Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apa pun, di sana akan selalu ada jalan. Berikut ini bimbingan Islam dalam mengajari anak beramar ma›ruf nahi munkar.
Anak-anak tumbuh dan berkembang. Tak bisa tidak, mereka pasti akan berhadapan dengan lingkungannya: lingkungan keluarga, lingkungan belajarnya, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Tak selamanya yang tampak dalam lingkungannya adalah kebaikan. Entah suatu saat, suatu kesalahan atau keburukan mungkin akan terjadi di hadapan mereka. Lebih-lebih lagi bagi orang yang memiliki mata hati, kini tampak banyak kerusakan yang tersebar.
Tentu takkan ada yang berharap anak mereka turut jatuh dalam kerusakan itu. Bahkan mestinya setiap ayah dan ibu berharap anak mereka terjauh dari semua itu. Lebih dari itu, mestinya setiap ayah dan ibu berharap agar buah hati mereka mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, sesuai kemampuan yang ada pada mereka.
Inilah pula yang diharapkan oleh Luqman ketika dia berpesan kepada anaknya,
وَأۡمُرۡ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَٱنۡهَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
“Dan perintahkanlah manusia untuk melakukan kebaikan dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar….” (Luqman:17)
Demikianlah Luqman Al-Hakim mengajarkan kepada anaknya untuk memerintahkan manusia melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran sejauh kemampuan dan kesungguhannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194). Demikian pula yang semestinya diajarkan kepada anak-anak.
Begitu pun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tidak berdiam diri ketika melihat kemungkaran terjadi, sebagaimana perintah ini disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ
“Barang siapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu, hendaknya dia ingkari dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim no. 49)
Semestinya orang tua mengajarkan kepada anak-anak hal-hal yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Juga diajarkan, apakah amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan itu akan menggiring pada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang didapati tersebut ataukah tidak. Apabila ternyata akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka semestinya amar ma’ruf nahi mungkar itu ditunda penunaiannya hingga suatu saat, ketika kebaikan akan terwujud tanpa ada madharat ataupun madharat yang ada lebih ringan. (Fiqh Tarbiyatil Abna, hlm. 204)
Memerintahkan manusia pada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran akan senantiasa mendapatkan gangguan. Untuk itu, anak-anak didorong untuk bersabar dalam menghadapi segala ujian dan hal-hal yang memberatkan jiwa yang didapati ketika menunaikan kewajiban ini, sebagaimana dorongan Luqman. Dia menasihatkan kepada anaknya,
وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ
“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang dikokohkan dan harus diperhatikan.” (Luqman: 17)
Ini pula pengajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu ‘anhuma,
الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Adabul Mufrad no. 300: Shahih)
Dalam ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tergambar keutamaan seseorang yang bergaul dengan manusia disertai menyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran serta bermuamalah dengan baik terhadap mereka. Orang seperti ini lebih mulia daripada orang yang mengasingkan diri dari manusia dan tidak mau bersabar dalam pergaulannya dengan mereka. (Subulus Salam, 4/320)
Anak-anak diajari pula untuk berlemah lembut di kala memerintah orang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Hal ini sebagaimana dikatakan, “Hendaklah perintahmu pada kebaikan dilakukan dengan kebaikan dan laranganmu dari kemungkaran bukan dengan kemungkaran.” (Makarimul Akhlaq, hlm. 57)
Demikian selayaknya yang dilakukan seseorang yang menunaikan amar ma’ruf nahi mungkar, karena akan lebih mudah mencapai tujuan. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menasihatkan, “Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, berarti dia telah menasihati dan menghiasinya. Dan siapa yang menasihati secara terang-terangan, berarti dia telah membuka aibnya dan menjelek-jelekkannya.” (Syarh Shahih Muslim, 2/24)
Tentu saja, seseorang harus mengetahui hal-hal yang ma’ruf agar dia dapat menyuruh manusia melakukannya, dan harus pula mengetahui kemungkaran agar dia dapat mencegah mereka darinya (Taisirul Karimir Rahman, hlm. 649).
Hal ini ditempuh dengan mempelajari dan memahami agama. Barulah ia menegakkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar ini. (Wujubul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hlm. 25)
Oleh karena itu, sudah semestinya orang tua mendorong anak-anak mereka untuk mempelajari dan memahami agama. Karena mempelajari dan memahami agama itu sendiri merupakan tanda di mana seseorang akan meraih kebahagiaan dan ini pun menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki kebaikan pada dirinya. Demikian dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disampaikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu ketika berkhutbah di atas mimbar,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR. Muslim no. 1037)
Hendaknya orang tua membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu dan memberikan semangat agar mereka bersungguh-sungguh menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih, karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang berujung kepada jannah-Nya yang kekal abadi.
Benarlah janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699)
Siapa kiranya yang tidak mendambakan kebaikan dan keberuntungan bagi anak-anak mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rabb semesta alam,
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ١٠٤
“Dan hendaklah di antara kalian ada suatu kaum yang menyeru pada kebaikan, memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran