(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)
Bertemunya sepasang insan—dalam lembaga rumah tangga—dari jenis yang berbeda (laki-laki dan perempuan), dengan latar belakang yang berbeda, karakter yang berbeda, dan berbagai kekurangan pada masing-masingnya, membutuhkan kesabaran dan kebersamaan. Tanpa pertolongan dari Allah l, lantas kesabaran dan perjuangan dari suami istri dalam menjalaninya, tak mungkin kehidupan yang berlimpah berkah, harmonis, dan diliputi kebahagiaan terjelma dalam kenyataan. Rumah tangga pun dalam problema yang mengkhawatirkan. Wallahul musta’an.
Merentas Kehidupan Rumah Tangga
Kala seorang anak manusia tumbuh dewasa, terfitrahlah jiwanya untuk mempunyai pendamping dalam hidupnya. Mendambakan kehidupan bahagia dalam mahligai rumah tangga yang dibangun di atas kasih sayang dan cinta. Demikianlah di antara tanda-tanda kekuasaan Allah l di alam semesta. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, serta dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum: 21)
Namun, semua itu tak bisa dijalani begitu saja. Semuanya harus melalui proses pernikahan yang merupakan pintu gerbang kehidupan rumah tangga. Pernikahan yang dibangun di atas keridhaan keduanya (mempelai laki-laki dan perempuan), diketahui/disetujui oleh wali dari pihak perempuan, dengan maskawin (mahar) yang ditentukan, disaksikan minimalnya oleh dua orang saksi, dan pernikahannya tidak dibatasi dengan batasan waktu tertentu. Dengan itulah kemudian hubungan sepasang insan dinyatakan sah sebagai suami istri dan berhak menjalani bersama kehidupan rumah tangga.
Demikian selektifnya Islam dalam mengesahkan hubungan sepasang anak manusia. Semua itu tiada lain karena perhatian Islam terhadap kehormatan, harkat, dan martabat manusia beserta keturunannya. Dari pernikahan itu, ada yang dikaruniai anak-anak bahkan cucu-cucu, dan ada pula yang tak dikaruniai-Nya. Allah l berfirman:
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (asy-Syura: 49—50)
“Allah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan bagi kalian dari istri-istri kalian itu, anak-anak dan cucu-cucu, serta memberi kalian rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 72)
Keutuhan Rumah Tangga, Dambaan Setiap Keluarga
Keutuhan rumah tangga adalah nikmat yang selalu didamba oleh setiap keluarga. Berbagai dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n yang memerintahkan suami istri agar saling menyayangi dan bergaul dengan sesamanya secara patut, tak lain demi terjaganya keutuhan rumah tangga tersebut. Suami berkewajiban membina rumah tangganya, bergaul dengan istri secara patut, dan bersabar atas berbagai kekurangan yang ada padanya. Allah l berfirman:
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)
Di lain pihak, istri berkewajiban menaati suami, mengurus rumahnya, dan menjaga anak-anaknya. Rasulullah n bersabda,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau sekiranya aku (boleh) memerintahkan seseorang untuk sujud kepada manusia, niscaya aku akan perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi 1/712 dari sahabat Abu Hurairah z.1 Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998)
Rasulullah n juga bersabda:
وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Dan seorang istri itu bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak dari suaminya. (Kelak di hari kiamat) dia akan ditanya tentang mereka itu (tanggung jawabnya).” (HR. al-Bukhari no. 7138 dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Al-Imam al-Khaththabi t berkata, “Tanggung jawab istri adalah mengatur urusan rumah, anak-anak, dan pembantu rumah tangga, kemudian memberikan masukan yang baik kepada suaminya terkait dengan apa yang diurusnya itu.” (Fathul Bari 13/121)
Lebih dari itu, memohon keutuhan rumah tangga dan kebahagiaannya merupakan ciri-ciri hamba Allah l yang diridhai-Nya. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati (kami), serta jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (al-Furqan: 74)
Romantika Kehidupan Rumah Tangga
Perjalanan sepasang insan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga tak lepas dari aral rintangan. Itulah fenomena kehidupan rumah tangga di alam dunia. Tanpa pertolongan dari Allah l, lantas kesabaran dan perjuangan dari suami istri dalam menjalaninya, tak mungkin kehidupan yang berlimpah berkah, harmonis, dan diliputi kebahagiaan terjelma dalam kenyataan. Tak sama dengan kehidupan rumah tangga di alam akhirat, di Jannatin Na’im (surga yang dipenuhi kenikmatan) yang selalu dalam kebahagiaan, pesona, dan bertabur kesenangan.
