Alam Semesta di Bawah Kekuasaan Allah

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ لِرَسُولِ اللهِ : يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟ فَقَالَ: لَقَدْ لَقِيْتُ مِنْ قَوْمِكَ، وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ، إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلاَّ بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي، فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ، فَنَادَانِي فَقَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيْهِمْ. قَالَ: فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ، وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكِ، فَمَا شِئْتَ؟ إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ، لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

Aisyah radhiyallahu anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami hari yang lebih pedih dari hari Perang Uhud?”

Baca juga: Perang Uhud (bagian 2): Kekalahan Akibat Kelalaian

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

“Aku sering mendapatkan (gangguan) dari kaummu. Yang paling menyakitkan adalah peristiwa hari Aqabah, saat aku mengajak Ibnu Abdi Yalil bin Abdu Kulal masuk Islam, tetapi ia tidak menyambut ajakan yang kuinginkan. Aku pun beranjak pergi dengan hati yang sedih. Tidaklah aku tersadar melainkan setelah tiba di Qarnu Tsa’alib[1]. Aku tengadahkan kepalaku ke langit, tiba-tiba tampak segumpal awan menaungiku. Aku angkat kepalaku, ternyata Jibril berada di sana dan berseru kepadaku.

Jibril berkata, ‘Sungguh, Allah telah mendengar ucapan kaummu dan jawaban mereka terhadapmu. Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung kepadamu agar engkau memerintahnya sesuai dengan kehendakmu terhadap mereka (orang-orang kafir).’

Malaikat penjaga gunung kemudian berseru kepadaku dan mengucapkan salam, lalu berkata, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat gunung yang telah diutus oleh Rabb-mu kepadamu agar engkau memerintahkan kepadaku sesuai dengan perintahmu. (Wahai Muhammad,) apa yang engkau inginkan? Jika engkau menghendaki, aku akan menimpakan dua gunung itu kepada mereka[2]’.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam lalu menjawab, “Tidak. Aku justru berharap agar Allah mengeluarkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun.”

Baca juga: Lemah Lembut, Ciri Pengikut Rasulullah

Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ يَوْمًا: أَتْدُرونَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: إِنَّ هَذِهِ الشَّمْسَ تَجْرِي حَتَّى تَنْتَهِيَ تَحْتَ الْعَرْشِ فَتَخِرُّ سَاجِدَةً، فَلَا تَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يُقَالَ لَهَا: ارْتَفِعِي، ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتُصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجْرِي حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا ذَاكَ، تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَخِرُّ سَاجِدَةً، وَلَا تَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يُقَالَ لَهَا: ارْتَفِعِي، ارْجِعِي مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَرْجِعُ فَتُصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَطْلَعِهَا، ثُمَّ تَجْرِي لَا يَسْتَنْكِرُ النَّاسُ مِنْهَا شَيْئًا حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى مُسْتَقَرِّهَا ذَاكَ، تَحْتَ الْعَرْشِ، فَيُقَالُ لَهَا: ارْتَفِعِي، أَصْبِحِي طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِكَ. فَتُصْبِحُ طَالِعَةً مِنْ مَغْرِبِهَا. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: أَتَدْرُونَ مَتَى ذَاكُمْ؟ ذَاكَ حِيْنَ {لَا يَنفَعُ نَفۡسًا إِيمَٰنُهَا لَمۡ تَكُنۡ ءَامَنَتۡ مِن قَبۡلُ أَوۡ كَسَبَتۡ فِيٓ إِيمَٰنِهَا خَيۡرًاۗ}

Suatu hari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian, ke mana matahari pergi?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya matahari ini berjalan hingga berada di bawah Arsy, lalu ia tersungkur sujud kepada Allah. Dia terus dalam keadaan sujud hingga dikatakan kepadanya, ‘Naiklah engkau, kembalilah dari mana engkau datang!’

Matahari pun kembali sehingga pada waktu pagi dia terbit lagi dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga berakhir pada tempat menetapnya di bawah Arsy. Ia lalu bersujud dan tetap dalam keadaan demikian, sampai dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, kembalilah dari mana engkau datang!’

Matahari pun kembali sehingga pada waktu pagi muncul dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan lagi tanpa sedikit pun manusia menyadarinya, hingga berakhir pada tempat menetapnya itu di bawah Arsy. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Naiklah, dan terbitlah engkau dari barat!’ Keesokan harinya, matahari terbit dari sebelah barat.

Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melanjutkan, “Tahukah kalian, kapan itu terjadi? Itu terjadi di hari (yang difirmankan oleh Allah),

لَا يَنفَعُ نَفۡسًا إِيمَٰنُهَا لَمۡ تَكُنۡ ءَامَنَتۡ مِن قَبۡلُ أَوۡ كَسَبَتۡ فِيٓ إِيمَٰنِهَا خَيۡرًاۗ

“Tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.” (al-An’am: 158)

Takhrij Hadits Aisyah dan Abu Dzar

Hadits Aisyah radhiyallahu anha adalah muttafaqun ‘alaih. Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkannya dalam kitab ash-Shahih, “Kitab Bad’il Khalq” (3/1180 no. 3059), dan Kitab at-Tauhid”, “Bab firman Allah Wa kanallahu sami’an bashiran, no. 6954. Adapun Imam Muslim rahimahullah meriwayatkannya dalam ash-Shahih, “Kitabul Jihad was Siyar” (3/1420 no. 1795).

Keduanya meriwayatkan hadits Aisyah radhiyallahu anha melalui jalan Abdullah bin Wahb bin Muslim al-Qurasyi, dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Aisyah radhiyallahu anha. Lafaz di atas adalah lafaz Muslim rahimahullah.

Adapun hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, “Kitab Bad’il Khalqi”, no. 3199, dan di beberapa tempat dalam kitab ash-Shahih, no. 4802, 4803, 7424, 7433. Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya, “Kitab al-Iman” (1/138 no.159), dan lafaz di atas adalah lafaz Muslim.

At-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits ini dalam as-Sunan, “Kitabul Fitan”, no. 2186, dan “Kitab Tafsir al-Qur’an”, no. 3227. Beliau berkata, “Ini adalah hadits yang hasan sahih.”

Abu Dawud juga meriwayatkannya dalam as-Sunan, “Kitab al-Huruf wal Qira’at”, no. 4002, dengan kisah yang berbeda, yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu saat beliau memboncengkannya di atas keledai.

Semua meriwayatkan hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu melalui jalan Ibrahim bin Yazid bin Syarik Abu Asma al-Kufi, dari ayahnya, yaitu Yazid bin Syarik bin Thariq at-Taimi al-Kufi, dari Abu Dzar al-Ghifari Jundub bin Junadah radhiyallahu anhu.

Semua perawinya tsiqah (tepercaya sekaligus kuat hafalannya). Hanya saja Ibrahim seorang mudallis[3]. Akan tetapi, sebagian sanad hadits menunjukkan bahwa Ibrahim mendengar langsung dari ayahnya.

Baca juga: Istilah Hadits

Dalam sebagian riwayat Muslim, Abu Dzar radhiyallahu anhu berkata,

دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ وَرُسُولُ اللهِ جَالِسٌ، فَلَمَّا غَابَتِ الشَّمْسُ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، هَلْ تَدْرِي أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: فَإِنَّهَا تَذْهَبُ فَتَسْتَأْذِنُ فِي السُّجُودِ فَيُؤْذَنْ لَهَا، وَكَأَنَّهَا قَدْ قِيلَ لَهَا: ارْجِعِيْ مِنْ حَيْثُ جِئْتِ، فَتَطْلَعُ مِنْ مَغْرِبِهَا.

“Aku masuk masjid, sementara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang duduk. Ketika matahari terbenam beliau bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, tahukah engkau ke manakah matahari pergi?’

Aku berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.’

Beliau berkata, ‘Sesungguhnya ia pergi meminta izin untuk sujud, lalu diizinkan. Seolah-olah dikatakan kepadanya, ‘Kembalilah engkau dari tempat kedatanganmu.’ Matahari pun terbit dari tempat tenggelamnya’.”

