Hukum Istri Meminta Khuluk

Khuluk terkait dengan dua pihak: pihak istri selaku yang menuntut atau meminta khuluk, dan pihak suami selaku yang menjatuhkan khuluk.

Hukum Istri Meminta Khuluk

Seluruh ulama bersepakat tentang bolehnya khuluk.

Hanya Abu Bakr al-Muzani yang berpendapat syadz (ganjil) dengan berpendapat tidak boleh dengan alasan bahwa ayat tersebut telah manasukh (dihapus) hukumnya. Dalil bagi pendapat ini gugur karena tidak diperbolehkan menyatakan bahwa suatu nas telah mansukh (dihapus hukumnya) hanya dengan dugaan, tanpa disertai dalil (argumen). Sementara itu, dalam hal ini tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut

Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menunjukkan bahwa istri Tsabit bin Qais meminta khuluk karena membenci fisik suaminya yang jelek. Hal ini menyebabkan dia khawatir durhaka terhadap suaminya karena tidak sanggup hidup bersamanya.

Dalam hadits tersebut istri Tsabit mengucapkan, “Aku tidak mencela Tsabit perihal agama dan akhlaknya”. Ucapan ini menunjukkan bahwa merupakan hal yang wajar—bahkan dianjurkan—seorang istri meminta khuluk jika ia membenci akhlak atau agama (amalan) suaminya yang jelek. Demikian keterangan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam kitab Fath Dzil Jalali wal Ikram.

Baca juga: Definisi dan Konsekuensi Khuluk

Oleh karena itu, seorang istri boleh meminta khuluk dari suaminya jika ia membenci akhlak, agama (amalan), atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menunaikan hak-hak suaminya.

Kelemahan dan kejelekan agama yang dimaksud adalah yang tidak sampai taraf kekafiran. Ibnu Utsaimin berkata dalam kitab asy-Syarh al-Mumti’,

“Kejelekan agama yang dimaksud adalah yang tidak sampai pada taraf menjadikan pelakunya kafir. Misalnya, suaminya melalaikan shalat berjamaah, minum khamr (minuman beralkohol yang memabukkan), merokok, mencukur jenggot, atau semisalnya.”

Abu Thalib (salah seorang ulama mazhab Hanbali) menukil dari Imam Ahmad,

“Jika seorang istri membenci suaminya, sedangkan suaminya mencintainya, saya tidak menyuruhnya meminta khuluk. Sepatutnya dia (istri) bersabar.”

Al-Qadhi membawa nas ucapan Imam Ahmad ini kepada hukum mustahab (sunnah). Sebab, Imam Ahmad telah membolehkan khuluk pada beberapa tempat. Artinya, istri boleh meminta khuluk, tetapi bersabar lebih baik (utama). Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah lebih memilih kuatnya hukum makruh meminta khuluk pada kondisi ini.

Baca juga: Syariat Khuluk dan Hikmahnya

Akan tetapi, jika istri khawatir akan terkena dampak negatif dari kejelekan agama suami, alasan meminta khuluk bisa semakin kuat. Al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum seorang istri minta khuluk dari suaminya yang peminum khamr.

Al-Lajnah berfatwa—sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah, “Jika suaminya tidak mau berhenti minum khamr, ia boleh meminta khuluk darinya. Hal ini agar istri dan anak-anaknya terhindar dari efek negatif.”

Adapun jika kejelekan agama suami sampai pada taraf kekafiran dan tidak bisa lagi dinasihati, ia wajib meminta khuluk karena haram baginya bersuamikan orang kafir. Hal ini berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijmak. Hal ini juga ditegaskan oleh as-Sa’di, Ibnu Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh Ibnu Baz.

Baca juga: Rukun dan Syarat Akad Nikah

Termasuk dalam hal ini pula (alasan yang membolehkan meminta khuluk) adalah jika suami menganut akidah bid’ah yang bertentangan dengan akidah Islam dan membatalkan keislaman, seperti akidah Rafidhah1, akidah hululiyah dan ittihadiyah2, serta akidah Jahmiyah3. Demikian juga apabila suami tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu dan meninggalkannya sama sekali, menurut salah satu pendapat ulama yang menganggapnya kafir (murtad).

Oleh karena itu, Ibnu Utsaimin dan al-Lajnah ad-Daimah berfatwa bahwa seorang istri wajib meminta khuluk dari suami yang meninggalkan shalat wajib lima waktu. Sebab, mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat wajib lima waktu adalah kafir (murtad).

Baca juga: Pembatal-Pembatal Keimanan

Ibnu Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Istri wajib berpisah darinya dengan segala kemampuan yang dimiliki. Seluruh kaum muslimin berkewajiban membantunya dengan harta (untuk melakukan khuluk).”

Bahkan, as-Sa’di, dalam al-Fatawa as-Sa’diyah, berfatwa bahwa istri wajib meminta khuluk dari suami yang tidak menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dengan melakukan perzinaan (tidak ifah) jika ia tidak bisa lagi dinasihati. Pendapat tentang masalah ini sangatlah kuat, mengingat haramnya menikah dengan pezina.

Wallahu a’lam.

(Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini)