beliau, al-Khashaish al-Kubra. Di antaranya, beliau pernah masuk ke dalam surga ketika beliau masih hidup dan melihat penduduknya serta segala sesuatu yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa. Demikian juga, masuk Islamnya qarin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari kalangan jin.
  8. Menolak penetapan adanya sepuluh orang yang dikabarkan masuk surga.
  9. Menolak tidak kekalnya pelaku dosa besar (dari kalangan muslimin yang bertauhid) di dalam neraka.
  10. Menolak beriman terhadap berita yang sahih tentang hari kiamat, yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an.
  11. Menolak beriman terhadap sebagian besar tanda-tanda hari kiamat (yang sebenarnya hadits-haditsnya mutawatir, tetapi dianggap ahad oleh orang-orang yang tak mengerti ilmu hadits). Di antaranya, keluarnya Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa alaihis salam, keluarnya Dajjal, munculnya api, terbitnya matahari dari sebelah barat, munculnya binatang (Dabbah), dan selainnya.

Perkara Gaib, Antara Kufur dan Iman

Dari urairan di atas, jelaslah bahwa menentang adanya berita gaib termasuk kekafiran kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan menentang-Nya serta menentang seluruh rasul. Sebab, beriman kepada perkara gaib termasuk rukun-rukun iman.

Imam ath-Thahawi rahimahullah mengatakan, “Mengingkari kerasulan beliau (shallallahu alaihi wa sallam) termasuk celaan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala.” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 178)

Ath-Thahawi rahimahullah juga menjelaskan,

“Tidak akan kokoh fondasi Islam melainkan di atas sikap berserah diri dan menerima. Barang siapa berusaha menggali ilmu yang dilarang untuk diilmui dan tidak merasa puas dengan memasrahkan pemahamannya; maka keinginannya akan menghalangi dirinya dari kemurnian tauhid, kebersihan ilmu, dan iman yang benar. Dia akan menjadi orang yang bimbang, antara kufur dan iman, antara membenarkan dan mendustakan, antara menetapkan dan mengingkari. Selain itu, dia juga akan ternodai oleh bisikan-bisikan yang menyesatkan dan mendatangkan keragu-raguan. Dia bukan seorang yang beriman dan membenarkan, bukan pula seorang penentang yang mendustakan.”

Kaidah ini telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam firman-Nya,

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi.” (al-Baqarah: 177)

Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan

Dalam hadits Jibril disebutkan,

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Jibril berkata, “Beritahukan kepadaku tentang iman.”

Rasulullah bersabda, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim no. 8)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab al-‘Aqidah al-Wasithiyah berkata,

Amma ba’du. Ini adalah keyakinan al-Firqatun Najiyah (golongan yang selamat) yang ditolong, sampai hari kiamat. Mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Keyakinan itu ialah) beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir, yang baik dan yang buruk.”

Wallahu a’lam.


Catatan Kaki

[1] Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang belum mencapai tingkat mutawatir. Misalnya, melalui jalur satu orang saja. (-ed.)

(Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)