(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar)
Allah I telah menentukan kelahiran Nabi Isa u diiringi dengan berbagai kejadian yang luar biasa. Diantaranya beliau lahir tanpa perantara seorang bapak dan ketika masih bayi mampu berbicara sebagaimana orang dewasa. Keadaan ini menimbulkan sikap ghuluw (melampaui batas) orang-orang Nasrani kepada Nabi Isa u, bahkan menjadikan beliau sebagai tuhan (sesembahan). Di sisi lain, orang-orang Yahudi tidak mau beriman dengan apa yang ada pada Nabi Isa u. Sikap yang benar adalah mengimani apa yang ada pada Nabi Isa u dan tetap menempatkan beliau sebagaimana yang Allah tetapkan, yaitu sebagai salah satu Nabi dan Rasul-Nya.
Istri ‘Imran, seorang pembesar dan pemimpin yang berkedudukan tinggi di kalangan Bani Israil, pernah bernazar ketika melihat kehamilannya semakin jelas. Ia akan menyerahkan anak yang nanti dilahirkannya ini kepada Baitil Maqdis, sebagai pelayan bagi rumah Allah yang senantiasa siap sedia beribadah kepada Allah. Waktu itu, istri ‘Imran mengira, yang tengah dikandungnya adalah bayi laki-laki. Ketika melahirkan, dia meminta udzur kepada Allah sembari mengadukan keadaannya, sebagaimana Allah ceritakan:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan. Dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali ‘Imran: 36)
Yakni, bahwa seorang laki-lakilah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan menjadi pelayan bagi Baitil Maqdis.
“Dan sesungguhnya aku menamainya Maryam dan aku memohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada Engkau dari (gangguan) setan yang terkutuk.” (Ali ‘Imran: 36)
Dia menyerahkannya dalam perlin-dungan Allah dari musuhnya dan musuh anak keturunannya. Ini merupakan awal perlindungan dan pemeliharaan Allah kepadanya. Sebab itulah Allah menyem-purnakan perlindungan itu di dunia.
“Maka Rabbnya menerimanya dengan penerimaan yang baik”, artinya Allah menenangkan hati ibunya, sehingga di sisi Allah dia mendapat penerimaan yang sangat besar daripada laki-laki. Allah I berfirman:
“Dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Dia menjadikan Zakariya sebagai pemeliharanya.” (Ali ‘Imran: 37)
Di sini Allah menggabungkan pendi-dikan jasmani dan rohani bagi Maryam, di mana Dia mentakdirkan yang menjadi pemeliharanya adalah nabi yang mulia di kalangan Bani Israil ketika itu. Karena, ketika ibu Maryam membawanya kepada pengurus Baitul Maqdis, mereka berselisih tentang siapa yang berhak memelihara Maryam, karena dia adalah puteri pemim-pin mereka. Kemudian mereka melakukan undian dengan melemparkan pena mereka. Akhirnya yang terpilih menjadi pemelihara-nya adalah Nabi Zakariya sebagai rahmat baginya dan bagi Maryam.
Nabi Zakariya memelihara Maryam dengan sebaik-baiknya. Allah menolongnya dalam pemeliharaan itu dengan karamah yang besar dari sisi-Nya. Maryam tumbuh dengan sempurna sebagai wanita yang shalihah dan membenarkan (beriman). Dia senantiasa tekun beribadah kepada Rabbnya dan tidak pernah keluar dari mihrabnya. Tiap kali Nabi Zakariya menemui Maryam di mihrabnya, dia mendapati makanan di sisi Maryam. Nabi Zakariya bertanya, “Dari mana kamu memperoleh makanan ini?” Karena saat itu tidak ada pemelihara Maryam selain Nabi Zakariya sendiri. Allah I menerangkan jawaban Maryam:
“Makanan ini dari sisi Allah. Sesung-guhnya Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (Ali ‘Imran: 37)
Maksudnya, rizki Allah itu datang dengan cara yang sudah diketahui sebagai-mana biasa atau dengan cara lain. Allah I Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Melihat hal ini, Nabi Zakariya segera teringat betapa Rabbnya Maha Lembut dan diapun segera mengharapkan rahmat-Nya. Nabi Zakariya pun berdoa kepada Allah memohon agar Dia menganugerahkan seorang anak kepadanya sebagai pewaris ilmu nubuwah yang ada pada dirinya dan menggantikannya memimpin dan mendidik serta membimbing Bani Israil.