Tak heran, apabila kita mencermati perjalanan sepasang insan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga, banyak terkoleksi darinya kisah dan pelajaran. Ada yang menjalaninya dengan bahagia, walaupun bersela dengan rintangan. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing semaksimal kemampuan. Segala romantikanya dilalui dengan penuh kesabaran dan kebersamaan. Ada pula yang dikitari oleh riak-riak pertikaian dan persengketaan, walaupun akhirnya keutuhan rumah tangga tetap dapat dipertahankan. Bahkan, ada pula yang didera berbagai problem dan permasalahan, tiada daya dan upaya untuk bertahan, hingga akhirnya berujung dengan perpisahan.
Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh setiap orang yang beriman, bahwa iblis la’natullah ‘alaihi dan segenap anak buahnya tak pernah suka jika ada keluarga muslim yang hidup bahagia, sakinah (tenteram), mawaddah warahmah (penuh kasih sayang). Dengan penuh antusias, Iblis dan anak buahnya berupaya mencerai-beraikan mereka. Bahkan, anak buah Iblis yang paling tinggi kedudukannya di sisinya adalah yang berhasil melakukan perbuatan jahat tersebut.
Rasulullah n bersabda,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. فَيَقُولُ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. قَالَ: ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ-قَالَ-فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ. قَالَ الأَعْمَشُ أُرَاهُ قَالَ: فَيَلْتَزِمُهُ.
“Sesungguhnya iblis membangun singgasananya di atas air (lautan), kemudian mengutus anak buahnya. Di antara mereka yang paling tinggi kedudukannya di sisi iblis adalah yang paling besar fitnahnya. Ketika salah seorang dari mereka datang (kepada iblis) seraya melaporkan, ‘Saya telah berhasil melakukan demikian dan demikian.’ Iblis menimpalinya, ‘Kamu belum berbuat apa-apa!’ Kemudian datanglah seorang dari mereka (kepada iblis) seraya melaporkan, ‘Saya tidak membiarkannya sampai berhasil menceraikan antara dia dan istrinya.’ Iblis menyuruhnya mendekat seraya berkata kepadanya, ‘Sebaik-baik (anak buahku) adalah kamu!” Al-A’masy (perawi) berkata, ‘Tampaknya beliau mengatakan, ‘(Iblis) merangkulnya’.” (HR. Muslim no. 2813 dari sahabat Jabir bin Abdillah z)
Oleh karena itu, manakala godaan iblis la’natullah ‘alaihi dan anak buahnya telah merambah kehidupan rumah tangga seseorang dan riak-riak pertikaian pun mulai mengitari bahtera rumah tangganya, tiada jalan keselamatan melainkan dengan berlindung kepada Allah l dari kejahatan mereka, kemudian berpikir jernih dalam mengambil setiap keputusan. Sikap saling memahami, memaklumi, dan memaafkan mutlak dibutuhkan dalam kondisi yang demikian. Karena tak ada gading yang tak retak, masing-masing mempunyai kelemahan dan bisa terjatuh dalam kesalahan. Kerja sama antara keduanya sangat membantu dalam mewujudkan kehidupan yang didambakan.
Bagaimana jika intern suami istri tersebut tak mampu lagi mengambil kata sepakat terkait keutuhan rumah tangga mereka? Dalam kondisi semacam ini, diharapkan ada pihak ketiga yang berperan aktif mengadakan ishlah (perbaikan) untuk keduanya. Allah l berfirman:
“Dan jika kalian mengkhawatirkan adanya persengketaan antara keduanya (suami istri), kirimlah seorang juru pendamai dari keluarga laki-laki dan seorang juru pendamai dari keluarga perempuan. Jika kedua orang juru pendamai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)
Bisa jadi, berbagai upaya ishlah (perbaikan) yang ditempuh oleh suami istri yang bertikai dan para juru pendamai dari kedua belah pihak itu sukses lantas berwujud dalam kenyataan. Kedua hati yang tadinya saling berjauhan dapat bersanding kembali dalam kebersamaan. Riak-riak pertikaian yang tadinya mewarnai kehidupan pun berganti dengan bunga-bunga perdamaian.
Akan tetapi, terkadang berbagai upaya ishlah (perbaikan) yang telah ditempuh itu pun jauh dari harapan, sehingga mau tak mau berakhir dengan perpisahan. Kadangkala keputusan pisah itu muncul dari pihak suami yang dalam bahasa syariat disebut dengan talak (cerai). Kadangkala pula keputusan pisah itu dari pihak istri dengan mengajukan gugatan cerai terhadap sang suami yang dalam bahasa syariat disebut dengan khulu’. Wallahul Musta’an.
Talak dan Khulu’ dalam Tinjauan Islam
Islam merupakan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil’alamin). Tiada jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan melainkan telah dijelaskannya. Tiada pula jalan yang menjerumuskan ke dalam kebinasaan dan kesengsaraan melainkan telah dijelaskannya. Jauh berbeda dengan agama-agama selainnya.
