Mengusap Khuf

Kami susulkan pembahasan mengusap khuf ini setelah menjelaskan tentang tata cara dan ketentuan wudhu yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena mengusap khuf berkaitan dengan salah satu anggota wudhu yaitu kaki.

 

Pengertian Khuf

Khuf adalah sesuatu yang dikenakan pada kaki, yang terbuat dari kulit atau selainnya.[1] (al-Mas-hu ‘alal Khuffaini, bab “Fatawa fil Mas-hi alal Khuffaini”; asy-Syarhul Mumti’, 1/182)

 

Dasar Hukum Mengusap Khuf

Bila seseorang yang berwudhu dalam keadaan mengenakan khuf, maka ia tidak perlu membuka khufnya untuk mencuci kaki namun cukup sebagai gantinya mengusap di atas khufnya.

Demikian as-Sunnah menerangkan dalam permasalahan ini. Ulama Ahlus Sunnah sepakat tentang pensyariatan mengusap khuf, menyelisihi kelompok Syi’ah Rafidhah yang menyempal dari jalan yang haq.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pengingkaran kelompok Syi’ah Rafidhah terhadap sunnah ini merupakan syi’ar (tanda) mereka.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/182)

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata, “Telah masyhur di kalangan ulama syariat tentang kebolehan mengusap khuf, sampai-sampai perkara ini terhitung sebagai syi’ar Ahlus Sunnah dan pengingkaran terhadap hal ini teranggap sebagai syi’ar ahlul bid’ah.” (Ihkamul Ahkam, 1/114)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Tidaklah didapati pengingkaran dalam masalah mengusap khuf ini kecuali dari orang yang bodoh dan dari kalangan ahlul bid’ah yang keluar dari jamaah kaum muslimin (kalangan fuqaha dan ahli atsar).” (at-Tamhid, 11/134)

Dalil tentang mengusap khuf dalam al-Qur’an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Usaplah kepala-kepala kalian dan kaki-kaki kalian sampai mata kaki.” (al-Maidah: 6)

Dengan mengkasrah huruf lam pada bacaan[2] وَأَرۡجُلَكُمۡ (mengusap kaki-kaki kalian) mengikuti lafadz بِرُءُوسِكُمۡ (mengusap kepala-kepala kalian) sehingga kaki diusap sama halnya dengan kepala. Namun yang diusap di sini bukanlah kaki telanjang tetapi kaki yang mengenakan khuf sebagaimana dijelaskan dalam Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hadits-hadits dari beliau tentang mengusap khuf mencapai derajat mutawatir. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 6/62—63, Fathul Bari, 1/618)

Di antara hadits-hadits yang menyebutkan tentang mengusap khuf adalah sebagai berikut. Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu berkata,

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ فِي سَفَرٍ، فَأَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ. فَقَالَ: دَعْهُمَا، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ؛ فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا.

Aku pernah menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu safar, (tatkala beliau berwudhu) aku pun menjulurkan tanganku untuk melepas dua khuf yang sedang beliau kenakan. Namun beliau berkata, “Biarkan dua khuf ini (jangan dilepas) karena aku memasukkan keduanya[3] dalam keadaan suci.” Beliau pun mengusap di atas kedua khuf tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)

Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu menuturkan pengalamannya bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ، فَبَالَ قَائِمًا، فَتَنَحَيْتُ، فَقَالَ : اُدْنُه. فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقْبَيْهِ، فَتَوَضَّأَ، فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ.

Aku pernah berjalan menyertai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau berhenti di tempat pembuangan sampah suatu kaum dan kencing di situ dalam keadaan berdiri. Aku pun menyingkir dari beliau, namun beliau berkata, “Mendekatlah!”[4] Aku pun mendekat hingga aku berdiri di sisi kedua tumit beliau. Kemudian beliau berwudhu dan mengusap di atas dua khufnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim no. 273)

Sa’d bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas dua khufnya (ketika berwudhu). Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma menanyakan hal ini kepada ayahnya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu, ‘Umar pun menjawab, “Iya, Nabi mengusap di atas dua khufnya. Apabila Sa’d telah menceritakan kepadamu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jangan engkau pertanyakan kepada selainnya.” (HR. al-Bukhari no. 202)

