Manusia Terbaik dan Terburuk

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَثَلُ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَالَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا

“Permisalan seorang mukmin yang membaca (mempelajari) al-Qur’an seperti buah limau: enak rasanya dan harum baunya. Permisalan seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma: enak rasanya, tetapi tidak ada baunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dua jenis manusia ini adalah golongan manusia yang terbaik. Sebab, manusia terbagi menjadi empat jenis:

  1. Manusia yang Memiliki Kebaikan untuk Dirinya Sendiri dan Orang Lain.

Inilah jenis manusia yang terbaik, yaitu seorang mukmin yang membaca al-Qur’an dan mempelajari ilmu agama sehingga bermanfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain. Ia diberkahi di mana pun ia berada. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang Nabi Isa ‘alaihis salam,

وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيۡنَ مَا كُنتُ وَأَوۡصَٰنِي بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱلزَّكَوٰةِ مَا دُمۡتُ حَيًّا

“Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (Maryam: 31)

  1. Manusia yang Memiliki Kebaikan pada Dirinya Sendiri.

Dia adalah seorang mukmin yang tidak memiliki ilmu agama yang dapat diajarkan kepada orang lain.

Dua jenis manusia ini adalah manusia yang terbaik. Sumber kebaikan yang ada pada keduanya terletak pada keimanan mereka, baik keimanan tersebut bermanfaat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan keadaan setiap mukmin.

Baca Juga:

Fatwa Seputar Al-Qur’an

  1. Manusia yang Tidak Memiliki Kebaikan, tetapi Kejelekannya Tidak Berpengaruh kepada Orang Lain.

  2. Manusia yang Memiliki Kejelekan dan Berpengaruh kepada Orang Lain.

Inilah jenis manusia yang terburuk, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ زِدۡنَٰهُمۡ عَذَابًا فَوۡقَ ٱلۡعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يُفۡسِدُونَ

“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan karena mereka selalu berbuat kerusakan.” (an-Nahl: 88)

Jadi, seluruh kebaikan bersumber dari keimanan pada diri seseorang dan yang menyertai keimanan tersebut. Adapun seluruh kejelekan bersumber dari ketiadaan iman pada diri seseorang dan adanya sifat-sifat yang bertentangan dengan keimanan dalam dirinya. Wallahul muwaffiq.

Ini semakna dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ

“Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari mukmin yang lemah, dan semua (mukmin) memiliki kebaikan.” (HR. Muslim no. 2664 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi orang mukmin menjadi dua golongan:

  1. Golongan mukmin yang kuat beramal, kuat keimanannya, kuat memberikan manfaat kepada orang lain; dan
  2. Golongan mukmin yang lemah dalam hal tersebut.

Meski demikian, beliau menjelaskan bahwa kedua golongan mukmin tersebut tetap memiliki kebaikan. Sebab, keimanan dan buah-buahnya, semuanya adalah kebaikan walaupun setiap mukmin berbeda tingkatannya dalam kebaikan tersebut. Ini pun semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنْ الْمُؤْمِنِ الَّذِي ل يُخَالِطُ النَّاسَ وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang berkumpul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak berkumpul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’)

Baca juga: 

Keadaan Seorang Mukmin

Dipahami dari hadits sahih di atas: seseorang yang tidak memiliki keimanan berarti tidak ada sedikit pun kebaikan pada dirinya. Sebab, orang yang tidak memiliki keimanan bisa jadi keadaannya selalu jelek, membahayakan dirinya sendiri dan masyarakatnya dalam segala sisi. Bisa jadi pula, dia memiliki sedikit kebaikan yang larut dalam kejelekannya. Kejelekannya akan mengalahkan kebaikannya karena ketika kebaikan terlarut dan tenggelam dalam kerusakan, ia akan menjadi kejelekan.

Kebaikan yang ada padanya akan diimbangi oleh kejelekan yang semisal.

Akhirnya, gugurlah kebaikan dan kejelekan tersebut dan yang tersisa hanyalah kejelekan yang tiada lagi kebaikan untuk mengimbanginya. Siapa pun yang memperhatikan kenyataan yang ada pada manusia akan mendapati keadaan mereka sesuai dengan apa yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

(Diambil dari at-Taudhih wal Bayan li Syajaratil Iman hlm. 60—62, karya asy-Syaikh as-Sa’di rahimahullah)

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar