Mahalnya Nilai Kehalalan

Abu Hurairah radhiallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ }يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوْا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَ اعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ{ وَقاَلَ: }يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوْا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ{ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ! وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu Mahabaik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin sebagaimana yang Dia perintahkan kepada para rasul. Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik (halal) dan beramal salehlah kalian.’ (al-Mu’minun: 51)

Dan Dia berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik (halal) dari apa yang telah Kami rezekikan kepada kalian’.” (al-Baqarah: 172)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan (safar) yang panjang hingga rambutnya kusut masai lagi berdebu. Orang itu berdoa dengan menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berseru, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Sementara makanan, minuman, dan pakaiannya haram serta dia diberi makan dengan yang haram[1], maka bagaimana doanya akan dikabulkan?”

 

Seputar Sanad Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1015) dari riwayat Fudhail bin Marzuq, dari ‘Adi bin Tsabit, dari Abi Hazim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 4074), Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (2/328), dan ad-Darimi rahimahullah dalam Sunan-nya (no. 2601).

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata ketika meriwayatkan hadits tersebut, “Hadits ini hasan gharib. Kami mengetahui hadits ini hanya dari Fudhail bin Marzuq.” (Sunan at-Tirmidzi, 4/288)

Hadits ini hasan disebabkan pembicaraan terhadap rawi Fudhail bin Marzuq, walaupun sebagian para imam mentsiqahkan Fudhail, seperti di antaranya Sufyan bin ‘Uyainah, ats-Tsauri, dan satu riwayat dari Ibnu Ma’in.

Ahmad rahimahullah berkata, “Aku tidak mengetahui tentangnya kecuali kebaikan.”

Ibnu ‘Adi berkata, “Aku berharap tidak ada permasalahan pada dirinya.”
Namun sebagian yang lain mendha’ifkannya (melemahkannya) seperti al-Imam an-Nasa’i, ‘Utsman bin Sa’id, dan satu riwayat dari Ibnu Ma’in.

Ibnu Hibban rahimahullah berkata, “Sangat mungkar haditsnya, Fudhail termasuk orang yang melakukan kesalahan dalam periwayatannya terhadap tsiqat. Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari ‘Athiyyah.”

Al-Hakim berkata, “Fudhail bukan perawi yang memenuhi syarat Kitabush Shahih. Al-Imam Muslim rahimahullah dicacat karena meriwayatkan darinya dalam kitab Shahih-nya.”

Al-Hafizh rahimahullah berkata, “Orang yang jujur tapi terkadang keliru.”

Dengan pembicaraan di atas, maka hukum hadits dengan perawi seperti ini adalah hasan, sebagaimana pula dikatakan oleh al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Ghayatul Maram, “Semisal Fudhail, maka yang paling baik keadaannya adalah haditsnya dihasankan dan bukan disahihkan. Sungguh hal ini telah diisyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah berkata, “Dia rawi yang tsiqah (tepercaya) lagi pertengahan. Al-Imam Muslim meriwayatkan haditsnya, sedangkan al-Imam al-Bukhari tidak.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1/258, Mizanul I’tidal, 5/440, al-Mughni fidh Dhu’afa, 2/515, Tahdzibut Tahdzib, 8/268, Taqribut Tahdzib, hlm. 384, Ghayatul Maram, hlm. 30)

Kedudukan Hadits

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah satu dari sekian hadits yang merupakan kaidah dan bangunan hukum Islam…. Hadits mengandung anjuran untuk berinfak dari harta yang halal dan larangan berinfak dari apa yang tidak halal. Disebutkan pula dalam hadits ini bahwa makanan, minuman, pakaian, dan yang semisalnya, sepantasnya diperoleh dari apa yang jelas kehalalannya, tidak ada syubhat di dalamnya, dan orang yang hendak berdoa lebih utama untuk memerhatikan hal ini.” (Syarah Shahih Muslim, 7/100)

Hadits ini juga merupakan salah satu dari pokok-pokok agama karena banyak hukum agama yang berporos di atasnya. (kaset Durus al-Arba‘in an-Nawawiyyah, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)

100-halal

Mahalnya Nilai Kehalalan

Di dalam hadits yang mulia ini disebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu thayyib, yang maknanya di sini Allah subhanahu wa ta’ala disucikan dari segala sifat kekurangan dan aib (celaan). Bagi-Nya berbagai macam kesempurnaan dalam ucapan dan perbuatan. Maka ucapan-Nya adalah sebaik-baik ucapan dan seluruh perbuatan-Nya adalah kebaikan yang penuh dengan hikmah. Sementara kejelekan itu tidaklah disandarkan kepada perbuatan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala jika dikembalikan pada Dzat-Nya, pada nama dan sifat-Nya, maka Dia itu thayyib. Oleh karena itu, hanya Dialah yang berhak untuk mendapatkan ibadah, tidak kepada yang selain-Nya. Hanya kepada-Nyalah satu-satunya yang pantas untuk diarahkan wajah dan hati setiap hamba. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)

