(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)
Rambut yang tumbuh di kepala adalah salah satu nikmat Allahlyang diberikan kepada kita. Penampilan kita menjadi bagus, indah, dan cantik karenanya. Untuk seorang lelaki saja, rambut merupakan perhiasan, apatah lagi bagi seorang wanita. Mungkin kita masih ingat dengan kisah tiga orang dari kalangan Bani Israil: si abrash atau orang yang berpenyakit sopak/belang, si a’ma atau orang yang buta, dan si aqra’. Ya, salah satu dari tiga orang yang beroleh kesulitan dan kesempitan tersebut adalah si aqra’, seseorang yang sama sekali tidak tumbuh rambut di atas kepalanya. Ia merasa, kebotakan yang dideritanya menyebabkan manusia menjauhinya dan tidak suka melihatnya. Oleh karena itu, tatkala malaikat datang sebagai utusan Allah l dengan menyamar (dalam rupa manusia) guna menguji mereka bertiga, siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, si aqra’ meminta dihilangkan penyakitnya dan diberi rambut yang bagus. (Lihat kelengkapan kisahnya dalam hadits yang diriwayatkan dalam ash-Shahihain)
Karena pentingnya rambut dalam berhias, terutama bagi wanita1, tak heran apabila rambut disebut mahkota wanita karena fungsinya sebagai hiasan di atas kepala.
Tentang masalah rambut, syariat memiliki ketentuan yang mengaturnya. Ada hukum-hukum yang berkaitan dengan rambut wanita.
Berikut ini rangkuman hukum rambut wanita dari fatwa ulama yang mulia, yang dibawakan secara makna lagi ringkas2.
1. Mengumpulkan rambut (mengikat jadi satu) di bagian paling atas dari kepala si wanita tidaklah dibolehkan.
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah z, ia berkata, “Rasulullah n bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا: قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهِ النَّاسَ؛ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُؤُوسَهُنَّ كَأَسْنَمَةِ الْبُخْتِ المْاَئِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang aku belum melihat mereka sekarang. (Yang pertama,) suatu kaum yang bersama mereka ada cambuk-cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk mencambuk manusia. (Yang kedua,) para wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka miring lagi membuat orang lain miring. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan bisa mencium bau wangi surga, padahal wanginya bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian’.” (HR. al-Imam Muslim no. 5547) (Fatwa dari al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah wal Ifta’)
“Mailatun” maknanya miring dari menaati Allahldan dari urusan yang semestinya mereka jaga. Adapun mumilatun maknanya mereka mengajari orang lain untuk berbuat seperti perbuatan mereka yang tercela.
Ada pula yang mengatakan, “mailatun” adalah wanita yang berjalan dengan berlagak sombong, menggoyang-goyangkan atau memiring-miringkan pundak-pundak mereka. Ada pula yang mengatakan, maknanya adalah wanita yang menyisir rambutnya dengan sisiran/model miring atau belahan samping, yang merupakan model sisiran wanita pelacur. Adapun mumilatun maknanya mereka menyisir wanita-wanita lain dengan model sisiran tersebut.
“Kepala-kepala mereka seperti punuk unta”, maknanya mereka membesarkan kepala mereka dengan melilitkan imamah, bebat kepala, atau yang semisalnya. (al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, an-Nawawi, 14/336)
2. Mengumpulkan rambut atau melilitkan/melingkarkannya di sekitar kepala si wanita hingga tampak seperti imamah/sorban yang biasa dipakai lelaki.
Hal ini tidak diperbolehkan dengan alasan ada unsur tasyabbuh (meniru/menyerupai) lelaki3. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
3. Mengumpulkan rambut dan menjadikannya satu ikatan/kepangan ataupun lebih, lalu dibiarkan tergerai tidaklah menjadi masalah (boleh saja) selama rambut tersebut tertutup dari pandangan mata yang tidak halal melihatnya.
Mengapa dibolehkan? Karena tidak ada larangan tentang hal ini. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
4. Haram menyambung rambut wanita dengan rambut yang lain atau disambung dengan sesuatu yang membuat kesamaran (disangka oleh yang melihat sebagai rambutnya padahal bukan rambut).
