Pelajaran dari Surat Al ‘Ashr

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Terkecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta nasihat-menasihati agar menaati kebenaran dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.
(al-‘Ashr: 1—3)

Terkait dengan surat yang mulia ini, al-Imam asy-Syafi’i t pernah berkata, “Seandainya manusia mentadabburi surat ini niscaya surat ini melapangkan mereka.”
Sebuah surat yang pendek, hanya terdiri dari tiga ayat, namun demikian agung kandungannya. Di dalamnya termuat keterangan tentang sebab kerugian dan keberuntungan. Tentu setiap orang yang berakal menginginkan keberuntungan dan ingin menghindar dari kerugian. Namun, bisa jadi ia tidak mengetahui apa saja yang dapat menjatuhkannya ke dalam kerugian sehingga ia bisa menghindarinya. Ia tidak tahu pula cara-cara yang akan mengantarkannya kepada keberuntungan sehingga ia bisa mengupayakannya.
Allah l memberi anugerah kepada para hamba-Nya dengan menerangkan hal tersebut kepada mereka dalam sebuah surat yang pendek. Surat yang mudah dihafal dan dipahami oleh orang dewasa dan anak kecil, orang awam dan orang yang belajar, agar tegak hujjah-Nya terhadap para hamba-Nya, dan agar orang yang menginginkan keselamatan diri dapat mengamalkannya.
Allah l bersumpah menyebut masa yang manusia ada padanya dalam kehidupan dunia. Demikianlah, Allah l bersumpah dengan apa saja dari makhluk-Nya yang Dia inginkan. Adapun makhluk tidak boleh bersumpah dengan selain nama Allah l, karena bersumpah selain menyebut Allah l adalah perbuatan syirik1.
Tidaklah Allah l bersumpah menyebut makhluk-Nya melainkan di dalamnya ada rahasia yang agung dan hikmah yang tinggi, agar pandangan mengarah kepadanya, baik untuk mengambil pelajaran maupun faedah. Dalam ayat ini, Allah l bersumpah dengan masa, yang merupakan zaman dan waktu tempat manusia hidup dalam kehidupan dunia ini. Perjalanan waktu sarat dengan pelajaran. Waktu dan zaman adalah pergantian malam dan siang, tempat berlangsungnya berbagai kejadian, peristiwa, dan perubahan; di samping ada faedah/manfaat yang agung bagi manusia jika pandai menggunakannya dalam urusan yang bermanfaat.
Allah l bersumpah bahwa seluruh manusia merugi di dunia dan di akhirat. Sama saja, baik ia orang berpunya maupun papa, kaya maupun miskin, pandai maupun bodoh, mulia maupun rendahan, lelaki maupun perempuan, selain orang yang mengisi waktu dengan empat hal: iman, amal saleh, berwasiat dengan kebenaran, dan berwasiat dengan kesabaran.
Iman adalah pembenaran hati yang tidak bermanfaat jika tanpa amal. Seperti kata al-Hasan al-Bashri t, “Iman itu bukan dengan berhias-hias, bukan pula dengan berangan-angan. Akan tetapi, iman adalah apa yang menetap dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.”
Tidak semua amalan itu teranggap saleh kecuali jika terkumpul di dalamnya: ikhlas karena Allah l, bersih dari seluruh macam kesyirikan, dan mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah n, disertai dengan meninggalkan semua bid’ah.
Ada orang yang berpayah-payah melakukan kebajikan namun hanya kemanfaatan duniawi yang menjadi tujuan. Jelas, hal ini menjauhkan mereka dari Allah l dan dari surga-Nya karena tidak ada pada amalan tersebut salah satu atau kedua syarat: ikhlas dan mutaba’ah.
Allah l berfirman:
“Banyak wajah pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas, diberi minum dengan air dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (al-Ghasyiyah: 2—7)
Ibnu Abbas c dan Qatadah t menafsirkan bahwa wajah-wajah itu tertunduk dan amalannya tidak bermanfaat. Dalam ayat disebutkan:
“Bekerja keras lagi kepayahan.”