Perdebatan Seputar Hadits Abu Dzar

Penulis Tafsir al-Manar (Muhammad Rasyid Ridha, murid Muhammad Abduh) memberikan komentar terhadap hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu tentang berjalannya matahari dan sujudnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala di bawah Arsy dengan komentar yang menyelisihi al-haq (kebenaran). Ia mengatakan bahwa matan (teks) hadits ini membingungkan. Di samping itu, menurutnya ada kelemahan dalam sanadnya.

Ia berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim melalui jalan dari Ibrahim bin Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar radhiyallahu anhu[4].” Meskipun Ibrahim seorang yang tsiqah (terpercaya) sebagaimana penilaian ahlul hadits, tetapi ia perawi yang mudallis.

Imam Ahmad (wafat 241 H) berkata, “Ia tidak berjumpa dengan Abu Dzar radhiyallahu anhu.

Ad-Daruquthni (385 H) berkata, “Ia tidak mendengar dari Hafshah radhiyallahu anha, tidak pula dari Aisyah radhiyallahu anha. Bahkan, ia tidak mendapati zaman keduanya.”

Ali bin al-Madini (234 H) berkata, “Ia tidak mendengar hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, tidak pula dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma….”

(Dalam hadits ini, Ibrahim meriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu anhu, yang dikatakan oleh Imam Ahmad bahwa Ibrahim tidak menjumpainya. Artinya, Ibrahim meriwayatkan dengan perantara, yang boleh jadi adalah orang yang tidak tsiqah, –pen.). Lihat Tafsir al-Manar (8/211—212).

Apa jawabannya?

Terhadap hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu tentang sujudnya matahari dan hadits Aisyah radhiyallahu anha tentang malaikat penjaga gunung dan hadits-hadits tentang urusan gaib yang semisalnya, bisa saja seseorang seenaknya berkomentar, “Hadits ini memang sahih sanadnya, tetapi teksnya janggal. Akal susah mencernanya!”

Oleh sebagian kalangan, kalimat ini dianggap sah-sah saja padahal kalimat ini sungguh merupakan ungkapan yang luar biasa berbisa. Dengan kalimat ini, hadits-hadits yang sahih diabaikan dan diingkari walaupun disepakati kesahihannya oleh al-Bukhari dan Muslim.

Baca juga: Agungkan Sunnah, Penuhi Seruan Rasulullah

Kita katakan kepada mereka,

“Wahai para pemuja akal, apakah setiap hal yang tidak masuk akal berarti itu dusta dan mustahil? Kalau kaidah ini kalian terapkan dalam menyikapi hadits-hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sungguh kalian akan menyimpang sejauh-jauhnya.

Ingatkah kalian saat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali dari perjalanan Isra? Tidak genap satu malam Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melintasi sahara dari Makkah ke Baitulmaqdis, yang seharusnya ditempuh dua bulan perjalanan kala itu. Bahkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menembus tujuh lapis langit dan kembali lagi ke Makkah.

Berita besar ini disampaikan kepada penduduk Makkah. Terjadilah apa yang terjadi. Mereka bertepuk tangan, berjingkrak-jingkrak menertawakan berita Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan mengejeknya. Mereka anggap semua itu mustahil.

Adapun Abu Bakr radhiyallahu anhu justru bertambah kokoh keimanannya. Beliau tidak sedikit pun bergeser dari iman hingga beliau beroleh gelar ash-Shiddiq.”

Sejenak pena berhenti menanti jawaban para pengagum akal. Apakah mereka hendak mengikuti jalan musyrikin Quraisy dalam menyikapi berita Rasul shallallahu alaihi wa sallam, ataukah jalan Abu Bakr ash-Shiddiq dan kaum mukminin? Sepertinya terlalu lama kita menanti jawaban mereka. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi hidayah kepada kita semua.