Ini fatwa al-Lajnah ad-Daimah. Dalil yang melarang menyambung rambut di antaranya hadits:
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan meminta disambungkan rambutnya.” (HR. al-Bukhari no. 5941, 5926 dan Muslim no. 5530)
Sa’id al-Maqburi t berkata, “Aku pernah melihat Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan c di atas mimbar dan di tangan beliau ada satu gelungan rambut (wig) wanita. Beliau berkata:
مَا بَالُ الْمُسْلِمَاتِ يَصْنَعْنَ مِثْلَ هَذَا؟ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ n يَقُوْلُ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَادَتْ فِي رَأْسِهَا شَعْرًا لَيْسَ مِنْهُ فَإِنَّهُ زُوْرٌ تَزِيْدُ فِيْهِ
Mengapa para wanita muslimah melakukan seperti ini?! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda, “Wanita mana saja yang menambah rambut pada kepalanya padahal bukan bagian dari kepalanya, maka itu merupakan kedustaan/kepalsuan yang ditambahkannya pada kepalanya.” (HR. an-Nasa’i no. 5093, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih an-Nasa’i)
5. Mengeriting rambut menurut hukum asalnya tidak apa-apa, melainkan jika dilakukan karena tasyabbuh dengan wanita-wanita yang fajir lagi kafir, hukumnya menjadi tidak boleh. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Rasulullah n bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, disahihkan asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6025)
6. Tidak boleh memakai pita atau rambut palsu di rambut dengan maksud menambah banyak rambut, membesarkan, atau menambah panjangnya. (Fatwa asy-Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah)
7. Pita/hiasan rambut yang tidak bertujuan membesarkan ukuran kepala (rambut tampak menjadi banyak) dan memang dibutuhkan untuk memperbaiki tatanan rambut (sehingga tidak berantakan), maka tidak apa-apa digunakan.
Jika pita, jepit rambut, dan (penghias rambut wanita) yang semisalnya berbentuk hewan (makhluk bernyawa) atau berbentuk alat-alat musik, tidak boleh dipakai karena keharaman gambar makhluk bernyawa dan haramnya memakai gambar tersebut pada pakaian dan lainnya. (Fatwa asy-Syaikh Shalih ibnu Fauzan al-Fauzan hafizhahullah)
8. Membelah rambut sepantasnya di bagian tengah kepala mulai dari ubun-ubun.
Inilah yang diajarkan oleh as-Sunnah (belah tengah). Rambut dari dua sisi, kiri dan kanan, dibagi sama. Adapun membelahnya di satu sisi, belah kanan atau belah kiri, tidak sepantasnya dilakukan, terlebih lagi apabila ada keinginan bertasyabbuh dengan selain muslimah, tentu hukumnya haram. Bahkan, bisa jadi termasuk dalam hadits:
مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ…
“…wanita-wanita yang miring dan membuat orang lain miring….”
Menurut penafsiran sebagian ulama, para wanita yang dimaksud dalam hadits di atas adalah para wanita yang menyisir rambut mereka dengan model miring. Tetapi, penafsiran yang benar adalah wanita yang miring/menyimpang dari rasa malu yang semestinya ia miliki. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Sementara itu, kita melihat banyak wanita muslimah yang senang meniru model para artis ataupun aktris yang merupakan wanita-wanita fasik. Rasulullah n telah bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”
9. Seandainya seorang wanita pergi ke seorang penata rambut guna menata rambutnya dengan tarif yang tidak mahal, sehingga tidak masuk dalam kategori membuang atau menghambur-hamburkan harta, dengan maksud berhias untuk suaminya, maka tidak apa-apa. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
10. Ada beberapa sisi negatif yang didapati ketika seorang wanita pergi ke pemangkas rambut (kapster di salon).
Yang paling penting adalah:
– Kapster umumnya akan membentuk rambut dengan model orang-orang kafir, dan di sini ada sisi tasyabbuh dengan mereka.
– Kapster biasa melakukan namsh pada pelanggannya, yaitu mencabut rambut alis untuk dirapikan/dibaguskan menurut anggapan mereka, padahal namsh ini haram berdasar hadits yang berbunyi:
لَعَنَ اللهُ النَّامِصَةَ وَالْمُتَنَمِّصَةَ
“Allah melaknat wanita yang mencabut rambut alis dan wanita yang minta dicabutkan rambut alisnya.” (HR. al-Bukhari no. 4886, 5939 dan Muslim no. 5538)
Makna laknat adalah diusir dan dijauhkan dari rahmat Allah l.