Allah I berfirman mengisahkan:
“Kemudian Malaikat memanggil Zakariya ketika dia sedang berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu dengan kelahiran Yahya, yang membenarkan kalimat yang datang dari Allah’.” (Ali ‘Imran: 39)
Kalimat yang dimaksud adalah Nabi ‘Isa u. Kemudian (Dan menjadi ikutan), yakni kedudukannya sangat mulia di sisi Allah dan di tengah-tengah manusia, di mana Allah telah menanamkan pada dirinya akhlak yang terpuji dan ilmu-ilmu yang agung serta amalan yang shalih. (Menahan diri), artinya, menjaga dirinya dengan perlindungan Allah dari berbagai kemaksiatan.
Allah mensifatinya sebagai seorang yang mendapat taufik kepada semua kebaikan dan perlindungan dari berbagai kekeliruan serta penyimpangan, di mana hal ini adalah puncak kesempurnaan seorang manusia. Nabi Zakariya merasa takjub akan berita ini. Allah I menyebutkan hal ini:
“Zakariya berkata: ‘Wahai Rabbku, bagaimana aku bisa mempunyai anak sedangkan isteriku adalah seorang yang mandul dan aku sendiri telah mencapai usia yang sangat tua?’ Dia berkata: ‘Demikianlah.’ Rabbmu berfirman: ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku. Dan Aku telah menciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu belum ada sama sekali’.” (Maryam: 9)
Ini lebih menakjubkan daripada kehamilannya di saat usiamu sudah sangat tua dan dia dalam keadaan mandul. Karena kegembiraan dan besarnya keinginan beliau agar hal itu benar-benar terbukti dan lebih menenteramkan hatinya, beliau pun berdoa. Firman Allah I:
“Zakariya berkata: ‘Wahai Rabbku, berilah aku suatu tanda’.” (Maryam: 10)
Suatu tanda yang menunjukkan kepadaku akan kelahiran seorang anak bagiku. Allah I mengatakan:
“Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak berbicara dengan manusia selama tiga malam (padahal kamu sehat).” (Maryam: 10)
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah setiap pagi dan petang.” (Ali ‘Imran: 41)
Semua ini adalah ayat (tanda kekua-saan) Allah yang terbesar. Dia terhalang untuk berbicara padahal hal itu merupakan perbuatan yang mudah dilakukan setiap orang yang sehat sempurna. Namun di sini, dia tidak mampu berbicara dengan siapapun kecuali dengan isyarat, sedangkan lisannya senantiasa berzikir menyebut (nama) Allah, bertasbih, dan bertahmid. Pada saat itu semakin lengkaplah berita gembira yang datang dari Allah ini, dan beliau pun mengetahui bahwa hal ini pasti terjadi.
Tak lama kemudian isterinya melahir-kan seorang anak laki-laki yang diberi nama Yahya. Allah menumbuhkannya dengan cara yang menakjubkan. Di saat masih kecil, beliau sudah mulai belajar. Bahkan di usia itu pula beliau sudah mahir dengan berbagai cabang ilmu. Oleh sebab inilah Allah I mengatakan:
“Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi dia masih kanak-kanak.” (Maryam: 12)
Bahkan ada yang berpendapat (berda-sarkan ayat ini), Allah telah mengangkat beliau menjadi nabi ketika dia masih kanak-kanak. Sebagaimana Allah telah meng-anugerahkan kepadanya ilmu yang agung, Allah juga memberinya anugerah dengan sifat-sifat yang sangat sempurna. Allah I berfirman:
“Rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian. Dan dia adalah seorang yang bertakwa. Dia banyak berbakti kepada kedua ibu bapaknya, dan bukanlah dia orang yang sombong lagi durhaka. Kesejahteraan atas dirinya pada hari dia dilahirkan dan pada hari dia meninggal dunia dan pada hari dia dibangkitkan kembali.” (Maryam: 13-15)
Yang tersirat dari sifat-sifat ini, bahwa beliau adalah orang yang sangat memper-hatikan hak-hak Allah, hak kedua ibu bapaknya dan hak-hak orang lain. Sesung-guhnya Allah pasti akan memperbaiki kesudahannya dalam semua keadaannya.