Baca juga: Kedudukan Akal dalam Islam

Menyangkut kritikan terhadap sanad al-Bukhari dan Muslim, kita katakan, “Penulis Tafsir al-Manar seharusnya dengan teliti melihat kembali apa yang dibacanya agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sangat fatal. Apalagi dilanjutkan dengan perkataannya, ‘Apabila hadits yang dikeluarkan al-Bukhari dan Muslim saja ada yang memiliki ‘illat (cacat) seperti ini, bagaimana halnya dengan hadits yang tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta penulis kitab-kitab as-Sunan?’.” (Tafsir al-Manar)

Sanad hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim adalah Ibrahim bin Yazid at-Taimi, dari ayahnya, yaitu Yazid bin Syarik at-Taimi, dari Abu Dzar radhiyallahu anhu. Sanad ini muttashil (bersambung) dengan perawi-perawi yang tsiqah. Keadaan Ibrahim sebagai seorang mudallis tidak membahayakan. Sebab, dalam sebagian sanad Muslim tampak bahwa Ibrahim mendengar dari ayahnya. Dengan demikian, tidak ada ‘illat dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu seperti tuduhan penulis Tafsir al-Manar. Walhamdulillah.

Mengimani Berita-Berita Gaib dari Rasulullah

Saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Anda.

Alam semesta yang demikian besar menyimpan berjuta rahasia yang tidak mungkin disingkap oleh akal manusia. Hanya berita-berita gaib para rasul Allah yang mampu menembus rahasia itu, tentu saja dengan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَكَذَٰلِكَ نُرِيٓ إِبۡرَٰهِيمَ مَلَكُوتَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلِيَكُونَ مِنَ ٱلۡمُوقِنِينَ ٧٥

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (al-An’am: 75)

عَٰلِمُ ٱلۡغَيۡبِ فَلَا يُظۡهِرُ عَلَىٰ غَيۡبِهِۦٓ أَحَدًا ٢٦ إِلَّا مَنِ ٱرۡتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُۥ يَسۡلُكُ مِنۢ بَيۡنِ يَدَيۡهِ وَمِنۡ خَلۡفِهِۦ رَصَدًا ٢٧

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (al-Jin: 26—27)

Baca juga: Menyoal Urusan Gaib

Seorang yang jujur dalam persaksian imannya niscaya selalu tunduk di hadapan sabda-sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa berita, perintah, maupun larangan. Ia akan selalu beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan tuntunan beliau dan tidak beribadah dengan kebid’ahan. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sanubarinya atau rasa berat hati terhadap keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang sesungguhnya merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala yang mutlak kebenarannya.

Di hadapan hadits Aisyah dan Abu Dzar radhiyallahu anhu, seseorang diuji, apakah ia beriman ataukah mengingkari berita-berita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Seorang yang beriman tentu akan mengambil semua yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمۡ عَنۡهُ فَٱنتَهُواْۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٧

“Apa yang diberikan (diperintahkan) oleh Rasul kepadamu, terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (al-Hasyr: 7)

Berbeda halnya dengan orang-orang yang menyimpan keraguan. Berita-berita Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan mereka singkirkan atau sepelekan. Lebih-lebih jika kabar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tersebut menyelisihi hawa nafsunya, berbeda dengan kepentingannya, berseberangan dengan adat istiadatnya, atau berbeda dengan hasil penelitian dan olah pikir manusia. Di situlah akan semakin tampak siapa yang lebih mengutamakan hawa nafsunya daripada keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Baca juga: Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar

Sebelum berlarut, marilah kita kembali pada dua hadits yang mengawali pembahasan kita. Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengabarkan bahwa di antara malaikat-malaikat Allah subhanahu wa ta’ala ada yang ditugaskan sebagai penjaga gunung. Mereka adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat kuat.

Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala mereka mampu membalikkan gunung dan menimpakannya kepada siapa saja yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Semua itu dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak lepas dari pengaturan-Nya.

Perhatikan kedatangan malaikat gunung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ia berkata kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memerintahnya untuk mendengar perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika beliau berkehendak, dua gunung akan dia timpakan kepada kaum musyrikin.