Hammam berkata bahwa Jarir radhiallahu ‘anhu kencing, kemudian ia berwudhu dan mengusap di atas dua khufnya. Ada seseorang yang bertanya kepadanya, “Engkau melakukan hal ini?” Jarir menjawab,

نَعَمْ. رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ بَالَ، ثُمَّ تَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ

“Iya, aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian berwudhu dan mengusap di atas dua khufnya.” (HR. al-Bukhari no. 387 dan Muslim no. 272)

Adapun anggapan bahwa hadits-hadits tentang pengusapan khuf itu hukumnya terhapus (mansukh) dengan perintah mencuci kedua kaki dalam surat al-Maidah ayat 6, tidaklah benar. Anggapan itu terbantah oleh hadits Jarir radhiallahu ‘anhu yang telah kita bawakan di atas, karena keislaman beliau setelah turunnya surat al-Maidah.

Ibrahim an-Nakha’i rahimahullah berkata, “Hadits Jarir radhiallahu ‘anhu ini mengagumkan mereka, karena Jarir masuk Islam setelah turunnya surat al-Maidah.”

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Seandainya Islamnya Jarir lebih dahulu sebelum turunnya ayat dalam surat al-Maidah, maka dimungkinkan haditsnya dalam masalah mengusap khuf mansukh dengan ayat ini. Namun ternyata Jarir masuk Islam setelah turunnya ayat ini, maka jelas bagi kita bahwa hadits ini tetap diamalkan. Sementara itu, yang diinginkan oleh surat al-Maidah berlaku bagi selain pemakai khuf (adapun yang memakai khuf tidak perlu ia mencuci kakinya namun cukup mengusap di atas dua khufnya). Dengan demikian, as-Sunnah yang ada di sini menjadi pengkhusus bagi ayat al-Qur’an, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 3/164—165)

Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Hadits Jarir radhiallahu ‘anhu ini adalah hadits yang mufassar (yang memberi penjelasan), karena ada sebagian orang yang mengingkari pengusapan khuf ini dengan menakwil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap khufnya sebelum turunnya surat al-Maidah, sedangkan Jarir radhiallahu ‘anhu dalam haditsnya menyebutkan bahwa ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap khufnya setelah turunnya surat al-Maidah.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/64)

Di samping itu, yang juga menerangkan tidak benarnya anggapan mansukh-nya hadits tentang mengusap khuf adalah kisah al-Mughirah bin Syu’bah yang membawakan air untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sedang buang hajat. Setelah selesai dari buang hajat, al-Mughirah menuangkan air untuk beliau hingga beliau berwudhu dan mengusap di atas kedua khufnya. (HR. al-Bukhari no. 203)

Kisah ini terjadi dalam Perang Tabuk, sementara ayat wudhu dalam surat al-Maidah turun dalam Perang al-Muraisi’. Perang Tabuk sendiri terjadi setelah Perang al-Muraisi’. (Fathul Bari,1/385, Subulus Salam, 1/89, Nailul Authar, 1/256)

Kesepakatan Umat tentang Pengusapan Khuf & Mutawatirnya Masalah Ini

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata,“Tidak didapati perselisihan pendapat di kalangan sahabat tentang mengusap di atas khuf. Adapun setiap sahabat yang didapatkan padanya pengingkaran terhadap masalah ini, maka didapati pula periwayatan yang menetapkan mengusap khuf ini darinya.” (al-Ausath, 1/434)

Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tiga puluh tujuh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan tentang mengusap khuf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Musnad al-Imam Ahmad, 4/363)

Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri rahimahullah, ia berkata, “Tujuh puluh orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bercerita kepadaku bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas kedua khuf yang dikenakannya.” (al-Ausath, 1/433) Ibnul Mundzir rahimahullah menyebutkan, di antara para sahabat itu adalah Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, ‘Amr bin al-’Ash, Abu Umamah al-Bahili, Qais bin Sa’d, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah bin al-Harits, Abu Sa’id al-Khudri, ‘Ammar bin Yasir, Abu Zaid al-Anshari, Jarir bin Abdillah, Jarir bin Samurah, Abu Mas’ud al-Anshari, al-Barra bin ‘Azib, serta diriwayatkan pula dari Ma’qil bin Yasar, Kharijah bin Hudzafah, Abdullah bin ‘Amr, dan Bilal radhiallahu ‘anhum. (al-Ausath, 1/427—429)

