(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Penjelasan Mufradat Ayat
Sebagian ahlul ilmi berpendapat, kata الْقِصَاص berasal dari kata قَصَّ الْأَثَرَ , artinya mengikuti jejak (nya). Jadi, seolah-olah pelaku pembunuhan mengikuti atau menempuh jejak suatu pembunuhan. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam firman Allah l:
“Musa berkata, ‘Itulah (tempat) yang kita cari; lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula’.” (al-Kahfi: 64)
Sebagian ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari الْقَصُّ artinya memotong atau memisahkan. Ini seperti yang terdapat pada kalimat قَصَصْتُ مَا بَيْنَهُمْ artinya “Saya meng-qishash sesuatu di antara keduanya,” yakni saya memotong atau memisahkannya. (Lihat Fathul Qadir, 1/227, al-Qurthubi, 2/245)
Al-Alusi t dalam kitab tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/113), mengatakan, “Bentuk kata الْقِصَاص adalah isim ma’rifah yang menggunakan الْ menunjukkan jenis, bermakna tentang hakikat hukum ini yang meliputi hukuman balasan berupa pukulan, pencederaan, pembunuhan dan lainnya.”
Maka dari itu, qishash adalah salah satu bentuk pidana (hukuman) yang ditetapkan sebagai bentuk pembalasan yang sepadan terhadap suatu perbuatan berupa pembunuhan atau pencederaan.
“(Jaminan kelangsungan) hidup.”
Mujahid berkata, “Maknanya adalah suatu (siksaan atau hukuman) yang dijadikan peringatan bagi orang lain.”
Qatadah mengatakan, “Yaitu hukuman dan peringatan bagi manusia yang kurang berakal dan bodoh.”
Ar-Rabi’ berkata, “Sebagai ibrah (pelajaran/peringatan).”
Ibnu Juraij mengatakan, “Yaitu sebagai kekuatan pencegahan.”
Abu Shalih, as-Suddi, ats-Tsauri, dan Ibnu Zaid mengatakan, “Maknanya adalah ketetapan dan kekekalan.”
Adh-Dhahhak mengatakan, “Yaitu kebaikan dan keadilan.”
Lihat Tafsir ath-Thabari (3/381—383).
Al-Alusi berkata dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”
Hukum Qishash
Sebagaimana yang tersebut dalam ayat sebelum ayat di atas, Allah l menetapkan (mewajibkan) hukum qishash di antara manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Hal itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Rabb kalian. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)
Berikut ini adalah beberapa dalil yang menunjukkan disyariatkannya hukum qishash.
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (al-Isra: 33)
Adapun di antara hadits yang menunjukkan masalah ini adalah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud z, Rasulullah n bersabda:
لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ؛ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
“Darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah dan bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, tidak boleh ditumpahkan melainkan karena tiga hal: jiwa dibalas dengan jiwa, orang yang telah menikah yang melakukan zina, orang yang murtad dari Islam dan meninggalkan persatuan bersama kaum muslimin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hukum Qishash Juga Berlaku dalam Agama Terdahulu
Pada dasarnya, qishash adalah ketetapan hukum yang juga berlaku dalam agama-agama terdahulu sebelum Islam. Allah l berfirman:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qishashnya.” (al-Maidah: 45)
Ibnu Abbas berkata, “Dahulu di masa Bani Israil, orang yang membunuh diberlakukan hukum qishash dan tidak ada diyat (bayar denda).”
Qatadah berkata, “Dahulu yang berlaku bagi para pengikut Taurat adalah qishash dan pemaafan, tidak ada diyat (membayar denda). Adapun bagi para pengikut Injil hanya berlaku pemaafan. Adapun bagi umat ini, Allah l menetapkan hukum adanya qishash, pemaafan dan diyat.”
Pelaksana Hukum Qishash
Al-Imam al-Quthubi mengatakan, “Para ulama bersepakat bahwa qishash tidaklah ditegakkan melainkan oleh penguasa. Mereka diperintah menegakkan qishash, dan hukuman-hukuman yang lain. Hal ini karena Allah l berbicara (memerintahkan) agar hukum qishash diberlakukan kepada seluruh kaum muslimin. Kemudian Allah l tidak mempersiapkan kaum muslimin seluruhnya untuk berkumpul, melaksanakan (menegakkan) hukum qishash. Akan tetapi, mereka menunjuk (menyerahkan) kepada penguasa untuk menegakkan hukum qishash dan hukuman-hukuman yang lain.”
Di tempat lain, beliau t menukil riwayat dari jalan Sufyan, dari as-Suddi, dari Abu Malik, beliau berkata bahwa makna ayat di atas adalah “Sebagian mereka tidak boleh menerapkan qishash (membunuh) terhadap sebagian yang lain. Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh seorang pun menerapkan qishash, selain penguasa. Tidak diperbolehkan bagi manusia untuk menerapkan qishash terhadap yang lain. Urusan ini adalah hanya wewenang penguasa atau pihak yang ditunjuk oleh penguasa. Dari situlah, Allah menjadikan penguasa berkuasa terhadap rakyatnya. Demikian pula, telah disepakati oleh para ulama bahwa apabila seorang penguasa melakukan tindakan pembunuhan atau penganiayaan terhadap rakyatnya, maka dia mengqishash dirinya karena ia termasuk bagian dari mereka. Hanya saja, ada sisi perbedaan jika ditinjau dari sisi bahwa mereka (penguasa) adalah sebagai wakil rakyat. Namun, dilihat dari sisi bahwa mereka adalah bagian individu dari masyarakat, tidak ada perbedaan dalam penerapan hukum-hukum Allah l. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.”