Demikianlah Islam, satu-satunya agama yang sempurna dan diridhai oleh Allah l. Allah l berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagi kalian.” (al-Maidah: 3)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)
Oleh karena itu, tak akan diterima suatu prinsip keyakinan (akidah) dan juga amalan ibadah melainkan dengan bimbingan Islam dan syariatnya yang sempurna. Allah l berfirman:
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Di antara yang dijelaskan dan diatur syariatnya oleh Islam adalah permasalahan rumah tangga dan segala yang berkaitan dengannya, termasuk talak dan khulu’. Salah satu permasalahan besar dalam kehidupan umat manusia yang kurang (baca: tidak) mendapat perhatian dalam agama-agama selain Islam. Tak kurang-kurangnya Islam dalam memberikan bimbingan seputar permasalahan talak dan khulu’. Porsi pembahasannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah n, yang merupakan dua referensi utama umat Islam, pun cukup luas. Bahkan, dalam Al-Qur’an sendiri terbubuhkan sebuah surat khusus tentang talak (Surah ath-Thalaq). Demikian pula, berbagai kitab hadits ternama seperti al-Kutubus Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah) serta yang selainnya, memuat secara khusus kitab/bab tentang talak dan khulu’. Adapun kitab-kitab fiqih, pembahasannya lebih spesifik tentang rincian berbagai hukum (ahkam) yang terkait dengannya.
Bagaimanakah hukum talak dan khulu’ itu sendiri dalam tinjauan Islam? Talak dan khulu’ ada syariatnya dalam Islam, berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, dan ijma’ (kesepakatan ulama’).
Jika ditinjau secara hukum asal, talak hukumnya adalah makruh (tidak disukai). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dan asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam hafizhahullah.
Demikian pula khulu’, hukum asalnya adalah makruh (tidak disukai), sebagaimana ditegaskan oleh asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Hukum asal itu berdasar pada kondisi rumah tangga yang normal/kondusif, yaitu ketika tidak ada alasan untuk melakukan talak atau khulu’. Keduanya tergolong makruh (tak disukai), karena menyebabkan putusnya tali pernikahan yang semestinya dipertahankan semaksimal kemampuan dan dapat menggugurkan berbagai maslahat yang dituju dari sebuah pernikahan. Kemudian, hukum asal itu bisa berkembang kepada hukum-hukum yang lain, seperti haram, wajib, sunnah, dan mubah sesuai dengan situasi dan kondisi. (Lihat Tanbihul Afham 2/329, Taisirul ‘Allam 2/343, al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/219, dan Fathul Bari 9/258)
Atas dasar itu, kala sepasang insan tak mungkin lagi hidup bersama, seatap dan serasa, sementara berbagai upaya ishlah telah ditempuh dengan saksama, saat itulah talak dan juga khulu’ menjadi solusi bersama untuk menuju kehidupan berikutnya yang diharapkan lebih membahagiakan. Dari sisi hukum, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani t menggolongkan kondisi semacam ini ke dalam kategori wajib. (Lihat Fathul Bari 9/258)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Manakala tujuan dari pernikahan itu tak dapat diwujudkan dalam kenyataan, cinta kasih dari keduanya mulai sirna, atau pada suami yang tak ada lagi cinta, sehingga pertikaian tak kunjung reda dan solusi damai pun sudah tak ada; dalam kondisi seperti ini, suami diperintahkan untuk menceraikan istrinya dengan cara yang baik dan bijaksana. Allah l berfirman:
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229)
“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya, dan adalah Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana.” (an-Nisa’: 130)
Sebaliknya, manakala suami masih ada cinta sedangkan istri hampa darinya, bisa jadi karena tak suka dengan perangainya (suami), rupa fisiknya, kurang dari sisi agamanya, atau khawatir berdosa karena tak bisa memenuhi haknya; dalam kondisi seperti ini diperbolehkan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai kepada suaminya dengan mengembalikan mahar (maskawin) yang pernah diberikan kepadanya. Allah l berfirman:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229) (al-Mulakhkhash al-Fiqhi 2/218)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t berkata, “Perpisahan dengan cara yang baik lebih utama daripada (berkumpul) dalam perpecahan, persengketaan, dan tak tercapainya cita-cita dari sebuah pernikahan.” (Fatawa Ulama’ al-Biladil Haram hlm. 495)
Demikianlah posisi talak dan khulu’ dalam Islam. Talak bukanlah pedang terhunus di tangan para suami yang boleh digunakan sekehendak hawa nafsu untuk menzalimi sang istri. Demikian pula khulu’, bukan senjata api yang bebas digunakan oleh para istri untuk menodong cerai sang suami kapan saja mereka mau. Talak dan khulu’ adalah solusi, bukan reaksi.