Kita ketahui bahwa yang dikatakan thayyib adalah disucikan dari kekurangan, sementara kekurangan yang paling besar dalam amalan atau perkara paling besar yang dapat mengurangi amalan adalah bila (amalan tersebut) ditujukan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala serta dimaksudkan untuk mendapatkan kepentingan dunia.

Karena Allah subhanahu wa ta’ala thayyib dengan makna yang telah disebutkan di atas, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima sesuatu kecuali yang baik dan tidak sepantasnya mendekatkan diri kepada-Nya kecuali dengan apa yang sesuai dan mencocoki makna thayyib tersebut. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/266)

Dengan demikian, tidak pantas seorang hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan bersedekah dari harta yang haram, sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala sendiri tidak menerima sedekah yang demikian sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةً بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةً مِنْ غُلُولٍ

“Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu) dan tidak menerima sedekah dari hasil berbuat ghulul[2].” (Sahih, HR. Muslim no. 224)

Demikian pula dibencinya mengeluarkan sedekah dari barang yang jelek. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧

“Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kalian. Dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian menafkahkannya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (al-Baqarah: 267)

Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima sedekah kecuali dari harta yang baik, demikian pula Dia tidak menerima amalan lainnya kecuali bila amalan itu baik, bersih dari noda riya, ‘ujub (bangga/kagum terhadap diri sendiri), sum‘ah (beramal ingin didengar orang lain), dan semisalnya. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima kecuali perkataan, amalan, dan keyakinan yang baik, yang mencocoki syariat, sesuai dengan tata cara yang diterapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan dalil yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarhul Arba‘in, hlm. 44 )

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa amalan yang baik adalah amalan yang ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan mencocoki syariat. (Kaset Syarhul Arba’in)

Di dalam hadits disebutkan lafadz لاَ يَقْبَلُ (tidak menerima), sementara maknanya adalah Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberi pahala dan ganjaran terhadap pelakunya, Allah subhanahu wa ta’ala tidak ridha, tidak memuji, menyanjung, dan membanggakannya di hadapan para malaikat-Nya. (Jami’ul ‘Ulum, 1/262, Qawa’id wa Fawa’id, hlm. 114)

Hadits ini menunjukkan bahwasanya amalan itu tidak diterima kecuali dengan memakan makanan yang halal, sementara memakan makanan yang haram akan merusak amalan serta mencegah diterimanya amalan tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/210)

Termasuk sebab terbesar yang bisa membantu seorang hamba untuk memperbaiki amalannya adalah dengan memerhatikan makanan berikut kehalalannya. Karena mengonsumsi makanan yang haram akan merusak amalannya. Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada para rasul dan umat mereka (kaum mukminin) untuk memakan makanan yang halal serta agar beramal saleh. Selama makanan yang dimakan itu halal maka amalan saleh yang dilakukan oleh seorang hamba akan diterima. Sebaliknya bila makanan yang dimakan itu haram maka bagaimana bisa diterima amalan saleh yang dilakukan tersebut?

Yang jelas, makanan yang baik dari harta yang halal akan memberikan faedah atau pengaruh terhadap ibadah seorang hamba, terhadap doanya dan terhadap penerimaan amalannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. (Jami’ul ‘Ulum, 1/259—260, Syarhul Arba‘in, hlm. 44 dan kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih Alusy-Syaikh)

Makanan yang halal juga merupakan pendukung dan sebab yang membantu untuk melaksanakan amalan saleh. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/257, Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 81)

Kebanyakan ahlul ilmi mengatakan, “Suatu amalan tidak bisa dinilai sebagai amalan yang saleh hingga pelaksanaannya didapatkan dari harta yang baik.” (Kaset Durus al-Arbai’shallallahu ‘alaihi wa sallam, asy-Syaikh Shalih)

Maka dari itu, shalat tidak bisa teranggap sebagai shalat yang baik hingga di dalamnya ada ucapan yang baik, pakaian yang dikenakan ketika shalat adalah pakaian yang baik, halal, bersih dari najis, dan yang selainnya, dari apa-apa yang mengandung kebajikan. Begitu pun amalan-amalan yang lainnya. Hadits ini hakikatnya memberikan peringatan dan ancaman yang keras dari setiap perkataan, amalan, dan keyakinan yang buruk, yang tidak mencocoki syariat.

