Merenungi Ketaatan dan Kemaksiatan (2)

Sepeluh Bahan Renungan – Bagian 2

Ketiga: Seseorang merenungi kondisi dirinya, dengan mengintrospeksi amalannya, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatannya. Seorang mukmin akan melakukan ketaatannya dengan penuh semangat, tidak mengharapkan selain wajah Allah Subhanahu wata’ala dan negeri akhirat. Apabila muncul keinginan pada sesuatu yang sifatnya duniawi, ia arahkan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Ia arahkan pada sesuatu yang diharapkan bisa membantunya dalam usaha menuju akhiratnya. Kalau memang harus mengambil duniawinya, maka pada sesuatu yang dia perhitungkan tidak akan menghambatnya dalam usahanya

menuju akhirat. Dalam semua keadaannya, dia tetap bertawakal kepada AllahSubhanahu wata’ala, berharap kepada-Nya untuk memilihkan untuknya apa yang baik dan bermanfaat baginya. Setelah itu, ia melaksanakan ketaatan dengan penuh kekhusyukan, dengan merasa bahwa Allah Subhanahu wata’alamelihat dirinya

dan melihat apa yang ada dalam dirinya, lalu melakukan ketaatan itu sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wata’alasyariatkan. Bersamaan dengan itu, ia seperti yang Allah Subhanahu wata’ala katakan,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوا وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (al- Mukminun: 60)

Dia khawatir niatnya tidak ikhlas, karena niat ikhlas itu bisa jadi dari seseorang yang imannya kuat, bisa jadi pula dari orang yang imannya lemah yang ketaatannya itu hanya dalam rangka kehati-hatian. Namun, bisa jadi pula tidak ikhlas, bahkan tercampuri oleh keinginan untuk mendapatkan balasan duniawi demi dunia juga. Di antaranya bertujuan meredam syahwatnya pada sesuatu yang

tidak disyariatkan (meredamnya); atau bertujuan menguatkan fisik, atau agar bermanfaat untuk badannya, seperti yang berpuasa agar sehat, shalat tarawih agar melancarkan pencernaan makanannya, dll. Contoh lainnya, melaksanakan ketaatan tetapi tujuannya adalah menyegarkan jiwa (refreshing), seperti datang shalat Jum’at dengan tujuan sambil jalan-jalan, agar bisa bertemu teman-temannya dan tahu berita mereka. Atau bertujuan untuk mencari perhatian manusia agar mereka memuji dan menyanjungnya, sehingga kedudukannya semakin tinggi. Dengan demikian, ia bisa mencapai tujuan-tujannya tanpa mereka membencinya, dan berbagai niat lainnya. Misalnya, seseorang yang berilmu yang ingin agar orang-orang melihatnya, mengagungkannya, dan meminta fatwa kepadanya, sehingga ilmunya terkenal dan semakin tinggi kedudukannya, atau tujuan-tujuan selain itu.

Seorang mukmin, walaupun niatnya sendiri telah ikhlas, dia pribadi tidak bisa meyakinkan hal itu pada dirinya. Seorang mukmin senantiasa khawatir dan takut untuk tidak melakukan ketaatan sesuai dengan yang disyariatkan. Kekhawatiran seorang mukmin senantiasa berlanjut saat menengok kembali ketaatan-kataatannya yang telah lalu. Ia hanya berharap bahwa Allah Subhanahu wata’ala telah mengabulkannya dengan ampunan dan kemurahan-Nya. Ia khawatir kalau amal itu tertolak disebabkan cacat yang ada pada dirinya— walaupun ia tidak merasa—atau ada cacat pada fondasinya, yaitu iman. Inilah keadaan seorang mukmin dalam hal ketaatan, lantas bagaimana halnya dengan maksiatnya? Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ () وَإِخْوَانُهُمْ يَمُدُّونَهُمْ فِي الْغَيِّ ثُمَّ لَا يُقْصِرُونَ

“Sesungguhnya apabila orang-orang yang bertakwa ditimpa waswas dari setan, mereka ingat kepada Allah, ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan).” (al- A’raf: 201—202)

Dalam diri seorang mukmin, iman bertarung dengan hawa nafsu. Terkadang setan mengendalikannya hingga melenakannya dari kekuatan iman, sehingga hawa nafsunya mengalahkannya dan menyungkurkannya. Saat berbuat maksiat, jiwanya memeranginya, sehingga kenikmatan maksiat itu tidak murni dia rasakan. Tidaklah sisi tubuhnya hampir terjatuh di atas bumi melainkan ia telah tersadar. Ia kemudian berusaha mengembalikan kekuatan imannya sehingga ia menggigit jarinya karena rasa sesal dan sedih atas kelalaiannya yang telah dimanfaatkan oleh musuhnya untuk mengalahkan dirinya. Ia bertekad untuk tidak kembali kepada kelalaiannya tersebut.

Adapun teman-teman setan, setan akan memberikan bantuannya dalam kesesatannya. Mereka pun terdukung oleh setan dalam kesesatan tersebut. Setan akan menghias-hiasi angan–angan mereka, sehingga mereka merasa puas (dengan maksiat dan kesesatannya). Di antara angan-angan setan itu adalah ia berkata (baik terucap maupun dalam batin), “Allah Subhanahu wata’ala telah takdirkan ini pada diri saya, apa yang Dia kehendaki mesti terjadi….”, “Ulama berbeda pendapat tentang hukum perbuatan ini, apakah ini dosa besar atau bukan, dan dosa kecil itu gampang urusannya….”, “Saya masih punya banyak kebaikan yang bisa menutupi dosa ini….”, “Barangkali Allah Subhanahu wata’ala mengampuni saya….”, “Barangkali fulan akan memberi saya syafaat….”, “Nanti saya akan bertobat….”, Paling bagusnya, dia hanya akan mengucap “astaghfirullah”, merasa telah bertobat, dan telah terhapus dosanya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِّن دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِينًا () يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ ۖ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا () أُولَٰئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَلَا يَجِدُونَ عَنْهَا مَحِيصًا () وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَنُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۖ وَعْدَ اللَّهِ حَقًّا ۚ وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ قِيلًا () لَّيْسَ بِأَمَانِيِّكُمْ وَلَا أَمَانِيِّ أَهْلِ الْكِتَابِ ۗ مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا () وَمَن يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

(Setan berkata,) “Dan aku benarbenar akan menyesatkan mereka, akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah) lalu benar-benar mereka mengubahnya.” Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. Mereka itu tempatnya Jahannam dan mereka tidak memperoleh tempat lari darinya.

Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan sesuai dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah. Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka  tidak dianiaya walau sedikit pun. (an- Nisa: 119—124)

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَٰذَا الْأَدْنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِن يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِّثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِم مِّيثَاقُ الْكِتَابِ أَن لَّا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata, “Kami akan diberi ampun.” Kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah

perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (al- A’raf: 169)

Dalam sebuah hadits pada kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ فَقَالَ بِهِ هَكَذَا

“Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah gunung, khawatir gunung itu akan menjatuhinya. Adapun pendosa, ia melihat dosadosanya bagaikan lalat yang hinggap pada hidungnya, lalu dia halau begitu saja.”

(diterjemahkan dan diringkas oleh al-Ustadz Qomar Suaidi ZA dari kitab al-Qaid ila Tashihil Aqaid) (Bersambung, insya Allah)