Demikian pula al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (1/63) dua puluh orang sahabat, yaitu ‘Umar, ‘Ali, Hudzaifah, al-Mughirah, Bilal, Sa’d, Abu Ayyub, Salman, Buraidah, ‘Amr bin Umayyah, Anas, Sahl bin Sa’a, Ya’la bin Murrah, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Usamah bin Syarik, Jabir, Usamah bin Zaid, Ibnu ‘Ubadah, atau Ibnu Imarah dan Ubay bin Imarah radhiallahu ‘anhum.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menukilkan kesepakatan ulama dalam masalah pengusapan khuf. (Syarah Shahih Muslim lin Nawawi, 3/164)

 

Syarat Mengusap Khuf

Syarat dibolehkannya mengusap khuf adalah ketika orang tersebut mengenakan khuf dalam keadaan suci (telah berwudhu) dengan sempurna termasuk mencuci kedua kakinya (Ihkamul Ahkam, 1/115), tidak hanya sekadar bersih dari najis seperti pendapatnya Dawud adz-Dzahiri (Subulus Salam, 1/89, Nailul Authar, 1/260)

Demikian ditunjukkan dalam hadits al-Mughirah bin Syu’bah, yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

دَعْهُمَا، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ

“Biarkan dua khuf ini (jangan dilepas) karena aku memasukkan keduanya[5] dalam keadaan suci.” (HR. al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini ada dalil bahwa mengusap khuf itu tidak dibolehkan kecuali bila mengenakannya dalam keadaan di atas thaharah yang sempurna dengan cara ia telah selesai dari berwudhu secara sempurna kemudian setelahnya ia mengenakan kedua khufnya.” (Syarah Shahih Muslim, 3/170)

Selain kedua kaki dalam keadaan suci, tentunya khuf yang dikenakan juga harus suci dari najis. Bila terdapat najis, maka tidak dibolehkan untuk mengusapnya melainkan harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalil dalam hal ini adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya dalam keadaan beliau mengenakan sendal, tiba-tiba di tengah shalat beliau melepaskan sendalnya tersebut. Selesai shalat, beliau sampaikan kepada para sahabatnya bahwa Jibril ‘alaihissalam memberitahukan pada kedua sandal beliau ada kotoran. (HR. Abu Dawud no. 555. Dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam, 1/526)

Syarat lainnya adalah mengusapnya pada waktu yang ditetapkan, yaitu sehari semalam untuk mukim dan tiga hari tiga malam untuk musafir, sebagaimana akan dijelaskan, insya Allah.

Termasuk pula dalam syarat mengusap khuf adalah seseorang dibolehkan untuk mengusap khufnya selama hadats yang menimpanya hanyalah hadats kecil, bukan hadats besar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Shafwan bin ‘Assal yang akan datang penyebutannya.

Bagian Khuf yang Diusap

Adapun bagian yang diusap dari khuf tersebut diperselisihkan oleh ulama:

  1. Sekelompok ulama mengatakan yang diusap adalah bagian atas dan bawah khuf, ini pendapatnya Ibnu ‘Umar, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, az-Zuhri, Malik, Ibnul Mubarak, Ishaq, serta diriwayatkan pendapat ini dari Sa’d bin Abi Waqqash, Makhul, dan asy-Syafi’i.
  2. Kelompok ulama yang lain berpendapat cukup diusap bagian luar/ atas khuf tidak perlu mengusap bagian dalam/bawah khuf. Demikian pendapat Qais bin Sa’d, Anas bin Malik, al-Hasan, ‘Urwah, Ibrahim, ‘Atha, asy-Sya’bi, ats Tsauri, al-Auza’i, Ahmad, Ashhabur Ra’yi. (al-Ausath, 1/452—453)

Setelah melihat perselisihan tersebut beriktu setiap pendapat yang ada, wallahu ta‘ala a‘lam, yang rajih adalah pendapat kedua dengan dalil hadits-hadits yang ada dalam masalah ini, seperti hadits ‘Ali radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama itu dengan akal niscaya yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah khuf daripada bagian atasnya.[6] Sungguh aku melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas kedua khufnya.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad, 2/100)

Sementara itu, cara pengusapannya dilakukan dengan kedua tangan secara bersama-sama di atas kedua kaki, yakni tangan kanan mengusap kaki kanan sedangkan tangan kiri mengusap kaki kiri pada saat yang bersamaan, sebagaimana mengusap kedua telinga. Demikian dzahir yang ditunjukkan dalam as-Sunnah dengan ucapan al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap di atas kedua khufnya.”