Penghalang Terkabulnya Doa

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang melakukan perjalanan (safar) yang panjang, yang ia lakukan dalam rangka melakukan amalan ketaatan, seperti haji, ziarah yang disunnahkan, silaturahmi, dan sebagainya. Namun bersamaan dengan itu, doanya tidaklah dikabulkan karena terhalang oleh makanan, minuman, dan pakaiannya yang haram. Lalu bagaimana dengan doa orang yang tenggelam dalam dunia, hidupnya dipenuhi dengan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala, atau orang yang lalai dalam melakukan berbagai macam ibadah dan kebaikan (tanpa memerhatikan kehalalan makanan dan minuman yang masuk ke dalam perutnya, begitu pula kehalalan pakaian yang dikenakannya)?” (Syarah al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyyah, hlm. 41)

Dengan demikian, kita pahami bahwa salah satu hal yang dapat mendukung terkabulnya doa seorang hamba adalah memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram. Namun ahlul ilmi berselisih pendapat apakah hal tersebut merupakan syarat atau bukan.

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Akan tetapi bisa saja Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa hamba-Nya yang bersifat demikian, karena keutamaan, kelembutan, dan kedermawanan-Nya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/86)

Sebagaimana juga orang-orang kafir dan durhaka, Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada mereka berupa kenikmatan duniawi. (Muqaddimah Ijtima’il Juyusy, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah)

Memang pengabulan doa itu merupakan sifat Rububiyyah Allah subhanahu wa ta’ala seperti halnya memberi rezeki kepada hamba-hamba-Nya, mengaruniakan kesehatan kepada mereka, menurunkan hujan, dan semisalnya dari perkara yang mereka butuhkan. Sifat Rububiyyah ini umum ditujukan, baik untuk mukmin maupun kafir. Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa orang kafir dan yang sejenis mereka bukan karena mereka pantas untuk mendapatkan pengabulan doa, akan tetapi karena mereka berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan hati yang dipenuhi rasa butuh kepada-Nya bersamaan dengan keadaan mereka yang darurat. (Kaset Durus al-Arba’in, asy-Syaikh Shalih rahimahullah)

Masih banyak lagi perkara yang menghalangi terkabulnya doa seperti melakukan perkara yang diharamkan/maksiat, meninggalkan kewajiban, meninggalkan amar ma‘ruf nahi mungkar, dan sebagainya. (Jami’ul ‘Ulum, 1/274—275)

Doa

Sebab Terkabulnya Doa

Ada empat sebab terkabulnya doa yang bisa kita ambil dalam hadits ini:

Pertama: Perjalanan jauh yang ditempuh terlebih lagi dalam waktu yang panjang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لَهُنَّ، لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدَيْنِ عَلَى وَلَدِهِمَا

“Ada tiga doa yang mustajab (dikabulkan) tanpa diragukan: doa orang yang terzalimi, doa musafir, dan doa kedua orang tua untuk kecelakaan anaknya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 32, 481 dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah)

Kedua: Berpakaian lusuh dan usang disertai rambut yang kusut dan berdebu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُبَّ أَشْعَثَ، مَدْفُوْعٍ بِالْأَبْوَابِ، لَوْ قَسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرُّهُ

“Boleh jadi seseorang yang berambut kusut yang diusir oleh manusia dari pintu-pintu mereka, bila ia bersumpah atas nama Allah niscaya Allah akan mewujudkannya.” (Sahih, HR. Muslim no. 2622)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang ini tidak berharga di mata manusia hingga mereka menolaknya dari pintu-pintu mereka serta mengusirnya dengan maksud menghinakannya. Andai orang ini bersumpah agar terjadi sesuatu niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkannya dalam rangka memuliakannya dengan mengabulkan permintaannya serta menjaga orang tersebut agar tidak melanggar sumpahnya. Yang demikian ini disebabkan besarnya kedudukannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala walaupun manusia memandangnya hina. Bisa juga dengan makna yang lain: Bila orang ini berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabulkannya.” (Syarah Shahih Muslim, 16/175)

Demikian pula keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar ke lapangan untuk shalat istisqa’ (untuk meminta hujan kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Beliau mengenakan pakaian yang sangat sederhana, berjalan dengan tawadhu’, merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Ketiga: Menengadahkan kedua tangan ke langit.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa dalam shalat istisqa’, beliau mengangkat tangannya tinggi-tinggi sehingga terlihat putihnya dua ketiak beliau (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1031 dan Muslim no. 896 dari hadits Anas radhiallahu ‘anhu)