Maksudnya, mereka melakukan amalan yang banyak yang memayahkan mereka. Namun, mereka masuk neraka karena amalan tersebut tidak di atas perkara yang disyariatkan.
Jika seperti ini keadaan orang-orang yang beramal—yakni beramal bukan di atas petunjuk—bagaimana halnya dengan keadaan orang-orang yang tidak beramal sama sekali? Mereka hidup di dunia ini sebagaimana kehidupan binatang ternak. Hidup semata untuk perut dan kemaluan. Tidak mau mengerjakan shalat, enggan berzakat, dan tidak berhati-hati menjaga diri dari yang haram, serta tidak menahan diri dari dosa dan kejahatan. Kita memohon keselamatan dan hidayah kepada Allah l.
Dalam firman Allah l:
Yang dimaksud adalah memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, berdakwah kepada Allah l di atas bashirah/ilmu dan dengan hikmah, mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lalai. Dengan demikian, seseorang tidak cukup beramal saleh dan hanya memperbaiki dirinya sendiri. Seharusnya ia juga berupaya memperbaiki orang lain karena seseorang itu tidak menjadi mukmin yang hakiki sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya2. Seseorang tidak selamat dari kerugian dan tidak beroleh keuntungan melainkan jika ia berupaya memperbaiki dirinya dan orang lain. Ini menunjukkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bukan termasuk campur tangan terhadap urusan orang lain, sebagaimana ucapan sebagian orang jahil masa ini. Orang yang beranggapan seperti ini tidak tahu bahwa yang melakukan amar ma’ruf nahi mungkar adalah orang yang menginginkan kebaikan bagi manusia, menginginkan keselamatan mereka dari azab Allah l, dan menyelamatkan mereka dari kebinasaan. Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَؤُا الْمُنْكَرَ وَلَمْ يُغَيِّرْهُ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِهِ
“Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran dan tidak berusaha mengubahnya, hampir-hampir Allah meratakan azab dari sisi-Nya terhadap mereka.” (HR. Abu Dawud no. 4338 dan at-Tirmidzi no. 2169, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Allah l telah melaknat Bani Israil karena mereka tidak saling melarang kemungkaran yang mereka perbuat.3
Sekarang kita membicarakan firman Allah l:
“… dan nasihat-menasihati agar menetapi kesabaran.”
Sabar adalah menahan diri di atas ketaatan kepada Allah l dan menjauhkan diri dari bermaksiat kepada-Nya. Sabar ada tiga macam: sabar di atas ketaatan kepada Allah l, sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah l, dan sabar terhadap takdir Allah l yang menyakitkan.
Kesesuaian penyebutan sabar setelah penyebutan berwasiat dengan kebenaran adalah bahwa orang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan berhadapan dengan gangguan manusia, baik berbentuk ucapan maupun perbuatan. Maka dari itu, ia wajib bersabar menghadapinya dan terus-menerus beramar ma’ruf nahi mungkar. Ia harus sabar menanggung gangguan yang didapatkannya dari manusia, karena orang yang tidak sabar menghadapi gangguan mereka tidak akan bisa terus-menerus menasihati mereka.
Hamba Allah l yang saleh, Luqman al-Hakim, pernah berkata kepada putranya, sebagaimana yang diabadikan oleh Allah l dalam Al-Qur’an yang mulia:
”Wahai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik, cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan oleh Allah.” (Luqman: 17)
Para nabi berkata kepada umat mereka:
”Kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kalian lakukan terhadap kami.” (Ibrahim: 12)
Orang yang tidak memiliki kesabaran tidak pantas menunaikan tugas memperbaiki manusia. Bahkan, ia pun tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki dirinya. Oleh karena itu, Amirul Mukminin Ali ibnu Abi Thalib z berkata, “Kedudukan sabar dalam agama ini sebagaimana keberadaan kepala pada jasad.”