– Membuang-buang banyak harta tanpa ada faedah (menyia-nyiakannya), bahkan dibuang untuk sesuatu yang memudaratkan. Bukankah syariat melarang membuang-buang harta, sebagaimana dalam sebuah hadits:
نَهَى عَنْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةِ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Rasulullah n melarang dari qila dan qala (katanya dan katanya), banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”
– Menanamkan dan menumbuhkan pemikiran para wanita untuk mengambil perhiasan yang biasa dinikmati dan dipakai oleh para wanita kafir. Ujung-ujungnya, setelah itu si wanita condong kepada urusan yang lebih besar daripada itu, yaitu penyimpangan dan kerusakan akhlak wanita-wanita kafir. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Termasuk kejelekan yang terjadi adalah apa yang disebut sebagai massage, spa, dan semisalnya, untuk memandikan (perawatan) tubuh si wanita dan melihat auratnya. Semua ini termasuk perkara yang diharamkan.
11. Seorang muslimah tidak boleh mendatangi pemangkas rambut pria, karena diharamkan bagi wanita menampakkan aurat dan rambut mereka kepada lelaki ajnabi (bukan mahramnya). (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t)
12. Tidak diketahui ada larangan menggunting rambut wanita. Namun, yang ada hanyalah larangan mencukur habis.
Oleh karena itu, wanita boleh memotong rambutnya karena panjang (mengurangi panjangnya) atau banyaknya. Hal ini tidak apa-apa dilakukan lebih-lebih dengan maksud berhias untuk suami, dengan syarat tidak ada tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir (atau wanita-wanita fasik). (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t dan asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Dibolehkan pula memotong rambut yang panjang ketika rambut yang panjang tersebut membebani si wanita dalam hal mencuci dan menyisirnya (harus mengeluarkan banyak biaya untuk kebutuhan sampo dan sebagainya). (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan)
Jika rambut wanita terpaksa dicukur karena suatu penyakit/keluhan/gangguan di kepalanya, hal ini tidak mengapa. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t)
Adapun hadits Ali bin Abi Thalib z yang berbunyi:
نَهَى عَنْ تَخْلُفَ الْمَرْأَةُ رَأْسَهَا
“Rasulullah n melarang wanita mencukur rambut kepalanya.” (HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i)
adalah hadits yang dhaif. (Lihat adh-Dha’ifah no. 678)
Model potongan rambut wanita yang menyerupai potongan rambut lelaki adalah diharamkan, karena adanya tasyabbuh. Dalam hadits disebutkan:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ n الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat para laki-laki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 5885)
(Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Ada pendapat yang menyatakan wanita tidak boleh memotong rambutnya melainkan ketika ada kebutuhan saja. (Fatwa asy-Syaikh Shalih ibnu Fauzan hafizhahullah)
Ada pula yang berpendapat hukumnya makruh, dan ini yang masyhur dari mazhab al-Imam Ahmad t.
13. Ada model-model potongan rambut wanita yang mereka istilahkan: model “Lady Diana”, seorang wanita kafir, model “Lion King”, model “Minnie Mouse” dan model lainnya yang sedang populer. Semua ini haram karena ada unsur tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan menyerupai hewan. (Fatwa asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah)
14. Dibolehkan bagi seorang wanita menghilangkan seluruh rambut yang tumbuh di tubuhnya selain rambut alis dan rambut kepala.
Dia bisa melakukannya sendiri, atau dibantu oleh suaminya atau salah seorang mahramnya, atau dilakukan oleh wanita lain, dalam batasan yang diperkenankan bagi mereka untuk melihatnya. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
15. Jika seorang wanita memotong rambutnya dari atas dahinya dan sisanya dibiarkan terjulur menutup dahinya—istilah lainnya: poni—dengan maksud bertasyabbuh dengan wanita-wanita kafir dan orang-orang yang menyimpang, hukumnya haram, tidak boleh melakukannya dengan alasan tasyabbuh ini. Namun, jika dia melakukannya karena mengikuti kebiasaan para wanita muslimah di sekitarnya, ditambah lagi dia ingin berhias untuk suaminya, atau di hadapan karib kerabatnya, tidak tampak bagi kami adanya larangan dalam hal ini. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
16. Memotong rambut karena rontok tidaklah terlarang. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
17. Memakai wig/rambut palsu hukumnya haram, karena termasuk al-washl yaitu menyambung rambut yang diharamkan. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Seandainya tidak dianggap al-washl, maka wig itu menampakkan rambut si wanita lebih panjang daripada yang sebenarnya sehingga menyerupai al-washl. Padahal wanita yang melakukannya dilaknat sebagaimana disebutkan oleh hadits:
لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan minta disambungkan rambutnya.” (HR. al-Bukhari no. 5941, 5926 dan Muslim no. 5530)
(Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
Perbuatan al-washl ini diharamkan, sama saja apakah si wanita melakukannya dengan izin suami atau tidak, karena perbuatan haram tidak terkait dengan izin dan ridha.
