(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)
Lafadz-lafadz yang digunakan mencerai istri diklasifikasikan menjadi dua kelompok:
1. Lafadz yang jelas
Lafadz yang jelas untuk talak adalah lafadz yang tidak dipahami darinya selain makna talak, yaitu lafadz ath-thalaq (talak). Begitu pula yang semisal dengan lafadz talak yang jelas untuk talak.
2. Lafadz kiasan/sindiran
Lafadz kiasan adalah lafadz yang memiliki kemungkinan makna talak dan selainnya, tetapi diniatkan untuk menalak atau ada indikasi yang menunjukkan maksud menalak. Dalil bahwa talak jatuh dengan lafadz sindiran yang diniatkan untuk talak adalah hadits ‘Aisyah x:
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ n وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ. فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ، الْحَقِي بِأَهْلِكِ.
“Sesungguhnya ketika Bintu al-Jaun dipertemukan dengan Rasulullah n lantas beliau mendekatinya, Bintu al-Jaun berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah l darimu.’ Nabi n berkata, ‘Sungguh kamu telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah ke keluargamu’.” (HR. al-Bukhari)
Adapun dalil bahwa talak tidak jatuh dengan kata sindiran tanpa diniatkan talak adalah hadits Ka’b bin Malik z yang panjang mengisahkan kasus tentang dirinya yang tertinggal dalam Perang Tabuk sehingga ia dihajr (diboikot) oleh Rasulullah n bersama kaum muslimin. Ia bercerita bahwa di tengah-tengah berlangsungnya boikot itu, datang utusan Rasulullah n membawa perintah beliau kepadanya agar mengasingkan diri dari istrinya tanpa menalaknya, maka Ka’b berkata kepada istrinya,
الْحَقِي بِأَهْلِكِ فَتَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ فِي هَذَا الْأَمْرِ.
“Kembalilah kamu ke keluargamu dan tinggallah bersama mereka sampai Allah memberi keputusan atas urusan ini.” (Muttafaq ‘alaih)
Begitu pula lafadz kiasan yang disertai indikasi yang menunjukkan maksud menalak.
Ibnu Taimiyah t berkata—sebagaimana dalam al-Ikhtiyarat—, “(Talak jatuh) jika menggunakan kata kiasan yang disertai dengan lafadz lain yang mengindikasikan hukum talak. Contohnya:
– ‘Aku menfasakh (membatalkan) pernikahan kita.’
– ‘Aku memutuskan hubungan suami istri di antara kita.’
– ‘Aku telah menghilangkan hubungan kasih sayang antara aku dan istriku’.”
Ibnu Taimiyah t juga menyebutkan contoh lain yang termasuk kiasan disertai indikasi menalak, yaitu ucapan, “Kamu bukan istriku lagi.”
Kesimpulannya, tidak ada pembatasan lafadz tertentu yang merupakan lafadz yang jelas untuk talak. Setiap lafadz yang jelas untuk talak tanpa menyisakan kemungkinan makna lainnya berarti tergolong lafadz yang jelas untuk talak.
Begitu pula halnya dengan lafadz kiasan/sindiran, tidak terbatas dengan sejumlah lafadz tertentu. Setiap lafadz yang memiliki kemungkinan makna talak dan makna lainnya maka sah menjadi lafadz kiasan untuk talak dengan syarat disertai niat menalak atau indikasi yang menunjukkannya. Ini pendapat yang dipilih oleh Ibnu ‘Utsaimin, as-Sa’di, Ibnul Qayyim, dan Ibnu Taimiyah.
Ibnul Qayyim t berkata dalam Zadul Ma’ad, “Lafadz-lafadz itu tidaklah dimaksudkan lafadznya semata, namun untuk menunjukkan maksud orang yang mengucapkannya. Jika seseorang mengucapkan suatu lafadz yang menunjukkan makna tertentu dengan meniatkan makna tersebut, hukumnya pun berlaku sama. Itulah sebabnya, talak jatuh dari seorang berbangsa Ajam, Turki, atau India dengan menggunakan bahasa mereka masing-masing.1
Namun, seandainya salah satu dari mereka mengucapkan lafadz yang jelas dengan bahasa Arab tanpa dia mengerti maknanya, tentu saja talak tidak jatuh dengan itu, sebab ia telah mengucapkan sesuatu yang dia tidak memahami maknanya dan meniatkannya.
Hadits Ka’b bin Malik z menunjukkan bahwa talak dengan lafadz tersebut dan semisalnya (kata-kata sindiran) tidaklah jatuh kecuali jika diniatkan. Oleh karena itu, yang benar, hukum itu (talak tidak jatuh tanpa diniatkan) berlaku pada seluruh lafadz, baik yang jelas maupun yang kiasan.”
Beliau t melanjutkan, “Adapun klasifikasi menjadi lafadz yang jelas dan lafadz kiasan, walaupun ini benar ditinjau asal peletakannya, tetapi pada penerapannya terdapat perbedaan sesuai dengan komunitas masyarakat, waktu, dan daerah masing-masing. Jadi, klasifikasi ini bukanlah hukum yang tetap pada subtansi lafadz itu sendiri. Boleh jadi, suatu lafadz tergolong yang jelas di suatu komunitas ternyata di komunitas lainnya merupakan lafadz kiasan. Boleh jadi, suatu lafadz tergolong yang jelas pada suatu masa dan daerah tertentu, ternyata waktu dan tempat lain merupakan lafadz kiasan.”
Asy-Syaukani t berkata dalam as-Sail al-Jarrar, “Kesimpulannya, talak hanya jatuh dengan setiap lafadz apa pun atau semisalnya2 yang menunjukkan perceraian, selama dia bermaksud menalak dengannya. Oleh karena itu, tidak perlu memilah lafadz-lafadz tersebut (lafadz ini jelas dan lafadz itu kiasan, pen.).”
Masalah: Hukum menalak dengan tulisan dan isyarat
Menalak dengan tulisan terhitung sah dan jatuh walaupun dilakukan oleh orang yang bisa berbicara. Ini pendapat jumhur ulama dan yang difatwakan oleh Ibnu Baz.
Menalak dengan isyarat yang terpahami, hanya sah dilakukan oleh orang yang tidak mampu berbicara seperti halnya orang yang bisu. Adapun yang mampu berbicara, tidak sah baginya menjatuhkan talak dengan isyarat. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Ibnu Taimiyah berkata–sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa–, “Khulu’ dan talak sah (jatuh) dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan imam-imam Islam.”
2 Maksudnya adalah tulisan dan isyarat sebagaimana akan diterangkan pada masalah berikutnya.