Memaknai Hakikat Pertemanan

Setiap manusia normal di muka bumi ini tentu mempunyai teman atau kawan. Di setiap jenjang usia, mulai dari kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga kita berusia senja, selalu ada teman yang mengisi dan mengiringi langkah hidup kita. Bahkan ada yang turut mewarnai hitam atau putihnya lembaran hidup kita. Bukan sekadar pengaruh nilai-nilai kebaikan atau kejelekan secara umum, namun lebih khusus adalah pengaruhnya terhadap agama kita.
Betapa banyak teman yang menjadi faktor atau sebab seseorang berkubang dengan kemaksiatan, tenggelam dalam lumpur dosa ataupun kesyirikan. Sebaliknya, banyak teman yang menawarkan “angin surga” dengan menjadikan agama kita menjadi lebih baik, akhlak kita menjadi lebih mulia, yang akhirnya menjadikan kita sebagai manusia yang bermartabat.
Islam, sebagai agama nan sempurna yang mengatur setiap perkara dari umatnya, juga tak lengang dari adab-adab atau tuntunan dalam hal berteman. Berteman yang bukan sekadar berteman, namun dilandasi serta memiliki nilai ibadah. Jika kita bisa memilih teman yang baik lantas berteman dengan mereka secara baik pula (menurut syariat), tentu tak hanya janji pahala di akhirat, namun di dunia, kita pun juga akan menikmati manfaatnya secara langsung.
Yang namanya pertemanan tentu juga tidak seperti pertemanan dalam politik yang menakar segalanya dari kepentingan dengan menomorduakan agama. Tak sadar bahwa dia berangkat dengan mengusung jargon-jargon keislaman, namun selama hajat politik mereka belum tertunaikan, syariat pun rela dilabrak sana-sini. Tak peduli bahwa dia tengah berteman dekat   dengan orang-orang kafir atau tokoh-tokoh yang lisannya acap mengumbar hujatan terhadap syariat Islam.
Di dalam rumah tangga, kita pun mempunyai teman yang sangat dekat yakni istri atau suami. Sebelum menentukan siapa “teman dekat” kita ini, jauh-jauh hari Islam menuntunkan agar menjadikan agama sebagai pertimbangan utama dalam memilihnya. Dan faktanya, banyak suami atau istri yang menyimpang karena kuat dipengaruhi pasangan hidupnya. Bukan hanya menyimpang dalam hal-hal yang bersifat materi namun juga menyangkut agamanya. Dan yang seperti ini tidaklah menimpa orang-orang biasa seperti kita, namun juga menimpa orang-orang yang berilmu.
Maka, jangan sampai kita berteman dengan kawan-kawan yang jelek, yang pada akhirnya menetaskan kejelekan bagi kita. Lebih-lebih, kita justru mencampakkan teman-teman kita yang baik. Kalau sudah begini tak hanya kerugian di dunia yang kita tuai, namun juga kesengsaraan di akhirat kelak -kecuali Allah l memang menghendaki lain-. Karena teman-teman berikut pergaulan yang jeleklah yang akan mengatup pintu-pintu kebaikan.
Sehingga ketika kita memahami bahwa agamalah yang harus menjadi pertimbangan utama dalam hal memilih teman, maka tak selayaknya kita menawar kebaikan sementara kita masih berkawan dengan teman-teman yang buruk, baik itu ahli maksiat, yang suka berkubang dengan kebid’ahan dan kesyirikan, yang fanatik buta dengan kelompok atau partainya, dan sebagainya.
Dengan berpijak di atas agamalah, kita akan benar-benar bisa memaknai hakikat pertemanan yang sesungguhnya.