(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)
Dzul Qarnain mendapat dua anugerah Allah yang tidak sembarang orang mendapatkannya, yaitu mendapat petunjuk untuk menempuh jalan-jalan keberhasilan sekaligus ia diberi kemampuan untuk menempuhnya. Maka jadilah ia seorang raja dengan kekuatan besar, mampu menaklukkan banyak wilayah, bahkan sampai ke belahan dunia yang demikian jauh.
Dzul Qarnain adalah seorang raja yang shalih. Allah I menganugerahinya jalan yang menumbuhkan kekuatan kerajaannya dan kemenangan-kemenangan yang belum pernah diberikan kepada siapapun selainnya. Allah I menyebutkan sejarah hidupnya yang menarik, kasih sayangnya, kekuatan dan luasnya kerajaan yang dipimpinnya hingga ke belahan bumi timur dan barat. Karena itulah Allah I mengatakan:
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang Dzul Qarnain. Katakanlah: ‘Aku akan bacakan sejarahnya kepada kalian’.” (Al-Kahfi: 83)
Maksudnya, aku akan membacakan sebagian sejarah hidupnya. Telah kita ketahui bahwa semua yang Allah I kisahkan di dalam Kitab-Nya adalah berupa sejarah atau kisah yang paling baik dan paling bermanfaat bagi hamba-Nya. Allah I terangkan dalam ayat-ayat ini bahwa Dia telah menganugerahi Dzul Qarnain jalan kemudahan untuk mencapai segala sesuatu, yang dengan sebab atau jalan itu dia mendapatkan kekuatan kerajaannya, ilmu ketatanegaraan, dan pengaturan pasukan. Di mana dengan semua itu pula dia menundukkan berbagai bangsa.
Dianugerahkan pula kepadanya pasukan dalam jumlah besar serta semua sarana atau prasarana yang dibutuhkan. Namun demikian, dia tetap menjalani sebab-sebab yang ditunjukkan kepadanya oleh Allah I. Tidak setiap orang dianugerahi sebab yang berguna bagi dirinya. Dan tidak semua yang dianugerahi sebab ini dapat menjalaninya.
Dzul Qarnain memperoleh keduanya dengan sempurna: dia mendapatkan jalan atau sebab dan juga mampu menempuhnya. Bersama pasukannya dia menaklukkan daerah Afrika hingga pedalamannya, sampai mencapai bagian paling barat daerah pinggiran sebuah samudera.
Allah I berfirman:
“Dia melihat matahari terbenam di laut yang berlumpur hitam.” (Al-Kahfi: 86)
Dia melihat dengan matanya sendiri seakan-akan matahari itu terbenam ke dalam laut yang berwarna hitam. Maksudnya, dia telah menjelajahi hingga batas terjauh dari wilayah Afrika. Di sini, dia menemukan suatu bangsa yang penduduknya ada yang muslim dan ada yang kafir, ada yang berbudi dan ada yang jahat, berdasarkan firman Allah I:
“Kami berkata: ‘Hai Dzul Qarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat baik kepada mereka’.” (Al-Kahfi: 86)
Maksud ayat ini, boleh jadi yang berbicara dengannya adalah salah seorang dari Nabi-nabi Allah I. Atau mungkin pula salah seorang ulama di sana. Atau mungkin pula pengertiannya adalah bahwa karena kekuasaannya, dia diberi pilihan. Jika bukan demikian, sebagaimana telah kita ketahui bahwa syariat tidaklah menganggap sama perbuatan baik dengan perbuatan yang buruk. Allah I berfirman mengisahkan ucapannya:
“Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengadzabnya, kemudian dia dikembalikan kepada Rabbnya lalu Dia akan mengazabnya dengan adzab yang tiada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala terbaik sebagai balasan dan akan kami titahkan kepadanya hal-hal yang mudah dari perintah-perintah kami.” (Al-Kahfi: 87-88)
Ini adalah bukti keadilannya, sekaligus menunjukkan bahwa dia adalah seorang raja yang shalih. Allah I berfirman:
“Kemudian dia menempuh suatu jalan.” (Al-Kahfi: 89)
Yakni, kemudian dia menjalani suatu sebab yang telah diberikan kepadanya, setelah penduduk daerah barat yang ditemuinya itu tunduk. Sampailah dia di suatu daerah di tepi lautan teduh, yaitu sekitar wilayah Cina. Di sinilah batas akhir sampainya para pembebas berbagai wilayah. Allah I mengisahkan:
“Dia mendapati matahari itu menyinari suatu bangsa yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari cahaya matahari itu.” (Al-Kahfi: 90)
Yakni, mereka tidak mempunyai sesuatu yang bisa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari, baik itu pakaian ataupun rumah tempat tinggal dan menetap mereka. Artinya, dia mendapati bangsa yang ada di pedalaman daerah sebelah timur ini demikian terpencil dan terasing seperti binatang-binatang liar yang berlindung ke gua-gua, jauh dari hubungan dengan manusia lain. Mereka pada waktu itu sebagaimana yang Allah terangkan keadaannya.
Maksud dikisahkannya hal ini adalah untuk menunjukkan bahwa dia telah tiba di daerah yang belum pernah dijangkau oleh penjelajah manapun. Kemudian dia menempuh jalan lain lagi, yang memungkinkan dia untuk menjelajahi negeri-negeri dan menundukkan hamba-hamba Allah yang lain, dia mengarah ke utara:
“Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung” (Al-Kahfi: 93), yaitu pertengahan antara dua buah gunung yang telah ada sejak Allah menciptakan bumi ini. Keduanya merupakan mata rantai dari pegunungan besar yang tinggi sambung menyambung di tempat yang luas itu. Yaitu suatu dataran tinggi sampai laut sebelah timur dan barat di daerah Turki. Demikianlah yang disepakati para ahli tafsir dan sejarawan Islam. Namun mereka memperselisihkan apakah rantai pegu-nungan itu termasuk gunung Kaukasus atau yang lain di daerah Azerbaijan. Atau gunung yang lain yang bersambung dengan tembok besar di Cina di sekitar wilayah Mongolia, dan ini yang terlihat secara lahiriah.
Bagaimanapun juga berdasar keterangan ini, di daerah yang diapit dua gunung itu, Dzul Qarnain menemukan suatu bangsa yang hampir tidak mengerti suatu bahasa pun, karena asingnya bahasa mereka dan susahnya mereka memahami bahasa bangsa lain. Allah I menyebutkan:
“Mereka berkata: `Hai Dzul Qarnain, sesungguhnya Ya`juj dan Ma`juj itu orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi’.” (Al-Kahfi: 94)
Ya`juj dan Ma`juj adalah sebuah bangsa besar yang berasal dari keturunan Yafuts bin Nuh, termasuk Turki dan yang lainnya. Sebagaimana disebutkan sifat dan keadaan mereka dengan jelas. Allah I menyebutkan pula:
“Maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka? Dzul Qarnain berkata: “Apa yang telah dikuasakan Rabbku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik…” (Al-Kahfi: 94-95)
Yakni dalam hal sarana, kekuatan dan kemampuan. Oleh karena itu:
“…maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat).” (Al-Kahfi: 95)
Maksudnya, bahwa bangunan besar ini demikian membutuhkan perhatian dan bantuan berupa kekuatan tenaga,
“Agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka.” (Al-Kahfi: 95), dan dia tidak mengatakan sadda. Karena yang membangun adalah kedua gunung itu, sedangkan dataran tinggi ada di antara kedua pembatas alami itu, yaitu di antara sambungan pegunungan itu. Setelah itu dia mulai menerangkan kepada mereka tentang cara atau alat-alat yang digunakannya. Allah menyebutkan penjelasan Dzul Qarnain ini dalam ayat:
“Berilah aku potongan-potongan besi.” (Al-Kahfi: 96)
Maksudnya, kumpulkanlah untukku bebagai potongan besi, besar kecil, dan jangan sisakan, dan tumpuklah di antara kedua gunung itu. Merekapun mengerjakan-nya. Akhirnya potongan-potongan besi itu terkumpul hampir sama tingginya dengan gunung-gunung tersebut. Demikianlah yang disebutkan dalam ayat:
“Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan puncak kedua gunung itu. Dzul Qarnain berkata: “Tiuplah (api itu).” Hingga apabila besi itu sudah menjadi (seperti) api, diapun berkata: “Berilah aku tembaga (mendidih) agar aku tuangkan ke atas besi panas itu.” (Al-Kahfi: 96)
