Hukum Mengolok-Olok Sunnah Nabi

hukum mengolok-olok sunnah nabi

Mengolok-olok atau menjadikan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai bahan tertawaan merupakan perbuatan dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir.

Istihza’ (mengolok-olok) Sunnah (ajaran) Nabi shallallahu alaihi wa sallam berarti mengolok-olok Islam. Ini adalah perbuatan dosa besar. Namun, sebagian orang menilainya sebagai suatu hal yang biasa. Bahkan, terkadang dianggap lelucon yang menggelikan karena perbuatan tersebut dinilai main-main dan tidak serius. Seolah-olah orang yang melakukannya tidak menanggung dosa atau tanggung jawab apa pun. Padahal, perbuatan itu dinilai oleh syariat sangat berbahaya dalam segala keadaannya.

Ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama kaum muslimin pergi menuju Perang Tabuk, dalam sebuah majelis seseorang berkata, “Kami tidak melihat ada yang lebih rakus, lebih dusta, dan lebih penakut daripada para pembaca Al-Qur’an kita itu (yang dia maksud adalah para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam).”

Seseorang menanggapinya, “Kamu dusta. Justru kamu adalah munafik. Saya benar-benar akan sampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”

Baca juga:

Mewaspadai Kaum Munafik

Berita itu pun sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Turunlah ayat Al-Qur’an kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam. Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma mengatakan, “Saya melihat orang itu bergantung pada tali unta Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan kakinya tersandung-sandung batu sambil mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami hanya main-main.’

Namun, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terus mengatakan,

قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ

‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya kalian memperolok-olok? Jangan kalian cari uzur. Kalian telah kafir setelah iman kalian.” (at-Taubah: 65—66) (Hasan, HR. Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabari; dinilai hasan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul, 108)

Baca juga:

Sikap Muslimin terhadap Film yang Menghina Nabi

Mengomentari masalah ini, Syaikh Sulaiman bin Abdillah mengatakan,

“Para ulama telah bersepakat tentang kafirnya orang yang melakukan sesuatu dari perbuatan itu. Barang siapa mengolok-olok Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, atau agama-Nya, dia telah kafir secara ijmak (kesepakatan para ulama), walaupun dia bermain-main dan tidak bermaksud mengolok-oloknya.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm. 617)

Hal yang serupa ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah. Kata beliau, “Barang siapa mengolok-olok sesuatu dari kitab Allah atau Sunnah Rasul-Nya yang sahih, melecehkannya, atau merendahkannya, dia telah kafir terhadap Allah Yang Mahabesar.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 343)

Bahkan, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan,

“Barang siapa mengolok-olok salah satu dari As-Sunnah, berarti ia mengolok-olok semuanya. Sebab, yang terjadi pada orang tersebut (pada kisah di atas, -red.) ialah mengolok-olok Rasul dan para sahabatnya sehingga turunlah ayat ini. Kalau begitu, mengolok-olok perkara ini saling terkait.” (Kitabut Tauhid, hlm. 39)

Baca juga:

Fatwa Ulama tentang Karikatur Nabi

Lantas bagaimana hukumnya mengolok-olok ilmu dan orang yang berilmu, apakah termasuk dalam hukum ini?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan masalah ini. Kata beliau,

“Yang benar dalam hal ini adalah dirinci. Kalau mengolok-olok ilmu syariat atau orang yang berilmu karena ilmunya, ini merupakan kemurtadan. Tidak ada keraguan dalam masalah tersebut karena hal itu adalah perbuatan merendahkan dan meremehkan sesuatu yang Allah subhanahu wa ta’ala besarkan, serta mengandung penghinaan dan pendustaan terhadapnya.

Adapun mengolok-olok orang yang berilmu dari sisi lain, seperti pakaian, ambisi terhadap dunia, kebiasaannya yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia yang tidak ada hubungannya dengan syariat, atau sebab yang serupa dengan itu, yang semacam ini tidak sampai murtad. Sebab, perbuatannya ini tidak kembali pada urusan agama, tetapi pada perkara lain.” (Catatan kaki Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah terhadap Fathul Majid hlm. 526)

Baca juga:

Menempatkan Ulama pada Kedudukannya

Semestinya ketika melihat sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan dan sesuai dengan Sunnah Nabi, kita tidak mengolok-olok, menghina, merendahkan, mengejek, menjadikannya bahan tertawaan, atau semacamnya. Walaupun As-Sunnah itu bertentangan dengan adat istiadat atau kita menganggapnya asing dan aneh serta belum bisa melakukannya. Mestinya kita mendukung, dan di sisi lain kita meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena belum bisa melaksanakannya, bukan malah mengejek.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberikan taufik-Nya kepada kita untuk selalu melakukan apa yang Dia ridhai dan cintai.

Ukuran Hidayah

Karena begitu bahayanya mencela Sunnah Nabi, para ulama menjadikan ukuran hidayah dengan istiqamahnya seseorang di atas As-Sunnah. Sebaliknya, mereka menilai seseorang yang mencela Sunnah Nabi berarti perlu diragukan keistiqamahannya di atas hidayah.

Imam al-Barbahari rahimahullah mengatakan,

“Jika kamu mendengar seseorang mencacati As-Sunnah, menolak As-Sunnah, atau mencari selain As-Sunnah, tuduhlah keislamannya. Jangan kamu ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu, ahli bid’ah.” (Syarhus Sunnah, hlm. 51; Ta’zhimus Sunnah, hlm. 29)

Abul Qasim al-Ashbahani rahimahullah mengatakan,

“Ahlus Sunnah dari kalangan salaf mengatakan bahwa jika seseorang mencacati As-Sunnah, semestinya ia dituduh keislamannya.” (al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428; Ta’zhimus Sunnah, hlm. 29)

Ayub as-Sikhtiyani rahimahullah berkata,

“Jika kamu ajak bicara seseorang dengan As-Sunnah lalu dia mengatakan, ‘Tinggalkan kami dari yang ini, beritahu kami dengan Al-Qur’an’, ketahuilah bahwa dia itu sesat.” (Miftahul Jannah, hlm. 137)

Orang yang melakukan perbuatan semacam ini berada dalam keadaan yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Barang siapa menolak hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, dia berada di atas jurang kebinasaan.” (Thabaqat al-Hanabilah, 2/15; Ta’zhimus Sunnah, hlm. 29)

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.