Demikian pula ketika memohon kemenangan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam Perang Badr melawan musyrikin, beliau mengangkat tangannya sampai jatuh rida’ (selendang) beliau dari kedua pundaknya. (Sahih, HR. Muslim no. 1763 dari hadits ‘Umar radhiallahu ‘anhu)

Sementara pengangkatan tangan dalam doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kita ketahui ada beberapa cara, di antaranya:

  • Dengan sekadar mengangkat jari telunjuk. Hal ini dilakukan oleh khatib yang sedang berdiri di atas mimbar atau selainnya, kecuali bila ia berdoa meminta hujan. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat berdoa di atas mimbar (Sahih, Muslim no. 874 dari ‘Umarah bin Rabi’ah radhiallahu ‘anha) dan ketika di atas tunggangannya dalam khutbah beliau pada haji Wada’ (Sahih, HR. Muslim no. 1763 dari hadits Jabir radhiallahu ‘anhu yang panjang).
  • Mengangkat tangan dengan tinggi ke langit seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meminta hujan (istisqa’).
  • Mengangkat tangan dengan menengadahkan telapak tangan ke arah langit dan punggung telapak tangan ke arah bumi, sebagaimana cara ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin.
  • Mengangkat tangan dengan menghadapkan punggung telapak tangan ke langit sebagaimana cara ini disebutkan dalam hadits Anas radhiallahu ‘anhu (dalam istisqa’). (Sahih, Muslim no. 896)

Keempat: Mengulang-ulang dalam berdoa dan menyebut sifat Rububiyyah-Nya serta yakin akan dikabulkannya apa yang diinginkan. Juga bertambah sempurna diterimanya doa bila diawali dengan menyebut nama Allah “Ar-Rabb”, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala:

رَبَّنَآ ءَاتِنَا فِي ٱلدُّنۡيَا حَسَنَةٗ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ حَسَنَةٗ وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ٢٠١

“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari api neraka.” (al-Baqarah: 201)

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذۡنَآ إِن نَّسِينَآ أَوۡ أَخۡطَأۡنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تَحۡمِلۡ عَلَيۡنَآ إِصۡرٗا كَمَا حَمَلۡتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِنَاۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلۡنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦۖ

“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau menghukum kami karena kesalahan yang kami perbuat dikarenakan kami lupa atau kami keliru. Wahai Rabb kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami beban yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami apa yang kami tidak sanggup untuk memikulnya.” (al-Baqarah: 286)

Sebagian salaf berkata, “Janganlah memperlambat terkabulnya doa. Sungguh kemaksiatan yang engkau buat telah menutup jalan-jalan terkabulnya doa.”

Seorang penyair berkata,

Kita berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam setiap musibah

Kemudian kita melupakan-Nya tatkala musibah itu telah berlalu

Bagaimana mungkin kita mengharapkan terkabulnya doa

Sementara kita telah menutup jalannya dengan lumuran-lumuran dosa

Faedah Hadits

  1. Sifat Allah subhanahu wa ta’ala adalah sifat yang sempurna, disucikan dari setiap kekurangan dan aib.
  2. Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima amalan, harta, ucapan, dan keyakinan kecuali dari yang baik, halal, dan ikhlas ditujukan kepada-Nya.
  3. Penekanan untuk berinfak dari harta yang halal dan larangan untuk berinfak dari selainnya.
  4. Para nabi dan kaum mukminin sama dalam perkara hukum agama kecuali beberapa perkara yang merupakan kekhususan para rasul yang ditunjukkan dengan dalil yang khusus.
  5. Wajib bagi hamba untuk memerhatikan sisi kehalalan dan kebaikan makanan, minuman, pakaian, dan usaha/mata pencahariannya karena sesuatu yang haram dapat mencegah diterimanya doa dan ibadah.
  6. Makanan yang lezat tapi tidak halal dan baik, akan menjadi bencana bagi orang yang memakannya, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menerima amalannya.
  7. Seseorang akan diberi pahala atas apa yang dia makan apabila ia maksudkan untuk mendapatkan kekuatan dalam melaksanakan ketaatan atau untuk kelangsungan hidupnya, karena hal ini termasuk perkara yang wajib. Berbeda halnya bila seseorang makan semata-mata karena ingin memuaskan selera dan bernikmat-nikmat saja.

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari


[1] Yakni dia dipelihara dan dibesarkan dari perkara yang haram. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/267)

[2] Ghulul adalah berbuat khianat dengan mencuri harta ghanimah (rampasan perang) sebelum dibagikan. (Syarah Shahih Muslim, 3/103)