Dalam ayat ini dikisahkan Dzul Qarnain memerintahkan menggunakan tembaga yang dicairkan melalui pemba-karan, lalu dituangkan di antara potongan besi, hingga merekatkan satu dengan lainnya dan bersambung dengan kedua gunung itu. Dengan demikian tercapailah tujuan menahan Ya`juj dan Ma`juj. Oleh sebab itu dikatakan:
“Maka mereka tidak bisa mendakinya.” (Al-Kahfi: 97)
Yakni, mereka tidak sanggup untuk memanjat dinding tersebut. Dan firman Allah berikutnya, menyebutkan pula keterangan Dzul Qarnain:
“Dan mereka tidak bisa pula melubanginya. Dzul Qarnain berkata: `Ini adalah rahmat dari Rabbku’.” (Al-Kahfi: 97-98)
Maksudnya, Rabbku yang telah memberi taufik kepadaku mengerjakan pekerjaan besar dengan hasil yang bagus ini. Dia merahmati kalian dengan melindungi kamu dari kemudharatan yang ditimbulkan Ya`juj dan Ma`juj dengan semua sebab yang kalian sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkannya.
“Maka apabila sudah datang janji Rabbku, Dia akan menjadikannya hancur luluh.” (Al-Kahfi: 98)
Artinya, pekerjaan besar ini, yang menjadi pembatas antara kalian dengan Ya`juj dan Ma`juj waktunya adalah sementara. Maka jika sudah tiba masanya, Allah I takdirkan berbagai jalan kekuatan, kesanggupan dan berbagai peralatan atau penemuan baru yang memungkinkan Ya`juj dan Ma`juj menyerbu wilayah bangsa-bangsa di sekitarnya. Bahkan mereka pun akan menyebar ke belahan bumi ini, ke timur dan barat. Sebagaimana Allah I terangkan pula dalam ayat lain:
“Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya`juj dan Ma`juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi.” (Al-Anbiya’: 96)
Dari arah manapun, tanpa ada yang dapat menahan mereka. Kata-kata (dari seluruh tempat yang tinggi) meliputi berbagai tempat yang ada, yang datar ataupun yang mendaki, yang rendah atau tinggi. Allah menyebutkan demikian, yakni dari tempat yang tinggi, dengan pengertian bahwa tentunya dari yang datar dan yang rendah sekalipun mereka pun akan lalui.
Disebutkan pula di dalam hadits-hadits dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim yang mendukung keterangan yang dipaparkan dalam ayat ini, tentang sifat dan keadaan mereka. Dan sebagian ahli sejarah yang terdahulu juga menyebutkan keadaan mereka namun dengan berbagai pendapat (atsar) yang tidak ada sandarannya sama sekali (tidak jelas sanadnya), dan hanya menimbulkan polemik dan kebingungan sehingga menghalangi mereka untuk berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah n yang shahih serta bagaimana penerapan atau pengamalannya dalam kenyataan sehari-hari. Oleh sebab itu, hendaklah kita senantiasa berpegang dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah serta meninggalkan apapun selain keduanya, karena hanya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah inilah terdapat petunjuk, bimbingan, dan cahaya.
(Diambil dari Taisir Al-Lathifil Mannan karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di)