Al-Imam Ahmad t berkata pula, “Kami dapati sebaik-baik urusan kami dengan kesabaran.”
Demikianlah, surat al-Ashr ini adalah surat yang agung. Ia merupakan mukjizat. Ringkas lafadz-lafadznya namun mendalam maknanya. Ia merangkum sebab-sebab kebahagiaan secara keseluruhan dan berisi peringatan akan sebab-sebab kesengsaraan seluruhnya. Seandainya orang yang paling fasih ingin menerangkan seluruh sebab kebahagiaan dan sebab kesengsaraan, niscaya ia membutuhkan buku yang tebalnya berjilid-jilid. Itu pun terkadang tidak sampai pada yang ia inginkan. Akan tetapi, surat al-Ashr memuat semuanya karena dia adalah kalamullah yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari depan atau belakangnya. Jin dan manusia tidak mampu mendatangkan surat yang semisalnya.
Sebagai pesan yang tidak patut diluputkan, bertakwalah kalian, wahai kaum muslimin! Jadikanlah surat al-Ashr sebagai pegangan hidup kalian dalam berjalan menuju Allah l. Janganlah kalian menyia-nyiakan pengamalannya hingga menjadi orang-orang yang merugi.
Bertakwalah kalian kepada Allah l! Jagalah waktu kalian agar tidak terbuang percuma sebagaimana kalian harus menjaga amalan kalian jangan sampai rusak. Manfaatkanlah umur kalian dengan ketaatan dan amal saleh sebelum kalian menyesali apa yang luput pada suatu hari kelak di mana tidak bermanfaat lagi penyesalan.
Supaya jangan ada orang yang mengatakan, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam menunaikan kewajiban terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah.” Atau supaya jangan ada yang berkata, “Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa.” Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab, “Kalau sekiranya aku dapat kembali ke dunia niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (az-Zumar: 56—58)
Umurmu, wahai insan, adalah kesempatan emas yang dianugerahkan oleh Allah l kepadamu untuk engkau habiskan dalam hal yang dapat memberikan kemanfaatan bagimu. Oleh karena itu, bersemangatlah untuk menjaganya lebih dari semangatmu menjaga hartamu, karena jika harta hilang mungkin beroleh gantinya. Adapun umur, jika hilang tidak mungkin didapatkan penggantinya.
Banyak orang mengeluhkan waktu luang yang dimilikinya. Ia ingin menghabiskan waktunya tersebut walau dalam hal yang sebenarnya bermudarat atau tidak berfaedah. Ia habiskan malamnya bergadang dengan berbuat sia-sia dan bermain-main sehingga ia pun tertidur dari mengerjakan shalat subuh. Ia bepergian untuk bersenang-senang dan menghabiskan liburan musim panas walaupun di tempat yang paling rusak. Ia beri jiwanya apa yang disenanginya walaupun berdampak mudarat dan kesengsaraan bagi jiwanya. Ia tidak menghisab dirinya guna menghadapi hisab hari esok dan masa depannya. Tidak pernah pula ia berpikir tentang mati, kubur, hari dikumpulkannya makhluk, perhitungan amal, dan tempat kembali yang abadi. Ia tak pernah merenungkan isi surat al-Ashr dan apa yang dituntut darinya. Tidak juga pernah terpikirkan olehnya tentang akhir kesudahan yang bakal diperoleh, sebagaimana ia tidak dapat mengambil pelajaran dari orang lain yang mendapat akhir kesudahan yang buruk.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Petikan dari khutbah Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, dalam kitab al-Khuthab al-Minbariyah fi Munasabat al-’Ashriyah, 4/448—452, Ummu Ishaq al-Atsariyah)

Catatan Kaki:

1 Rasulullah n bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Siapa yang bersumpah dengan menyebut selain Allah, sungguh ia telah berbuat syirik.” (HR. Abu Dawud no. 1590 dan at-Tirmidzi no. 3251. Disahihkan dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)