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam hafizhahullah berkata, “Jika pernikahan dengan segala kebaikan dan tujuannya itu menjadi sah dengan ikatan pernikahan, ikatan pernikahan itu pun bisa dibatalkan kembali dengan talak (dan khulu’-pen.) manakala ada tujuan yang dibenarkan.” (Taisirul ‘Allam 2/343)
Berangkat dari sini, sangat disayangkan jika ada suami dan istri yang bermudah-mudah dalam masalah talak ataupun khulu’. Sedikit-sedikit talak. Sedikit-sedikit khulu’. Sekadar mencari jalan pintas untuk kepentingan sesaat. Tak mau berpikir panjang demi kemaslahatan keluarga di hari depan. Mereka melangkah dengan penuh pasti, seakan-akan talak dan khulu’ adalah jalan satu-satunya menuju kebahagiaan. Padahal Allah l mengingatkan:
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)
Rasulullah n juga mengingatkan:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Siapa saja dari kaum wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya aroma al-Jannah (surga).” (HR. Abu Dawud no. 2226 dari sahabat Tsauban z. Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1947)
Talak dan Khulu’ dalam Tinjauan Nonmuslim
Memang tak bisa disamakan Islam dengan yang lain. Tak bisa pula digantikan dengan yang lain. Karena Islam selalu mulia dan tidak akan terhinakan. Senantiasa suci dan tidak akan tercemarkan. Bahkan, senantiasa dijaga oleh Allah l dari berbagai bentuk penyimpangan.
Lihat saja dalam permasalahan talak dan khulu’. Islam membahasnya dengan penuh rincian dan penerapannya pun penuh dengan keadilan; kapan talak dan khulu’ itu boleh dilakukan, siapa yang berwenang menjatuhkan talak dan siapa yang berhak mengajukan gugatan cerai, dalam kondisi yang bagaimana talak dan khulu’ itu dapat dibenarkan dan dalam kondisi yang bagaimana tidak dibenarkan, berapa kali maksimal dilakukan, berapa lama masa ‘iddah (masa tenggang)nya, kapan boleh rujuk kembali dan kapan tak boleh, bagaimana cara rujuknya, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah l dalam surah ath-Thalaq, surah al-Baqarah ayat 228—242, dan beberapa ayat dari surah an-Nisa’. Demikian pula oleh Rasulullah n dalam banyak sabdanya.2
Adapun agama-agama selain Islam, tak didapati padanya rincian dan penerapan yang adil tersebut. Mungkin timbul pertanyaan: Bukankah kaum Yahudi dan kaum musyrikin juga menerapkan “syariat” talak dalam kehidupan rumah tangga mereka?
Benar, mereka menerapkan “syariat” talak, tetapi penerapannya asal-asalan. Tidak mempunyai batasan, baik yang berkaitan dengan jumlah maksimalnya maupun yang berkaitan dengan masa ‘iddah (masa tenggang)nya. Kapan saja mau talak, bisa dilakukan. Demikian pula rujuk (kembali)nya, kapan saja bisa dilakukan tanpa batas waktu. Penuh ketidakpastian dan tampak acak-acakan.
Bagaimana halnya dengan kaum Nasrani? Secara realitas, kaum Nasrani (Katholik) tak membolehkan talak dalam kehidupan rumah tangga mereka. Padahal ada “syariatnya” dari Nabi Isa q sebagaimana dalam kitab Injil. Atas dasar itu, seorang istri yang tak disukai oleh suaminya tetap menjadi tanggungannya walaupun tak ada lagi kecocokan dengan suaminya atau tak ada niatan untuk mewujudkan nilai-nilai yang didambakan dari pernikahan. (Lihat Taisirul ‘Allam 2/344)
Jika demikian, betapa nikmatnya ber-Islam. Syariatnya sempurna, mudah, sarat dengan kebenaran, dan berujung pada kebahagiaan. Berbeda halnya dengan agama-agama selain Islam yang diliputi kekurangan, jauh dari kebenaran, dan berujung pada kesengsaraan. Tak heran jika Allah l berwasiat kepada semua hamba-Nya yang beriman agar tidak meninggal dunia melainkan dalam keadaan beragama Islam.
Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian meninggal dunia melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Ali Imran: 102)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1 Hadits yang semakna juga diriwayatkan dari beberapa sahabat Nabi n, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Mu’adz bin Jabal, Qais bin Sa’d, dan Aisyah bintu Abu Bakr ash-Shiddiq g. (Lihat Irwa’ul Ghalil, keterangan hadits no. 1998)
2 Pembahasan tentang rincian hukum talak dan khulu’ tersebut bisa Anda baca pada rubrik Kajian Utama edisi kali ini.