18. Jika si wanita mengalami kebotakan, tidak tumbuh rambut di atas kepalanya, menurut satu pendapat, ia tetap tidak boleh memakai rambut palsu. Namun, menurut pendapat yang dipegangi oleh asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, si wanita boleh memakai rambut palsu. Alasannya, kebotakan ini adalah aib/cacat/cela, dan aib itu boleh ditutup, sebagaimana seorang lelaki yang diizinkan Nabi n untuk memakai hidung dari emas karena hidungnya terpotong dalam satu peperangan4. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
19. Berhias/memperbagus penampilan berada di antara halal dan haram.
Jika berhias dilakukan untuk menghilangkan aib, misalnya orang yang hidungnya bengkok lalu ia meluruskannya, atau pada wajahnya ada noda/flek hitam (yang dulunya tidak ada/bersih) lalu ia menghilangkannya dengan kosmetik atau lainnya, tidak apa-apa.
Berhias juga bisa menjadi haram jika dilakukan bukan karena keinginan menghilangkan aib, seperti orang yang membuat tato di wajah atau bagian tubuh lain, mencabut rambut alis, dan memakai wig/rambut palsu. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
Termasuk yang dilarang adalah menebalkan/membesarkan bibir, payudara, dan anggota badan tertentu, terkhusus jika dilakukan karena taklid/membebek kepada wanita-wanita kafir dan fasik.
20. Hukum mengecat rambut.
Mengecat rambut dengan warna hitam murni/tanpa campuran warna lain hukumnya haram berdasar sabda Rasulullah n:
غَيِّرُوْا هَذَا الشَّيْبَ وَجَنِّبُوْا السَّوَادَ
“Ubahlah uban ini dan jauhilah warna hitam.” (HR. Muslim no. 5476)
Mengubah uban (mengecatnya dengan warna lain sehingga tertutupi putihnya uban tersebut) adalah sunnah. Jika warna hitam dicampur dengan warna lain sehingga menjadi kehitam-hitaman, tidak apa-apa. Dengan demikian, boleh mengecat uban dengan warna coklat dan warna merah kekuning-kuningan (blonde) serta semisal keduanya dengan syarat tidak ada tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir, atau wanita-wanita pelacur atau fajir/pendosa. Jika ada niatan tasyabbuh, hukumnya haram. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
21. Tidak apa-apa mengecat rambut dengan hena (pacar/inai) walaupun dalam hari-hari haid. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)
22. Inai yang dipakai tidaklah menghalangi sahnya wudhu karena inai tidak memiliki zat/subtansi yang dapat mencegah sampainya air wudhu.
Inai pada akhirnya hanya tinggal warna saja (adapun zatnya dihilangkan setelah inai yang dipakai kering). Adapun sesuatu yang dapat mencegah sampainya air wudhu karena ia memiliki zat (seperti cat kuku/kuteks yang catnya tetap menempel di kuku) harus dihilangkan terlebih dahulu dari anggota wudhu agar wudhu yang dilakukan sah. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
23. Mengecat bagian-bagian tertentu dari rambut, seperti ujungnya saja, atau bagian atasnya, hukum asalnya halal. Namun, jika terkait dengan uban yang hendak diubah dengan warna hitam atau ada tasyabbuh dengan wanita-wanita kafir atau fajir, hal ini tidak diperbolehkan. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
24. Warna-warna yang biasa dipakai untuk mengecat rambut terbagi tiga.
Pertama: yang diperintahkan, seperti memakai inai (warna inai) untuk mengubah uban karena ada dalil yang menunjukkannya.