Adapun Maryam, dia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur. Benar-benar menyerahkan diri untuk beribadah kepada Allah. Firman Allah I:
“Lalu ia membuat hijab (tabir yang menutupi) dari mereka.” (Maryam: 16)
Agar tidak ada seorangpun yang mengganggu kesibukannya beribadah. Kemudian Allah I mengutus Ruhul Amin yaitu Jibril kepadanya dalam bentuk seorang laki-laki yang sempurna. Maryam menyang-ka laki-laki itu ingin berbuat jahat terhadap dirinya. Diapun berkata:
“Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah Yang Maha Pengasih dari (kejahatan)mu, jika kamu seorang yang bertakwa.” (Maryam: 18)
Maryam bertawassul kepada Allah agar Dia memelihara dan melindunginya. Dan iapun mengingatkan kepada orang (malaikat) itu kewajiban bertakwa bagi setiap muslim yang takut kepada Allah. Hal ini adalah sikap wara’ (hati-hati) yang tinggi dari Maryam yang mengkhawatirkan akan terjerumus ke dalam fitnah (perbuatan dosa). Kemudian Allah melepaskannya dari keadaan ini dan mensifatkannya sebagai seorang wanita yang mempunyai ‘iffah (kemuliaan) yang sempurna. Allah juga sebutkan bahwa dia adalah wanita yang tahu menjaga kehormatannya.
Allah I berfirman:
“Jibril berkata kepadanya: ‘Sesungguh-nya aku hanyalah seorang utusan Rabbmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.’ Maryam berkata: ‘Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, padahal tidak seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan pula seorang pezina.’ Jibril berkata: ‘Demikianlah. Rabbmu berfirman: Hal tu adalah mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya sebagai suatu tanda bagi manusia dan rahmat dari Kami’.” (Maryam: 19-21)
Yakni, sebagai rahmat dari Allah buat dirinya, buat engkau dan seluruh manusia.
Allah I melanjutkan firman-Nya:
“Hal itu adalah suatu perkara yang sudah ditetapkan.” (Maryam: 21)
Maka janganlah engkau merasa heran terhadap apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan-Nya. Selanjutnya:
“Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu.” (Maryam: 22)
Maksudnya menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian manusia. Firman Allah I:
“Ke tempat yang jauh.” (Maryam: 22)
Karena mengkhawatirkan tuduhan dan gangguan manusia. Allah I berfirman:
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksanya bersandar ke pangkal pohon kurma. Dia berkata: ‘Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan’.” (Maryam: 23)
Ini diucapkannya karena dia menyada-ri bahwa ini akan menjadi sasaran omongan orang banyak dan mereka tentunya tidak akan mempercayai ucapannya. Dia tidak atau belum mengetahui apa yang akan Allah perbuat terhadap dirinya. Allah I berfirman:
“(Seorang malaikat) memanggilnya dari arah bawahnya.” (Maryam: 24)
Ketika itu dia berada di tempat yang lebih tinggi, sebagaimana firman Allah I dalam ayat yang lain:
“Kami melindungi keduanya di suatu dataran tinggi yang terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (Al-Mu`minun: 50)
Firman Allah I:
“Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai yang mengalir di bawahmu. Goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu.” (Maryam: 24-25)
Tanpa engkau perlu bersusah payah memanjatnya. Kemudian Allah I berfir-man:
“Niscaya pohon tu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. Maka makanlah (kurma yang masak itu), dan minumlah (dari anak sungai itu) dan senangkanlah hatimu.” (Maryam: 25-26)
Yakni, bergembiralah dengan kelahiran puteramu ‘Isa u, agar hilang kesedihan dan rasa takutmu. Firman Allah I:
“Maka jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: ‘Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Rabbku Yang Maha Pemurah’.” (Maryam: 26)
Yaitu diam, tidak berbicara. Dan ketika itu, hal ini adalah amalan yang telah diten-tukan bagi mereka, di mana mereka beriba-dah dengan berdiam diri, tidak berbicara sepanjang hari. Sebab itulah kemudian diterangkan dalam ayat berikutnya:
“Bahwa aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.” (Maryam: 26)
Akhirnya tenanglah hatinya dan hilanglah kekhawatiran yang dia rasakan dalam dirinya.
Kemudian setelah habis masa nifas-nya, dia berbenah diri dan merasa cukup kuat setelah melahirkan ini (Kemudian dia membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya), terang-terangan tanpa rasa takut dan tidak perduli dengan apa yang akan terjadi.
(Diambil dari Taisirul Lathifil Mannan karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t)