Malaikat tersebut tidak serta-merta datang kepada Rasul shallallahu alaihi wa sallam tanpa perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak pula dia tiba-tiba mengangkat gunung dan menimpakannya kepada manusia yang ingkar tanpa perintah dari-Nya. Sungguh, mereka adalah makhluk yang taat dan tidak sedikit pun bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“(Mereka malaikat-malaikat Allah) tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

Subhanallah, gunung-gunung yang menjulang, Engkau tetapkan para penjaganya dari kalangan malaikat-malaikat-Mu yang senantiasa menanti perintah-Mu. Hadits Aisyah radhiyallahu anha menyingkap sebuah rahasia dari berjuta rahasia alam semesta.

Baca juga: Mengenal Allah

Adapun hadits Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu mengabarkan berita gaib lain tentang keajaiban alam. Beliau mengabarkan bahwa matahari yang berada di atas kita tidaklah diam. Ia terus berjalan, menuju satu tempat di bawah Arsy untuk bersujud kepada-Nya. Ia menanti perintah dan izin-Nya untuk terbit dan tenggelam dari tempat biasanya terbit dan tenggelam.

Hingga datang satu masa pada akhir zaman nanti, Allah subhanahu wa ta’ala, Rabbul ‘alamin, tidak lagi mengizinkannya untuk terbit dari timur. Dia akan memerintahkannya terbit dari sebelah barat, tempat tenggelamnya. Itulah sebagian tanda Rabb yang dimaksud dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

هَلۡ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن تَأۡتِيَهُمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَوۡ يَأۡتِيَ رَبُّكَ أَوۡ يَأۡتِيَ بَعۡضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَۗ يَوۡمَ يَأۡتِي بَعۡضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ لَا يَنفَعُ نَفۡسًا إِيمَٰنُهَا لَمۡ تَكُنۡ ءَامَنَتۡ مِن قَبۡلُ أَوۡ كَسَبَتۡ فِيٓ إِيمَٰنِهَا خَيۡرًاۗ قُلِ ٱنتَظِرُوٓاْ إِنَّا مُنتَظِرُونَ ١٥٨

“Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), kedatangan Rabb-mu, atau kedatangan sebagian tanda-tanda Rabb-mu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (yang belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, ‘Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula)’.” (al-An’am: 158)

Baca juga: Buah Keimanan (bagian 6)

Saat itulah, tidak akan bermanfaat iman seseorang yang baru beriman. Demikian pula, orang yang baru bertobat tidak diterima tobatnya. Ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ باِللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُع الشَمْسَ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk memberikan ampunan bagi mereka yang berdosa di siang hari. Dia juga membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk mengampuni mereka yang berdosa di malam hari, hingga terbit matahari dari tempat tenggelamnya.”[5]

Hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu tegas menunjukkan batilnya perkataan bahwa matahari diam, tidak berjalan. Teori manusia mengatakan matahari sebagai pusat tata surya itu diam, hanya berputar pada porosnya. Kekuatan daya tarik gravitasi yang dimilikinya mampu menarik sekian banyak planet termasuk bumi untuk mengitari dirinya. Adapun ia sendiri diam, tidak berjalan.

Baca juga: Penundukan Ajaran Agama di Bawah Kendali Akal

Saudaraku, anggapan bahwa matahari diam tidak berjalan dan hanya perputar pada porosnya adalah teori manusia. Adapun seorang mukmin akan berkata sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam bahwa matahari berjalan menuju tempat di bawah Arsy. Ia tidak diam di tempatnya. Hal ini tampak dari pertanyaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada para sahabatnya,

أَتَدْرُونَ أَيْنَ تَذْهَبُ هَذِهِ الشَّمْسُ؟

“Tahukah kalian, ke mana matahari ini pergi?”

Wahai Rabb kami, itu adalah berita Rasul-Mu. Kami beriman dan tidak ada sedikit pun keraguan di hati kami.

رَبَّنَآ ءَامَنَّا بِمَآ أَنزَلۡتَ وَٱتَّبَعۡنَا ٱلرَّسُولَ فَٱكۡتُبۡنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٥٣

“Wahai Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan, dan kami telah mengikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan-Mu).” (Ali Imran: 53)

Gunung, Matahari, dan Seluruh Alam di Bawah Kekuasaan serta Pengaturan Allah

Matahari berjalan secara teratur dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berfirman,

وَٱلشَّمۡسُ تَجۡرِي لِمُسۡتَقَرٍّ لَّهَاۚ ذَٰلِكَ تَقۡدِيرُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡعَلِيمِ ٣٨

“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Yasin: 38)

Gunung-gunung yang kokoh juga berada dalam perintah dan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan para penjaga dari kalangan malaikat-Nya untuk menjalankan semua ketetapan dan perintah tersebut.