Kedua: yang dilarang, yaitu warna hitam yang dipakai untuk mengubah warna uban.
Ketiga: yang didiamkan (tidak diperintahkan dan tidak pula dilarang).
Jika perkara yang didiamkan itu asalnya halal, berarti hukumnya halal. Dengan demikian, mengubah rambut hitam ke warna merah hukumnya boleh, melainkan jika dilakukan karena tasyabbuh, hukumnya menjadi haram. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
Ada pula pendapat yang melarang rambut hitam diubah ke warna lain dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkannya. Yang dibolehkan hanyalah mengubah rambut uban. Ditambah lagi tidak ada kebutuhan mengubah rambut yang hitam, karena hal itu termasuk mengubah ciptaan Allah l. (Fatwa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan)
25. Mengubur/memendam rambut yang jatuh/rontok, gigi, ataupun kuku (yang tanggal), menurut sebagian ulama hukumnya mustahab, berdasar atsar dari Ibnu Umar c, dan perbuatan seorang sahabat lebih utama diikuti daripada perbuatan selainnya. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
26. Tidak apa-apa menghilangkan/mencabut rambut yang tumbuh di wajah seorang wanita, seperti jenggot atau kumis, karena keduanya bukan asal penciptaan wanita (asalnya wanita itu tidak berkumis dan berjenggot, beda halnya dengan kaum lelaki).
Adapun jika rambut yang tumbuh itu merupakan asal penciptaan, seperti alis, tidak boleh dihilangkan. (Fatwa al-Lajnah ad-Daimah dan fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)
27. Wanita boleh membuka/menampakkan rambut dan wajahnya di hadapan wanita kafir, menurut satu pendapat. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Utsaimin)
Namun, ada pendapat lain yang menyatakan tidak boleh. (Fatwa asy-Syaikh al-Albani)
Kedua pendapat di atas sama-sama berdalil dengan ayat:
“Katakanlah (ya Muhammad) kepada wanita-wanita yang beriman, hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka. Jangan pula mereka menampakkan perhiasan mereka terkecuali yang biasa tampak darinya. Dan hendaklah mereka menjulurkan kerudung-kerudung mereka di atas dada-dada mereka dan jangan menampakkan perhiasan mereka selain kepada suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, ayah-ayah suami (mertua) mereka, kepada putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara-saudara lelaki mereka, putra-putra saudara-saudara lelaki mereka (keponakan lelaki), putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau kepada wanita-wanita mereka, budak-budak yang mereka miliki, lelaki yang tidak memiliki syahwat yang mengikuti mereka (menjadi pelayan/pembantu mereka), ataupun anak-anak lelaki kecil yang belum mengetahui aurat wanita. Jangan pula para wanita itu memukulkan/menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan agar diketahui apa yang mereka sembunyikan dari perhiasan (di balik pakaian mereka, seperti gelang kaki yang diperdengarkan bunyinya), hendaklah kalian semuanya bertaubat kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (an-Nur: 31)
Mereka berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan para wanita mereka pada ayat di atas, apakah jenis wanita secara umum ataukah dikecualikan wanita-wanita kafir?
Yang berpendapat dengan pandangan yang pertama akan membolehkan seorang wanita membuka wajah dan rambut di depan wanita-wanita kafir. Sementara itu, yang berpendapat dengan pandangan kedua tidak akan membolehkan membuka wajah dan rambut di depan wanita kafir.
Wallahu ta’ala a’lam.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Catatan Kaki:
1 Sesuai kodratnya, wanita diciptakan senang berhias, sebagaimana firman Allah l:
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran.” (az-Zukhruf: 18)
2 Diambil dari website Mu’assasah ad-Da’wah al-Khairiyyah, KSA.
3 Rasulullah n melarang tasyabbuh dengan lawan jenis, sebagaimana dalam hadits:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ n الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجاَلِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah n melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki.” (HR. al-Bukhari no. 5885)
4 Sahabat tersebut adalah ‘Arfajah ibnu As’ad as-Sa’di, seorang penunggang kuda yang mahir di masa jahiliah. Dalam satu peperangan, hidungnya terpotong. Kemudian beliau masuk Islam. Nabi mengizinkannya memakai hidung dari emas. Demikian disebutkan dalam al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah karya al-Hafizh Ibnu Hajar (4/400).