(Tafsir al-Qurthubi, 2/245—256)
Pemberlakuan dan Gambaran Qishash
Qishash diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan atau pencederaan, bukan terhadap selain pelaku. Al-Imam al-Qurthubi (2/245) menyebutkan gambaran qishash sebagai berikut. Seseorang yang melakukan pembunuhan ditegakkan terhadapnya hukum qishash, apabila wali pembunuhan pasrah kepada perintah Allah l dan tunduk kepada hukum qishash yang disyariatkan. Wali dari orang yang terbunuh diwajibkan menetapkan qishash terhadap orang yang membunuh dan tidak melampaui batas kepada selainnya. Bukan seperti yang dilakukan oleh bangsa Arab dahulu. Mereka melakukan perbuatan melampaui batas sehingga membunuh orang yang bukan pelaku pembunuhan. Nabi n bersabda:
إِنَّ مِنْ أَعْتَى النَّاسِ عَلَى اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَلَاثَةً؛ رَجُلٌ قَتَلَ غَيْرَ قَاتِلِهِ، وَرَجُلٌ قَتَلَ فِي الْحَرَمِ، وَرَجُلٌ أَخَذَ بِذُحُولِ الْجَاهِلِيَّةِ
“Manusia yang paling durhaka kepada Allah l pada hari kiamat ada tiga. Pertama, seseorang yang melakukan qishash pembunuhan terhadap orang yang bukan pelakunya. Kedua, seseorang yang melakukan pembunuhan di tanah al-haram (Makkah dan Madinah). Ketiga, seseorang yang membunuh karena dendam jahiliah.” (HR. Ahmad)
Demikian pula, dalam qishash keadilan tetap diperhatikan. Artinya, orang yang merdeka dengan orang yang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/489)
Hikmah Qishash
Allah l menetapkan hukum qishash (hukuman mati) bagi orang yang membunuh jiwa. Namun, pada hakikatnya qishash itu sendiri adalah kelangsungan hidup bagi jiwa manusia. Hal ini ditinjau dari akibatnya, yaitu apabila hukum qishash diberlakukan, manusia terhalangi untuk melakukan pembunuhan terhadap manusia yang lain. Dengan demikian, kelangsungan hidup manusia akan tetap terjaga. (Lihat Fathul Qadir 1/228)
Hukuman yang dinamakan qishash (yang kenyataannya adalah hukuman mati), pada hakikatnya adalah jaminan keberlangsungan hidup bagi manusia. Karena apabila seseorang mengetahui, bahwa ia akan dibunuh secara qishash (dihukum mati) jika melakukan pembunuhan terhadap orang lain, ia akan menahan diri dari melakukan pembunuhan. Ia menahan diri untuk tidak bergegas/bersegera melakukannya. Ia juga akan menahan diri agar tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut. Hal ini diibaratkan seperti pemberian jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.
Al-Imam asy-Syinqithi t berkata dalam tafsir ayat:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (al-Isra: 9)
Salah satu hal yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus adalah masalah qishash. Jika seseorang sedang marah kemudian berkeinginan untuk melakukan pembunuhan, ia ingat/sadar bahwa membunuh seseorang akan mengakibatkan dirinya juga akan dibunuh. Dengan demikian, ia menjadi takut. Akhirnya, keinginan membunuh ia tinggalkan. Dengan ini pula, menjadi hiduplah orang yang sebelumnya ingin dia bunuh. Hidup pulalah dirinya, karena ia tidak jadi membunuh sehingga qishash pun tidak berlaku padanya. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap seorang yang membunuh jiwa (sebagai bentuk balasan yang setimpal) menjadi sebab berlangsungnya kehidupan bagi banyak jiwa, tidak ada yang mengetahui selain Allah l. Allah l berfirman:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Tidak diragukan bahwa ini adalah cara yang paling adil dan paling lurus. Oleh karena itu, telah disaksikan di seluruh daerah di muka bumi ini, baik masa dahulu maupun sekarang, jumlah pembunuhan di negeri yang menerapkan hukum Allah (Islam) sedikit. Hal ini karena hukum qishash menjadi sebab penghalang terjadinya pembunuhan, sebagaimana yang disebutkan Allah l pada ayat di atas. Adapun pernyataan yang diucapkan oleh musuh-musuh Islam bahwasanya qishash tidak sesuai dengan hikmah—karena mengandung unsur yang membuat kegelisahan dan kerisauan bagi sebagian masyakat dengan dibunuhnya pelaku pembunuhan—sehingga hukuman yang sepantasnya (diberikan kepada pelaku pembunuhan) bukanlah qishash, namun dipenjara saja. Menurut mereka, dengan dipenjara bisa jadi akan lahir darinya seorang anak sehingga bertambahlah jumlah jiwa penduduk.
Akan tetapi, semua itu adalah pendapat yang keliru dan salah. Tidak ada hikmahnya sama sekali. Hukuman penjara tidak akan menjadi sebab yang akan menghalangi seorang melakukan pembunuhan. Jika demikian halnya, pembunuhan akan semakin banyak karena perbuatan orang-orang yang jelek budinya. Hasilnya, jumlah penduduk justru berkurang berlipat ganda akibat pembunuhan yang merajalela. (Adhwa’ul Bayan, 3/285)
Wallahu a’lam.