Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar
Dalam syariat Islam yang penuh keindahan ini, kejujuran adalah akhlak mulia yang sangat dijunjung tinggi, sedangkan kedustaan adalah dosa besar yang sangat dicela. Sebaliknya, dalam agama Syiah Rafidhah, taqiyyah (baca: dusta) adalah salah satu kewajiban bahkan rukun agama. Oleh karena itu, kaum Rafidah begitu dikenal sebagai kaum yang paling pendusta. Dusta adalah ciri khas bagi kaum Rafidhah.
Wajib bagi seorang muslim, seorang yang berakidah dengan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah untuk berhias dengan kejujuran dan meninggalkan dusta sejauh-jauhnya. Lebih-lebih lagi jika Anda adalah seorang da’i yangmenyeru ke jalan Allah ‘azza wa jalla. Sebab, kedustaan dapat merusak pemahaman Anda dan pemahaman orang-orang yang Anda dakwahi.
Simaklah peringatan al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah akan bahaya dusta dalam kitab beliau, al-Fawaid, “Berhati-hatilah dari dusta! Sebab, perbuatan dusta akan merusak pemahaman Anda terhadap suatu perkara sehingga Anda tidak bisa memahaminya sebagaimana hakikatnya. Selanjutnya, dusta akan membuat Anda tidak bisa menggambarkan perkara tersebut dan menjelaskannya kepada manusia sesuai dengan keadaan sebenarnya. Sebab, seseorang yang berdusta menggambarkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada dan sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Dusta juga menggambarkan suatu kebenaranmenjadi kebatilan dan suatu kebatilan menjadi suatu kebenaran. Dusta dapat pula menggambarkan kebaikan sebagai suatu kejelekan dan kejelekan menjadi suatu kebaikan.
Sebagai hukuman atas perbuatan dusta tersebut, pemahaman dan ilmu seorang pendusta akan rusak. Kemudian dia akan menyampaikan pemahaman dan ilmu yang rusak kepada si pendengar yang telah teperdaya dan condong kepadanya, hingga pemahaman dan ilmu si pendengar itu juga ikut rusak. Jiwa seorang pendusta selalu berpaling dari hakikat yang ada, cenderung kepada hal yang tidak hakiki dan mengedepankan kebatilan.
Apabila pemahaman dan ilmu—yang merupakan sumber segala perbuatan—telah rusak, akan rusak pula amal perbuatannya. Sifat dusta akan menjangkiti amalan-amalannya. Munculnya amalan-amalan dari dirinya bagaikan munculnya dusta dari lisannya sehingga dia tidak mendapat manfaat dari amalan dan lisannya. Oleh karena itu, kedustaan merupakan asas perbuatan dosa, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
“Sesungguhnya dusta mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan sesungguhnya perbuatan dosa akan mengantarkan kepada neraka.”
Awalnya, kedustaan akan menjalar dari jiwa menuju lisan kemudian merusaknya. Setelah itu, ia menjalar menuju anggota badan dan merusak amalan anggota badannya sebagaimana dusta membuat rusak ucapan-ucapan yang keluar dari lisannya. Akhirnya, kedustaan akan meliputi ucapan, amalan, dan segala kondisinya, yang akan mengantarkan pada kerusakan.
Penyakitnya ini akan melemparkannya kepada kebinasaan jika Allah ‘azza wa jalla tidak menyelamatkannya dengan obat berupa kejujuran yang akan mencabut penyakit itu hingga akarnya.
Oleh karena itu, sumber segala amalan hati adalah kejujuran, sedangkan lawannya, seperti riya’, ujub, sombong, bangga diri, angkuh, semena-mena, lemah, malas, pengecut, rendahan, dan lainnya, bersumber dari kedustaan. Setiap amalan saleh yang tampak maupun tidak tampak bersumber dari kejujuran, sedangkan setiap amalan jelek yang tampak maupun tidak tampak bersumber dari kedustaan.
Allah ‘azza wa jalla menghukum pendusta dengan membuatnya malas dan lamban dari hal-hal yang bermanfaat dan bermaslahat untuknya. Allah ‘azza wa jalla memberi ganjaran bagi orang yang jujur dengan memberinya taufik untuk mengerjakan hal yang bermanfaat untuk agama dan dunianya.
Tidak ada suatu perangai yang bisa mendatangkan kebaikan dunia dan akhirat semisal kejujuran. Tidak ada suatu perangai yang bisa mendatangkan kerusakan dunia dan akhirat semisal kedustaan. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaknya kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
“Ini (hari pembalasan) adalah hari yang kejujuran orang-orang jujur akan bermanfaat bagi mereka.” (al-Maidah: 119)
“Apabila telah tetap sebuah perintah, kalau seandainya mereka jujur kepada Allah (dalam melaksanakannya), maka itu akan lebih baik bagi mereka.” (Muhammad: 21)
“Dan datang (kepada Nabi) orang-orang yang mengemukakan uzur, yaitu orang-orang Arab Badui agar diberi izin bagi mereka (untuk tidak pergi berjihad), sedang orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, duduk berdiam diri saja. Kelak orang-orang yang kafir di antara mereka itu akan ditimpa azab yang pedih.” (at-Taubah: 90) (al-Fawaid, hlm. 166)
Demikian peringatan keras beliau akan bahaya dusta dan akibat-akibatnya. Betapa berbahayanya sifat dusta bagi seorang muslim, lebih-lebih lagi seorang da’i. Sungguh, setiap dari kita adalah da’i bagi keluarganya.
Semoga Allah ‘azza wa jalla mengaruniakan kejujuran dalam setiap ucapan dan amal perbuatan kita semua. Wallahu a’lam.