Demikian pula lautan serta segala apa yang di langit dan di bumi. Mereka semua adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang berada di bawah pengawasan dan pengaturan-Nya.

ٱللَّهُ ٱلَّذِي سَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡبَحۡرَ لِتَجۡرِيَ ٱلۡفُلۡكُ فِيهِ بِأَمۡرِهِۦ وَلِتَبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِهِۦ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٢ وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعًا مِّنۡهُۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَتَفَكَّرُونَ ١٣

“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya, dan mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 12—13)

Baca juga: Luasnya Nikmat Allah

Bumi tempat kita berpijak dan langit yang mengatapi kita, keduanya taat dan tunduk kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dia berfirman,

وَجَعَلَ فِيهَا رَوَٰسِيَ مِن فَوۡقِهَا وَبَٰرَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَآ أَقۡوَٰتَهَا فِيٓ أَرۡبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَآءً لِّلسَّآئِلِينَ ١٠ ثُمَّ ٱسۡتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ وَهِيَ دُخَانٞ فَقَالَ لَهَا وَلِلۡأَرۡضِ ٱئۡتِيَا طَوۡعًا أَوۡ كَرۡهًا قَالَتَآ أَتَيۡنَا طَآئِعِينَ ١١

“Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih berupa asap, lalu Dia berkata kepada langit dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati’.” (Fushshilat: 10—11)

Gemuruhnya guntur juga tidak lepas dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala.

أَقْبَلَتْ يَهُودٌ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالُوا: يَا أَبَا الْقَاسِمِ، أَخْبِرْنَا عَنِ الرَّعْدِ مَا هُوَ؟ قَالَ: مَلَكٌ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُوَكَّلٌ بِالسَّحَابِ، مَعَهُ مَخَارِيقُ مِنْ نَارٍ يَسُوقُ بِهَا السَّحَابَ حَيْثُ شَاءَ اللهُ. فَقَالُوا: فَمَا هَذَا الصَّوْتُ الَّذِي نَسْمَعُ؟ قَالَ: زَجْرَةٌ بِالسَّحَابِ إِذَا زَجَرَهُ حَتَّى يَنْتَهِيَ إِلَى حَيْثُ أَمَرَ

Sekelompok Yahudi datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Mereka bertanya, “Wahai Abul Qasim, kabarkan kepada kami tentang guntur, apa itu?”

Nabi berkata, “Ada salah satu malaikat Allah subhanahu wa ta’ala yang diberi tanggung jawab atas awan. Ia membawa cemeti dari api. Dengan cemeti itu ia menggiring awan ke arah yang dikehendaki oleh Allah.”

Baca juga: Fungsi Petir Menurut Syariat

Yahudi berkata, “Suara yang kita dengar, apakah itu?”

Nabi berkata, “Itu hardikan malaikat saat menggiring awan menuju tempat yang Dia perintahkan ….”[6]

Musibah Bukan Sekadar Fenomena Alam

Belum lepas dari ingatan kita berbagai musibah yang menimpa manusia di negeri ini: gempa bumi, tsunami, dan letusan berikut awan panas “wedus gembel” Gunung Merapi.

Hal yang tidak boleh lepas dari sanubari adalah keyakinan bahwa musibah itu tidak terjadi begitu saja tanpa perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Merapi tidak serta-merta meletus tanpa perintah. Lempengan bumi pun tidak begitu saja bergerak tanpa kehendak Sang Pencipta. Demikian pula air laut, ia tidak begitu saja meluap lantas menenggelamkan manusia tanpa perintah Allah, Rabbul ‘alamin. Alam semesta adalah makhluk Allah subhanahu wa ta’ala yang diatur dan diperintah.

