Kita Menikah, Tetapi Ceraikan Dia

Ini bukanlah nukilan dari sepenggal drama rumah tangga yang tidak patut kita lakukan. Namun, hal ini benar terjadi dalam panggung kehidupan insan di dunia nyata.

Seorang suami yang ingin menikah lagi dengan perempuan kedua acap dihadapkan pada permintaan si perempuan, “Pilih istrimu atau aku!”. Ini ucapan halusnya. Ada lagi yang lebih terang-terangan, “Ceraikan istrimu, setelah itu baru nikahi aku!

Ada saja ya, perempuan yang tega berbuat demikian. Ouw, ternyata banyak. Sebenarnya, secara syariat, apakah dibenarkan permintaan dan tuntutan si perempuan tersebut?

Jawabannya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berikut ini,

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا

“Tidak halal bagi seorang perempuan meminta saudarinya agar ditalak demi dipenuhi piringnya.” (HR. al-Bukhari no. 5152)

Dalam hadits di atas, disebutkan dengan kata ‘saudari’ sebagai peringatan agar wanita tidak melampaui batas terhadap haknya, karena ibaratnya dia adalah saudarimu sendiri (saudara seagama). (asy-Syarhul Mumti’, 12/166) Dalam riwayat Muslim (no. 3445), hadits di atas disebutkan dengan lafadz,

لاَ تَسْأَلِ الْمَرْأَةُ طَلاَقَ الْأُخْرَى لِتَكْتَفِئَ مَا فِي إِنَائِهَا

“Janganlah seorang wanita meminta istri yang lain ditalak agar dipenuhi apa yang ada dalam bejananya.”

Dalam kitab Shahih al-Bukhari, al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul hadits di atas, Bab asy-Syuruth al-Lati La Tahillu fi an-Nikah. Artinya, syarat-syarat yang tidak halal dalam pernikahan.

Kemudian al-Imam al-Bukhari rahimahullah membawakan ucapan Ibnu Masud radhiallahu ‘anhu secara mu’allaq, “Tidak boleh seorang wanita mempersyaratkan agar saudarinya ditalak.”

Lahiriahnya, permintaan seperti ini haram jika memang tanpa sebab yang diperkenankan untuk mencerai istri yang sebelumnya. Berbeda halnya apabila istri sebelumnya memang tidak pantas dipertahankan karena terus-menerus berbuat nusyuz[1] misalnya, ia boleh memberi saran untuk menceraikannya. Namun, mesti diingat, ini hanya sekadar saran. Keputusan tetaplah di tangan si lelaki. (Fathul Bari, 9/274)

“Permintaan semacam ini minimal mengakibatkan putusnya nafkah yang sebelumnya biasa diterima oleh istri dari suami. Apabila dia memiliki anak-anak, berarti mencerai-beraikan mereka dari ayah dan ibunya yang tidak bersatu lagi dalam ikatan pernikahan.

Apabila permintaan seperti ini dijadikan sebagai persyaratan dalam pernikahan, hal ini termasuk syarat yang fasid atau syarat yang batil karena menyelisihi dalil.

Seandainya ada persyaratan seperti ini dalam suatu pernikahan, kemudian si suami ternyata tidak menceraikan istrinya yang sebelumnya, dia tidak melanggar syarat, karena syarat yang diajukan fasid.

Istri yang baru tersebut tidak boleh menuntut dan mendesak suaminya agar menceraikan istri pertamanya dengan alasan hal tersebut adalah persyaratan pernikahan mereka. Mengapa? Sebab, syarat yang fasid itu seakan tidak ada alias tidak teranggap. (asy-Syarhul Mumti’, 12/166)

frayed-rope

Al-Imam ats-Tsauri rahimahullah menjelaskan, makna hadits ini adalah melarang perempuan ajnabiyah untuk mempersyaratkan lelaki beristri yang melamarnya agar menceraikan istrinya, setelah itu menikahinya. Dengan demikian, nafkah dan pergaulan suami istri yang harusnya terbagi di antara para istri, semuanya beralih kepada dirinya semata.

Memang ada hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,

إِنَّ أَحَقَّ الشُّرُوْطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ

“Sungguh syarat yang paling pantas untuk dipenuhi adalah syarat yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan.” (HR. al-Bukhari no. 2723, 5151 dan Muslim no. 3457, dari sahabat yang mulia, Uqbah bin Amir radhiallahu ‘anhu)

Yang dimaksud syarat dalam hadits di atas adalah syarat dalam akad (syarthun fil ‘aqd), bukan syarat akad (syarthul ‘aqd). Kedua hal ini perlu kita bedakan dan kita ketahui,karena ulama membedakan keduanya. Berikut ini perbedaan keduanya:

  1. Syarat akad (dalam hal ini yang kita bicarakan adalah akad nikah, sehingga untuk selanjutnya kita sebut syarat pernikahan) adalah ketetapan syariat.

Allah subhanahu wa ta’ala lah yang membuat dan menetapkannya sebagai syarat.

Adapun syarat dalam akad (selanjutnya kita sebut syarat dalam pernikahan), yang membuatnya adalah pihak-pihak yang melakukan akad.

  1. Syarat pernikahan terkait dengan sah tidaknya akad pernikahan.

Maknanya, apabila syarat hilang, akadnya tidak sah. Contohnya, adanya wali nikah. Apabila tidak ada wali, akad pernikahan batil, tidak sah.

Adapun syarat dalam pernikahan tidak terkait dengan keabsahan akad. Artinya, akad tetap sah walau syarat tidak dipenuhi. Akan tetapi, pihak yang memberi syarat bisa melanjutkan atau menghentikan pernikahan tersebut (fasakh) apabila syaratnya yang sudah disepakati tidak dipenuhi.

  1. Syarat pernikahan tidak mungkin digugurkan.

Sementara itu, syarat dalam pernikahan bisa saja digugurkan.

  1. Syarat pernikahan tidak terbagi menjadi sahih dan fasid (rusak).

Adapun syarat dalam pernikahan ada yang sahih dan ada yang fasid. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh al-Bulugh al-Maram, 4/494, al-‘Allamah Ibnu Utsaimin dan asy-Syarhul Mumti’, 12/162—163)

Kata al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rahimahullah, syarat dalam pernikahan ada tiga macam:

  1. Syarat yang merupakan kandungan atau konsekuensi dari suatu akad.
  2. Syarat untuk kemaslahatan pihak-pihak yang melakukan akad dan tidak meniadakan atau menyelisihi konsekuensi akad.
  3. Syarat yang menafikan atau meniadakan akad, atau syarat yang batil.

 

Syarat jenis yang pertama, adalah sesuatu yang harus ada, baik dipersyaratkan maupun tidak.

Contohnya, memberi nafkah untuk istri. Si istri mempersyaratkan untuk dinafkahi atau tidak, nafkah memang kewajiban seorang suami. Adapun apabila si istri mempersyaratkan, hal tersebut hanyalah sebagai penekanan.

Contoh lain, seorang wanita yang dilamar sebagai istri kedua mempersyaratkan dia harus digilir sama banyak dengan istri yang pertama. Hal itu memang sesuatu yang tsabit dalam kandungan akad. Maksudnya, konsekuensi seorang suami yang berpoligami ialah berlaku adil di antara istri-istrinya, termasuk dalam hal giliran.

Contoh syarat dari pihak lelaki, misalnya dia mempersyaratkan kepada gadis yang dipinangnya untuk patuh dan taat kepadanya selaku suami dalam hal yang ma’ruf. Syarat seperti ini, walau tidak terucap, sudah merupakan keniscayaan.

Syarat jenis yang kedua, syarat yang tidak menyelisihi kandungan akad.

Hukum asalnya halal, boleh-boleh saja, kecuali ada dalil syariat yang melarang syarat tersebut.

Contohnya, seorang perempuan yang dilamar mempersyaratkan mahar tertentu, atau si lelaki mempersyaratkan agar mahar yang diminta pihak perempuan tidak boleh lebih dari jumlah tertentu.

Contoh lain, pihak perempuan mempersyaratkan agar dia tetap diperkenankan tinggal di negaranya atau di rumah orang tuanya. Apabila lelaki mempersyaratkan kepada perempuan yang dilamarnya untuk tidak menggilirnya semau dia saja dan si perempuan menyetujui syarat ini, hal ini pun boleh menurut pendapat yang sahih. Sebab, perempuan/istri boleh menggugurkan haknya dari suaminya. Kita pun teringat dengan Ibunda kita, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha, yang menggugurkan hak gilirnya dari suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam , dan menghadiahkannya kepada Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha.

Kesimpulannya, syarat jenis yang kedua ini hukum asalnya boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.

Syarat jenis yang ketiga, syarat yang menyelisihi kandungan akad. Syarat ini haram dipenuhi.