Al-Mughirah radhiallahu ‘anhu tidak mengatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dari kaki kanannya.

Ada orang yang memulai pengusapan dengan kaki kanannya kemudian kaki kirinya, dan kebanyakan manusia mengusap dengan kedua tangannya di atas kaki kanan dan setelahnya mengusap dengan kedua tangannya di atas kaki kiri.

Cara seperti ini jelas tidak ada asalnya dari apa yang kami ketahui, bahkan ulama hanya mengatakan, “Mengusap dengan tangan kanan di atas kaki kanan dan tangan kiri di atas kaki kiri. Namun bagaimana pun cara pengusapan dilakukan tetaplah mencukupi, hanya saja yang lebih utama adalah apa yang telah kami sebutkan.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/177)

 

(insya Allah bersambung)

 

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

 


[1] Semacam sepatu dan kaos kaki (-pen.), yaitu yang menutupi dua mata kaki. Adapun jika ukurannya di bawah dua mata kaki maka tidak dikategorikan sebagai khuf, berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, Muttafaqun ‘Alaih, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang boleh dikenakan oleh seorang yang muhrim (sedang ihram dalam ibadah haji) maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab di antaranya,

وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ مَنْ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

“Janganlah dia memakai khuf (sepatu) kecuali orang yang tidak menemukan sendal, maka hendaklah dia memotong khuf itu sampai di bawah mata kaki.”

Yaitu supaya bukan lagi sebagai khuf. (Lihat Majmu’ Fatawa, 21/190, dan 21/192)

[2] Namun bacaan dengan cara men-jarr-kan di sini adalah bacaan yang lemah sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan yang telah lalu tentang kedua kaki dicuci bukan diusap, Asy-Syariah no. 06/Muharram 1425 H.

[3] Yaitu kedua kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana diterangkan pada catatan kaki no. 5.

[4] Ulama mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta Hudzaifah radhiallahu ‘anhu untuk mendekat ketika beliau sedang kencing dengan tujuan menutupi beliau dari pandangan manusia dan selainnya. (Syarah Shahih Muslim, 3/167) 233

[5] Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Perkataan ‘Aku memasukkan keduanya,’ yakni kedua kaki dalam keadaan suci, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian lafadz-lafadz hadits ini.” (asy-Syarhul Mumti’, 1/189)

Seperti dalam riwayat Abu Dawud (no. 130) dan selainnya disebutkan dengan lafadz:

دَعِ الُخُفَّيْنِ، فَإِنِّي أَدْخَلْتُ الْقَدَمَيْنِ الْخُفَّيْنِ وَهُمَا طَاهِرَتَانِ

“Biarkan dua khuf ini, karena aku memasukkan kedua kakiku ke dalam khuf ini dalam keadaan kedua kakiku suci.”

[6] Agama ini bukan diukur dengan akal maka yang diusap bukan bagian yang biasanya bersentuhan dengan kotoran, atau menginjak kotoran namun justru bagian atasnya. (‘Aunul Ma’bud, 1/192)

Namun bila kita mau merenungkan maka kita dapatkan mengusap di atas khuf lebih pantas dan justru masuk akal. Hal ini karena yang dimaukan dengan mengusap khuf di sini bukan untuk membersihkan khuf dan menyucikannya dari kotoran, namun yang dimaukan adalah ta’abbud (menunaikan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala). Justru bila yang diusap bagian bawah khuf maka akan mengotori tangan kita dan meratakan kotoran yang mungkin ada di bawah khuf itu ke seluruh bagiannya. (asy-Syarhul Mumti’, 1/313)