Allah subhanahu wa ta’ala yang memerintah air bah menenggelamkan kaum Nuh alaihis salam. Dia pula yang memerintah malaikat agar membalik bumi tempat kaum Luth tinggal. Dia juga yang memerintahkan Laut Merah memusnahkan Fir’aun beserta bala tentaranya. Inilah hakikat yang tidak boleh terlupakan dalam akidah seorang muslim.

Baca juga: Sebab Musibah Menimpa

Hendaknya manusia juga menyadari bahwa kerusakan tersebut sesungguhnya buah dari kezaliman manusia. Allah subhanahu wa ta’ala tidak zalim. Akan tetapi, manusialah yang menzalimi diri mereka sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan semua itu agar manusia menyadari bahwa mereka adalah hamba-hamba-Nya yang lemah. Hamba yang harus segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertobat dari dosa dan kesalahannya. Demikian juga, agar mereka mengerti bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala lah, Dzat yang berhak diibadahi.

ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ ٤١

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41)

Baca juga: Hikmah di Balik Musibah

Sejenak kita buka sejarah kaum Nuh alaihis salam. Saat Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebinasaan atas kaum durhaka, tidak ada satu pun usaha yang bermanfaat walaupun seseorang pergi ke atas gunung yang tinggi.

وَقَالَ ٱرۡكَبُواْ فِيهَا بِسۡمِ ٱللَّهِ مَجۡرٜىٰهَا وَمُرۡسَىٰهَآۚ إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ ٤١ وَهِيَ تَجۡرِي بِهِمۡ فِي مَوۡجٍ كَٱلۡجِبَالِ وَنَادَىٰ نُوحٌ ٱبۡنَهُۥ وَكَانَ فِي مَعۡزِلٍ يَٰبُنَيَّ ٱرۡكَب مَّعَنَا وَلَا تَكُن مَّعَ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٤٢ قَالَ سَ‍َٔاوِيٓ إِلَىٰ جَبَلٍ يَعۡصِمُنِي مِنَ ٱلۡمَآءِۚ قَالَ لَا عَاصِمَ ٱلۡيَوۡمَ مِنۡ أَمۡرِ ٱللَّهِ إِلَّا مَن رَّحِمَۚ وَحَالَ بَيۡنَهُمَا ٱلۡمَوۡجُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡمُغۡرَقِينَ ٤٣

Dan Nuh berkata, “Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” Sesungguhnya Rabb-ku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedangkan anak itu berada di tempat yang jauh terpencil, “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.”

Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menjagaku dari air bah!” Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah, selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya. Jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (Hud: 41—43)

Baca juga: Umat Nabi Nuh Ditenggelamkan

Dialah yang Berhak Diibadahi

Jika alam semesta ini di bawah pengaturan dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala, semua tunduk kepada-Nya, pantaskah sesuatu selain Dia subhanahu wa ta’ala yang diibadahi? Tentu, jawabannya tidak.

Dalam ayat-ayat al-Qur’an, manusia sering diingatkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang mengatur alam semesta, menciptakan, dan memberi rezeki, agar mereka menyadari bahwa hanya Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang berhak untuk diibadahi. Tidak pantas manusia menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan para makhluk-Nya ketika beribadah.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ٢١ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ فِرَٰشًا وَٱلسَّمَآءَ بِنَآءً وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٰتِ رِزۡقًا لَّكُمۡۖ فَلَا تَجۡعَلُواْ لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٢

“Wahai manusia, sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 21—22)

Baca juga: Air Hujan Berasal dari Uap Air Laut?

Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala sering menampakkan kebatilan peribadatan kepada selain-Nya dengan mengingatkan manusia bahwa sembahan selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah makhluk yang diatur, bukan yang mengatur; makhluk yang diciptakan dan tidak menciptakan. Makhluk yang demikian lemah dan fakir, apakah pantas diibadahi?