Contoh, suami mempersyaratkan kepada istrinya agar tidak mencegahnya untuk menggauli si istri di masa haid. Syarat ini jelas batil, tidak sah dan haram.

Contoh lain, seorang perempuan yang dilamar oleh lelaki yang sudah beristri mempersyaratkan agar giliran hari dan malamnya lebih banyak daripada madunya[2]. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh al-Bulugh al-Maram, 4/495—496, asy-Syarhul Mumti’, 12/162)

Seperti yang telah disebutkan di atas, permintaan agar istri sebelumnya dicerai adalah permintaan yang tidak boleh dipenuhi. Haram bagi seorang perempuan meminta hal seperti ini kepada suaminya atau calon suaminya. Apabila si perempuan mempersyaratkan demikian, syarat tersebut adalah syarat yang batil.

Syarat yang wajib dipenuhi hanyalah syarat yang tidak menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Adapun syarat yang menyelisihinya, syarat tersebut haram dan tidak sah. Disebutkan dalam hadits Aisyah radhiallahu ‘anha dari ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam,

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابٍ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah adalah syarat batil walaupun ada seratus syarat.” (HR. al-Bukhari no. 2155 dan Muslim no. 3756)

Menuntut agar istri yang sebelumnya diceraikan adalah pelanggaran terhadap hak orang lain, dalam hal ini hak istri sebelumnya. Oleh karena itu, syariat melarang syarat tersebut.

Al-Imam al-Khaththabi rahimahullah menyatakan, syarat dalam pernikahan berbeda-beda hukumnya. Di antaranya ada yang disepakati wajib dipenuhi, yaitu syarat yang memang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya, mempergauli istri dengan ma’ruf selama dalam ikatan nikah, atau apabila tidak bisa, dicerai dengan baik-baik. Ada pula syarat yang disepakati tidak boleh dipenuhi, seperti permintaan agar istri yang lain diceraikan. (Nailul Authar, 4/462, Subulus Salam 6/47, Fathul Bari, 9/272)

Setelah jelas keterangan tentang hal ini, maka seorang muslimah tidak patut meminta agar istri yang lain diceraikan karena egonya agar bisa “bersendiri” dengan suaminya tanpa ada istri yang lain bersamanya.

rantai-gajah-konsistensi-386x308

Syarat yang Diajukan Pihak Ketiga (bukan dari suami atau istri)

Sebagai tambahan faedah, kami bawakan masalah berikut ini.

Seorang ayah mempersyaratkan kepada lelaki yang melamar putrinya agar setelah pernikahan putrinya tetap tinggal bersamanya untuk mengurusinya. Si lelaki menerima syarat tersebut.

Akan tetapi, ternyata di belakang hari terjadi perselisihan antara si menantu laki-laki dan ayah mertuanya. Akibatnya, si menantu memilih pindah dari rumah mertuanya dengan membawa serta istrinya (putri mertua). Ternyata, si mertua menahan putrinya, tidak membolehkan dia dibawa pergi, karena ada syarat di antara mereka. Sementara itu, si putri sendiri ingin pergi bersama suaminya.

Bagaimana pemecahannya?

Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim alusy-Syaikh menjawab,

“Pembahasan tentang syarat-syarat pernikahan telah dibuatkan bab khusus oleh para fuqaha dalam kitab mereka. Mereka menerangkan tentang syarat-syarat yang sahih.

Di antara syarat tersebut ada yang harus dipenuhi, ada yang teranggap, dan ada yang tidak teranggap. Ada syarat yang rusak yang di antaranya dapat membatalkan akad, dan ada pula yang akad nikah tetap sah. Syarat-syarat ini khusus terkait dengan suami dan istri.

Apabila hal ini telah diketahui, berarti syarat yang dibuat oleh ayah si putri adalah syarat yang tidak teranggap. Syarat tersebut sama sekali tidak mengharuskan untuk diterima dan dipenuhi. Ayah tidak boleh memisahkan suami dari istrinya selama keadaan keduanya baik-baik saja. Apalagi si istri ridha dan masih mencintai suaminya.

Sebab, ayah si putri tidak berkuasa sedikit pun atas urusan putrinya selain bertindak sebagai walinya yang menikahkannya ketika ada seorang lelaki—yang sekufu dalam hal agama dengan putrinya—datang melamar putrinya. (Fatawa wa Rasail asy-Syaikh, 10/151—152)

Wallahu ta’ala alam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Durhaka kepada suami.

[2] Dalam hal ini berarti si perempuan mempersyaratkan si lelaki agar berlaku tidak adil.