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَمۡلِكُونَ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا لَهُمۡ فِيهِمَا مِن شِرۡكٍ وَمَا لَهُۥ مِنۡهُم مِّن ظَهِيرٍ ٢٢

Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah/sembahan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi. Mereka tidak pula mempunyai suatu andil pun dalam (penciptaan) langit dan bumi. Sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba: 22)

Saat bencana menimpa, seharusnya manusia segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bertobat kepada-Nya, dan mentauhidkan-Nya, tidak justru semakin bergantung kepada selain Allah. Dengan ketakwaan, Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan sebuah negeri diberkahi oleh-Nya. Jangan seperti negeri-negeri yang ingkar, yang membanggakan kecerdasan otaknya untuk menghadapi musibah. Alam bukan di tangan manusia, melainkan di tangan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia-lah yang memerintah, Dia pula yang memutuskan.

Baca juga: Hikmah Ilahi di Balik Musibah Gempa Bumi dan Tsunami

Belum lepas dari ingatan kita gempa bumi yang menimpa kota Kobe (Jepang) di tahun 90-an. Tidak ada yang memungkiri kemajuan Jepang dalam teknologi. Mata dunia terbelalak dengan kehebatan Jepang dalam teknologi. Kobe sejatinya sudah dipersiapkan sebagai kota antigempa. Semua konstruksi bangunan disiapkan dengan canggih untuk menghadapi gempa hingga lebih dari 8 SR.

Akan tetapi, itu hanya angan manusia belaka. Di hadapan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala tidak satu makhluk pun yang bisa menengadahkan kepalanya untuk sombong dan berbangga. Gempa dengan skala “hanya” lima koma sekian SR merayapi kota Kobe. Dalam hitungan detik, tidak ada satu bangunan pun selamat. Gedung pencakar langit, jembatan layang, dan seluruh bangunan yang ada harus luluh lantak tertelan gempa.

وَلَوۡ أَنَّ أَهۡلَ ٱلۡقُرَىٰٓ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوۡاْ لَفَتَحۡنَا عَلَيۡهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ وَلَٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذۡنَٰهُم بِمَا كَانُواْ يَكۡسِبُونَ ٩٦ أَفَأَمِنَ أَهۡلُ ٱلۡقُرَىٰٓ أَن يَأۡتِيَهُم بَأۡسُنَا بَيَٰتًا وَهُمۡ نَآئِمُونَ ٩٧ أَوَ أَمِنَ أَهۡلُ ٱلۡقُرَىٰٓ أَن يَأۡتِيَهُم بَأۡسُنَا ضُحًى وَهُمۡ يَلۡعَبُونَ ٩٨ أَفَأَمِنُواْ مَكۡرَ ٱللَّهِۚ فَلَا يَأۡمَنُ مَكۡرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡخَٰسِرُونَ ٩٩

“Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah selain orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 96—99)

Baca juga: Tolak Musibah dengan Takwa

Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari akibat perbuatan jelek diri kami!
Amin, ya Rabbal ‘Alamin.


Catatan Kaki:

[1] Qarnu ats-Tsa’alib adalah Qarnu al-Manazil, miqat bagi penduduk Najd untuk melakukan ibadah haji atau umrah. Jaraknya sekitar 94 km dari Makkah. Saat ini dikenal dengan nama as-Sailul Kabir.

[2] Dua gunung yang dimaksud adalah Gunung Abu Qubais dan gunung yang di hadapannya.

[3] Mudallis adalah orang yang menampakkan hadits yang terputus sanadnya seakan-akan bersambung.

[4] Sanad yang benar adalah Ibrahim bin Yazid, dari ayahnya yakni Yazid, dari Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu anhu.

[5] HR. Muslim, “Kitabut Taubah”, “Bab Qabulut Taubati minadz Dzunub wa in Takarrarat adz-Dzunub wat Taubah” (Bab Diterimanya Tobat Walaupun Dosa dan Tobatnya Terulang), (4/2113 no. 2759) dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu.

[6] HR. at-Tirmidzi, (4/257 no. 5121) dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma. At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih gharib.”

Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/274). Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam tahqiq beliau mengatakan, “Sanad hadits ini sahih.” Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan tentang hadits ini, “Paling rendahnya, hadits ini berderajat hasan.” Lihat takhrij-nya dalam ash-Shahihah (4/491–493).

Ditulis oleh Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.